Post ADS 1
Opini  

Politik Pilkada 2024 di Kabupaten Bima: Antara Pertarungan Ide dan Pertunjukan Kekuatan Massa

Penulis: Ariansyah Dou Mbojo

Mataram, NTBNews.com– Pilkada 2024 di Kabupaten Bima menghadirkan fenomena politik yang menarik untuk dibahas. Di dalam kesibukan persiapan dan proses kampanye itu sendiri, terlihat jelas adanya fenomena pergeseran pola dalam aktivitas politik di daerah ini, dan mungkin juga di beberapa daerah lain. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kampanye politik kini tidak lagi terfokus pada debat ide, visi, dan misi kandidat, melainkan lebih didominasi oleh demonstrasi kekuatan massa melalui arak-arakan besar.

Demonstrasi kekuatan massa dalam bentuk arak-arakan sering dianggap sebagai indikator utama keberhasilan kampanye. Semakin banyak orang yang terlibat dalam arak-arakan, semakin besar klaim dukungan yang dapat dihasilkan. Fenomena ini mengubah pilkada menjadi ajang untuk menunjukkan seberapa kuat mobilisasi massa yang dapat dilakukan oleh para kandidat. Dalam pandangan sebagian orang, kehadiran massa yang banyak dalam kampanye tidak hanya berfungsi sebagai alat pengukur popularitas, tetapi juga dianggap sebagai prediktor potensi kemenangan.

Tim sukses kandidat sering kali lebih fokus pada strategi pengumpulan massa yang besar daripada menggali isu-isu penting atau memperkuat argumen kebijakan publik yang akan diusung jika terpilih. Pendekatan ini menciptakan kesan bahwa banyaknya massa yang hadir dalam arak-arakan akan berbanding lurus dengan jumlah suara yang diperoleh saat pemungutan suara. Di sisi lain, publik yang menyaksikan aksi massa tersebut sering kali terpengaruh dan terjebak dalam persepsi bahwa arak-arakan besar berarti dukungan yang luas.

Fenomena ini juga menandai pergeseran besar dalam dinamika politik lokal, dari pertarungan ide dan gagasan menuju populisme berbasis kekuatan massa. Kandidat dan tim sukses lebih mengutamakan pencitraan instan daripada membangun narasi politik yang kuat berdasarkan program kerja yang jelas. Program-program yang seharusnya menjadi fokus utama diskusi, seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, dan layanan kesehatan, malah tersisih oleh strategi kampanye yang cenderung menampilkan spektakel massa.

Populisme berbasis massa ini tidak hanya mempengaruhi calon pemilih, tetapi juga berdampak pada cara kandidat mengemas visi dan misi mereka. Dalam konteks ini, pertarungan politik lebih banyak berbicara tentang siapa yang paling mampu mengumpulkan massa dibandingkan siapa yang memiliki gagasan dan rencana pembangunan yang paling relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Jika arak-arakan massa terus dijadikan sebagai standar utama keberhasilan kampanye, maka kualitas demokrasi yang sesungguhnya akan dipertaruhkan. Demokrasi seharusnya memfasilitasi pertukaran gagasan yang sehat dan memperkuat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan politik secara rasional dan kritis. Namun, ketika massa lebih diutamakan, partisipasi masyarakat bisa terdistorsi menjadi sekadar hadir dalam arak-arakan tanpa memahami program-program yang ditawarkan oleh kandidat.

Ada risiko bahwa masyarakat menjadi apatis terhadap proses politik karena merasa kampanye hanya sebatas hiburan jalanan yang ramai tanpa substansi berarti bagi kehidupan mereka. Hal ini dapat menciptakan lingkungan politik yang kurang sehat, dimana proses pendidikan politik yang seharusnya berlangsung selama masa kampanye tidak terjadi dengan baik.

Beberapa faktor mendorong pergeseran ini antara lain:

1. Masyarakat, terutama di daerah pedesaan, mungkin tidak memiliki akses memadai terhadap informasi relevan dan objektif tentang visi serta misi kandidat. Akibatnya, mereka cenderung mudah terbawa oleh euforia massa.

2. Dalam konteks lokal, unjuk kekuatan massa mungkin memiliki nilai simbolik kuat sebagai bentuk legitimasi politik, di mana masyarakat lebih menghargai aspek demonstratif dan kolektif dibandingkan diskusi substantif.

3. Kandidat dengan sumber daya finansial kuat lebih mudah memobilisasi massa melalui pemberian insentif seperti uang transportasi, konsumsi gratis, dan hiburan untuk menarik masyarakat hadir.

4. Literasi politik yang rendah membuat masyarakat lebih mudah terpengaruh oleh pencitraan massa daripada analisis kritis terhadap kebijakan yang ditawarkan.

Jika fenomena ini terus berlanjut, ada beberapa konsekuensi jangka panjang yang mungkin terjadi:

1. Ketika kampanye lebih menekankan kekuatan massa daripada substansi program, hanya kandidat dengan dukungan finansial kuat yang dapat bertahan, memperkuat dominasi politik elit lokal.

2. Fenomena arak-arakan besar sering disertai praktik politik transaksional, di mana massa dihadirkan melalui berbagai bentuk imbalan.

3. Dengan minimnya perdebatan ide dan gagasan, ada risiko bahwa kandidat terpilih tidak memiliki kapasitas memadai untuk memimpin dan menjalankan program pembangunan secara efektif.

Sebagai kesimpulan, fenomena arak-arakan massa dalam Pilkada 2024 di Kabupaten Bima mencerminkan pergeseran dari politik substantif menuju politik simbolik. Meskipun kampanye dengan massa besar mampu menciptakan euforia dan kebanggaan kolektif, kualitas demokrasi sejati harus tetap bergantung pada pertarungan ide, gagasan, serta program kerja yang jelas dan relevan. Pemilih, aktivis politik, dan media lokal perlu berperan aktif dalam menciptakan ruang publik yang lebih kritis dan substantif sehingga pilkada tidak hanya menjadi pesta arak-arakan massa tetapi juga arena untuk mendiskusikan serta merumuskan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat.

Ariansyah Dou Mbo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *