Oleh: Hikmah Hasan*
Saya sering menerima masyarakat yang datang konsultasi hukum terkait dengan kasus “penyerobotan tanah”. Konsultasinya dilakukan secara cuma-cuma. Saya tidak memungut biaya sedikit pun dari masyarakat itu.
Mereka mengonsultasikan terkait laporan mereka yang ditolak oleh pihak kepolisian. Kasus yang dilaporkan ialah kasus penyerobotan tanah. Ketika mereka hendak melaporkan kasus itu, di antara mereka ada yang mengaku laporannya ditolak oleh polisi (penyidik) lantaran mereka dianggap tidak mampu membuktikan hak kepemilikan atas tanah tersebut (sertifikat).
Oleh karena tidak paham dengan persoalan hukum masyarakat yang melaporkan kasus tersebut, mereka hanya mengiyakan pernyataan pihak yang berwenang itu. Mereka merasa hak mereka atas tanah tersebut tidak terlindungi lagi.
Sebelum ke permasalahan, harus diketahui bahwa jenis kasus yang dikonsultasikan, jika dipahami ialah kasus hukum pidana yang tentu saja aspek hukum pertanahan tidak boleh diabaikan. Namun, kenyataannya kedua disiplin ilmu hukum ini cukup berbeda dalam prosesnya. Tetapi dalam suatu waktu kedua disiplin ini dapat berjalan beriringan. Seperti kasus di atas. Meskipun kasus yang dibahas terkait kasus hukum pidana, bukan berarti aspek hukum pertanahan diabaikan. Secara hukum pidana, pasal yang berkenaan dengan kasus tersebut ialah Pasal 385 KUHP tentang penyerobotan tanah.
Oleh karena itu, apakah penolakan laporan masyarakat tersebut berdasar pada kedua aspek hukum tersebut atau tidak? Menurut saya, bisa saja berdasar (subjektif) atau bisa saja tidak berdasar (objektif).
Berdasar karena polisi/penyidik hanya memandang bukti dalam aspek hukum pidana saja atau dalam petunjuk teknis penyidik bukti yang dipakai terkait kepemilikan tanah ialah berupa sertifikat atau sejenis bukti tertulis lain yang menjelaskan terkait kepemilikan tanah tersebut.
Tidak berdasar disebabkan polisi mengesampingkan bukti lain selain dari sertifikat yang dapat membuktikan hak kepemilikan atas tanah sebagai langkah perlindungan hukum atas laporan masyarakat yang tidak memiliki sertifikat.
Dasar hukumnya jelas, yaitu PP No. 24/1997 Pasal 24 ayat 1 poin (a) dan poin (b). Pada intinya sudah menjelaskan secara detail terkait “bukti penguasa fisik” atas tanah yang dimiliki, dengan jangka waktu penguasaan selama 20 secara berturut-turut atau lebih dan penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik. Artinya, pada aspek ini, bukti hak kepemilikan atas tanah tidak hanya sertifikat atau bukti tertulis saja yang dapat menjadi bukti pelaporan penyerobotan tanah. Pengakuan dan keterangan saksi dapat menjadi alat bukti sah yang perlu diperhatikan oleh pihak kepolisian.
Dalam aspek lain, kepolisian/penyidik harus melihat secara menyeluruh ketika menerima laporan dari masyarakat terkait kasus “penyerobotan tanah”. Polisi tidak boleh bersikap subjektif ketika memeriksa bukti. Sebab, ada banyak masyarakat yang sampai hari ini belum mendaftar hak kepemilikan atas tanah mereka ke BPN untuk mendapatkan sertifikat/pengakuan pemerintah.
Tetapi bukan berarti hak kepemilikan atas tanah tersebut hangus atau tidak ada. Pelekatan kepemilikan hak atas tanah tersebut oleh masyarakat tetap berlangsung sepanjang dunia ini belum runtuh. Ya, tanpa harus memiliki sertifikat juga tidak ada masalah. Terkecuali ditelantarkan, itu baru akan dikuasai oleh negara melalui proses hukum.
Sebagai penguatan, dokumen hukum UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria menghargai prinsip yang terpakai dalam kesatuan masyarakat hukum adat (Pasal 5 UUPA). Jadi, apa pun transaksi-transaksi yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman dulu sebelum ada surat-menyurat seperti hari ini, harus dihargai oleh pemerintah pada umumnya. Karena UUPA tidak selalu mengatur terkait hak penguasaan atas tanah, pendaftaran hak atas tanah, sertifikat dan lain-lain sebagai bukti kepemilikan di Negara Republik Indonesia. (*Pengamat dan Praktisi Hukum Perdata Bima)