Post ADS 1
Tokoh  

Mega Oktaviany, Perempuan Bugis yang Konsisten Mempromosikan Budaya Rimpu

Mega Oktaviany.

PEREMPUAN Bugis yang memiliki nama lengkap Mega Oktaviany ini menjadikan rimpu sebagai pengganti jilbab dan kerab memakainya dalam setiap aktivitasnya di forum-forum formal dan non-formal.

Ia menilai rimpu adalah salah satu pakaian budaya yang dimiliki Indonesia yang sangat praktis, namun memiliki keunikan tersendiri.

“Pertama adalah keunikan maksudnya seperti ini kok ada budaya Indonesia yang bagus yang bisa digunakan oleh semua orang yang tidak ribet, tidak perlu memakai jarum pentul,” ungkap Mega baru-baru ini.

Sebagai perempuan bersuku Bugis kelahiran Nunukan, Kalimantan Utara, ia sangat menyayangkan rimpu tak dijadikan sebagai pakaian wajib oleh anak-anak muda asli Bima, sehingga muncul ketakutannya bahwa rimpu akan punah jika tidak dilestarikan dan hanya akan menjadi catatan sejarah.

“Ini kacamata saya sebagai orang luar. Saya mengamati dan melihat bahwa ini akan punah kalau tidak dilestaraikan oleh anak muda dan hanya akan sekadar menjadi tulisan sejarah serta hanya terlihat ini adalah budaya yang berasal dari Bima pada saat zaman dulu,” jelasnya.

Langkahnya untuk terus mengenalkan rimpu serta mengenakannya dalam berbagai acara adalah caranya untuk merawat budaya rimpu agar tetap dikenal generasi yang akan datang.

Selain itu, motivasi terbesarnya adalah memberikan edukasi kepada pemudi Bima untuk terus melestarikan budaya rimpu.

“Itu menjadi motivasi saya bahwa lebih penting lagi saya ingin membuat anak Bima itu malulah, yang bukan orang Bima mau melestarikan budaya Bima,” tegas dosen Universitas Gunadarma Jakarta itu.

Dari hasil pantauannya selama berada di Bima, ia hanya melihat yang mengenakan rimpu adalah orang-orang tua, itu pun dipakai pada saat mereka berbelanja ke pasar.

Ibu satu anak tersebut menawarkan supaya rimpu menjadi budaya Indonesia yang memiliki nilai-nilai keislaman serta sebagai media untuk menjaga marwah seorang perempuan dalam hal menutup aurat.

“Kenapa orang tidak berpikir rimpu aja menjadi budaya Indonesia, enggak usah mengambil budaya Arab yang bercadar. Kita sudah punya sejak zaman dulu,” tegasnya.

Mega mengaku memakai rimpu Bima tanpa ada paksaan dari siapa pun, termasuk suaminya yang berasal dari Bima.

“Ini berdasarkan inisiatif saya dan memperlihatkan kepada orang keunikan budaya Bima,” terangnya.

Mega menilai budaya rimpu sebagai media untuk menjaga marwah keislaman perempuan Bima.

Kata dia, memakai rimpu tidak menjadikan pembatas perempuan Bima untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

“Secara penggunaan itu menutup aurat. Kalau secara kepedean menggunakan rimpu, itu kan harus orang yang pede-nya berlipat ganda. Kalau saya tidak ambil pusing. Ini loh budaya Indonesia,” ucapnya.

Melestarikan budaya rimpu bukan hanya menjadi tanggung jawab pegiat budaya saja, namun ia berharap Pemerintah Kota Bima maupun Pemerintah Kabupaten Bima bisa memberikan contoh kepada masyarakat untuk memakai rimpu saat menjemput tamu.

Jika langkah tersebut dilakukan, maka secara tidak langsung akan mempromosi kepada orang luar bahwa Bima memiliki budaya yang sangat unik sesuai dengan syariat Islam.

Selain itu, ia yakin apabila rimpu dijadikan pakaian wajib di setiap instansi pemerintahan Kabupaten Bima maupun Kota Bima, maka akan berpengaruh terhadap kesejahteraan penenun maupun pelaku usaha kain.

“Saya pikir ini akan berpengaruh terhadap peningkatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan betul-betul membantu dalam meningkatkan kehidupan masyarakat di sana,” jelasnya.

Mega pun mengaku, untuk menyeru orang lain mengenakan rimpu tidak perlu berbicara banyak, karena ia meyakini memakainya di setiap aktivitas adalah salah satu ajakan secara tidak langsung untuk melestarikan budaya rimpu.

“Karena satu-satunya ajakan yang mengena itu adalah kita harus menggunakan. Jadi, apa yang saya kenakan hari ini merupakan satu ajakan untuk semua orang,” tutupnya.

Faris Thalib saat dikonfirmasi oleh ntbnews.com sebagai suami dari Mega, mengaku memiliki istri yang menyukai budaya Bima, salah satunya rimpu. Katanya, ini adalah suatu keistimewaan serta kebanggaan.

“Ia menyukai rimpu tanpa dipaksa. Itu tumbuh karena kesadaran akademis,” jelas Faris.

Ia menambahkan, istrinya mengenakan rimpu tanpa berharap popularitas. Mega menunjukkan keseriusannya memperkenalkan rimpu dengan mengenakannya pada saat ia mengajar di universitas, pada saat mengisi seminar maupun rapat-rapat resmi di organisasi dan departemen tempat ia mengembangkan riset.

“Bahkan orang Bima asli belum tentu ada yang melakukan seperti itu. Kebanyakan orang Bima hanya mengenakan rimpu dalam acara-acara festival, kegiatan komunitas Bima, dan masih sangat langka digunakan pada forum-forum akademis yang bersifat nasional bahkan internasional,” ungkapnya. (*)

Penulis: Nur Hasanah

Editor: Ufqil Mubin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *