OLEH. Hamsaturrahman, M.Pd (Ketua DPD IMM NTB Bidang PJPT)
Ntbnews.Com- Dalam konsepsi Islam penciptaan manusia bukanlah tampa sebab, hal ini sebagaimana yang dijelaskan didalam Qs. Adz- Dzariyat Ayat: 56. Bahwa manusia diciptakan untuk beribadah. Aktivitas Ibadah merupakan konsekuensi sebagai sikap penghambaan diri kepada Allah SWT sebagai pencipta kehidupan. Hal itu dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur seorang hamba terhadap pencipta dan bisa jadi sebagai bentuk amalan yang kelak akan mendapatkan ganjaran terbaik dari sisi sang penciptanya. Secara substansialnya pengamalan terhadap nilai-nilai ibadah merupakan jalan keselamatan bagi manusia baik itu di dunia maupun Akhirat.
Dalam konteks tulisan ini, Ramadhan sebagaimana yang lazim diketahui adalah salah satu bulan yang ada dalam kalender Islam (Hijriyah), dimana pada bulan tersebut di khususkan untuk melakukan Ibadah puasa dan menjadi kewajiban bagi umat muslim di seluruh dunia untuk menjalankannya (Syahr Al-Shiyam) hal ini sesuai dengan Qs. Al-Baqarah ayat 183 tentang kewajiban bagi muslim untuk berpuasa agar kelak mendapatkan derajat takwa disisi Allah SWT, sedangkan Ibadah puasa sendiri merupakan rukun Islam yang keempat dalam rukun Islam setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, sholat, dan zakat. Bagi muslim, bulan tersebut diyakini sebagai bulan yang paling mulia diantara bulan-bulan lainnya, dimana pada bulan tersebut pahala kebaikan akan dilipatgandakan dan pada bulan tersebut juga diturunkannya Al-Qur’anul Karim yang menjadi petunjuk bagi umat manusia.
Berdasarkan keutamaan dan kemuliaan bulan Ramadhan ini, banyak dari para ulama menyematkannya dengan istilah yang berbeda-beda, ada yang mengistilahkannya dengan Syahrul Qur’an (Bulan Diturunkannya Al-Qur’an), Syahrul Mubarok (Bulan yang penuh Keberkahan), ada juga yang menyebutkan Syahrul Tarbiyah (Bulan Pendidikan), dan banyak lagi istilah lainnya yang juga mengidentikkan keutamaan dan kemuliaan didalamnya. Merujuk pada istilah-istilah tersebut dapat kemudian diidentifikasi dan dimaknai bahwa pada bulan Ramadhan terjadi peristiwa yang sangat monumental bagi kaum muslimin yakni diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang beriman, didalamnya terdapat perintah dan larangan berkenaan dengan yang hak dan yang batil, itupula yang menjadi dasar nilai amalan yang harus di praktekkan oleh orang-orang yang melakukan ibadah puasa. Oleh sebab itupula banyak kebaikan-kebaikan yang bisa didapatkan bagi kaum muslimin ketika melakukan ibadah puasa tersebut baik untuk diri sendiri maupun dalam ranah sosialnya. Lebih jauh lagi, pada bulan puasa seorang hamba merasakan bagaimana mereka betul-betul diawasi dan dididik secara langsung oleh Allah SWT (Muraqobah dan bermuhasabah) dalam segala aspek kehidupannya.
Merepresentasikan hal ini, perlu kiranya dijabarkan kedalam dua aspek umum sebagai berikut:
Pertama, Aspek individu, menyangkut bagaimana ibadah puasa menuntun seseorang yang melaksanakannya untuk menyucikan diri dari dosa2 dan menghiasi dirinya dengan amalan kebaikan. Dalam konsepsi dan perkembangan Psikoanalitik seorang Freud tentang Id, Ego, dan Super Ego. Yang sebelumnya diri hanya berbicara tentang bagaimana pemenuhan kebutuhan hasrat alaminya tampa mengenal batasan moral (Id), yang ketika melewati tahapan ego yang menjadi titik sentral (Jembatan) antara kedua pilihan moril “Id dan Super Ego”, hingga mengantarnya pada tahapan SuperEgo, perilaku tersebut kemudian lunak dan cenderung adaptif dengan merujuk mada nilai moral yang baik. dalam pola membangun kehidupan Prof. Qurais Shihab juga pernah menuturkan untuk memperhatikan Hablumminan Nafs yakni Hubungan Manusia dengan dirinya sendiri, dalam hal ini diri harus diperlakukan dengan benar, adil, dan bijaksana. Konsepsi Freud menurut penulis merujuk pada kesadaran individu dalam menentukan sikapnya dan kesadaran itu terbentuk melalui pengetahuan atau pendidikan yang telah diperoleh.
Seorang individu muslim yang melakukan ibadah puasa harus menyadari batasan-batasan akhlak atau sikap yang dapat membatalkan puasanya atau tindakan-sikap yang tidak terpuji yang dapat mengurangi pahala puasanya, seperti menggunakan kaki, tangan, pendengaran, penglihatan, penciuman, ucapan, pikiran dan hati untuk hal-hal yang tidak wajar atau tidak baik. pada bulan puasa, Individu betul-betul diarahkan untuk kembali kepada fitrahnya dengan berusaha mengembalikan atau menjaga kesuciannya. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir bahwa dengan berpuasa muslim dapat menyucikan tubuh dan mempersempit jalan-jalan setan.
Kedua, Aspek sosial berkenaan dengan sikap dalam berkehidupan dan bermasyarakat, bulan puasa dengan keberkahannya selalu mengajak muslim untuk meningkatkan amal kebaikan dan menjauhkan diri dari perbuatan buruk menjadi sebuah tatanan nilai sehingga membentuk sistem sosial baru, sebab setiap orang akan selalu berupaya untuk saling menjaga hubungan baik antara satu dengan yang lain. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam beberapa hadits Rasulullah SAW. Misalnya ketika seorang muslim yang sedang berpuasa diajak untuk bertengkar maka pantang baginya untuk melakukannya hal ini disebabkan kesadarannya sebagai “Mukallaf” yang sedang Berpuasa. Begitupun dalam hadits lain diterangkan bahwa pahala orang yang memberi makan orang yang berpuasa maka sama pahalanya seperti orang yang mengerjakan puasa tersebut. Bukankah itu tandanya dalam berpuasa terdapat energi positif yang bermuara pada keutuhan dan keharmonisan hubungan Sosial.
Dalam konstruksi nilai sosial, tentunya ibadah puasa juga bertujuan bagaimana seorang muslim dapat berbagi empati dan kasih sayang terhadap orang-orang yang tidak mampu, selain puasa dijalankan sebagai bentuk ibadah terhadap Allah SWT. Dalam pemahaman muslim yang menjalankan ibadah puasa Mereka berupaya untuk mengasah rasa dengan turut merasakan kepedihan dan kesedihan hidup orang-orang yang tidak mampu disekitarnya, hal ini menunjukkan bagaimana keberpihakan Islam terhadap realitas sosial disekitarnya. Selanjutnya menjadi ibadah lain yang tidak terpisahkan dari ibadah puasa adalah kewajiban untuk mengeluarkan zakat dan hal ini diprioritaskan kepada kelompok-kelompok sosial seperti fakir-miskin.
Dari uraian tersebut dapat kita mengambil kesimpulan bahwa pada setiap kewajiban yang diberikan oleh Allah SWT ada Hikmah dan pengajaran yang berharga bagi umat Islam, baik itu untuk individu, sosial maupun peradaban yang akan dibangun. Hal inilah yang menempatkan “Islam ya’lu wala yu’la Alaihi” sebuah agama yang unggul sepanjang jaman sebagaimana yang dicantumkan dalam Khazanah Islam. (*)