OLEH: NUR HASANAH*
Orang yang mempunyai banyak ilmu bahkan menguasai berbagai bidang sangat mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun seseorang yang memiliki banyak ilmu dan karakter yang baik sangat sukar ditemukan. Apalagi dalam kondisi di mana manusia dituntut bersekolah atau berpendidikan tinggi dan memiliki keahlian tertentu. Apabila tidak memiliki hal-hal tersebut, maka seseorang akan sulit bersaing dengan zaman yang seolah tidak memanusiakan manusia.
Lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan perguruan tinggi sebagai penunjang untuk melahirkan generasi yang berkarakter sudah menjamur di negeri kita. Berbagai konsep dan metode dibangun melalui perubahan kurikulum setiap tahun untuk mengejar tuntutan tersebut.
Setiap pergantian menteri, pasti berganti pula kurikulum. Konsepsi pendidikan karakter pun dijadikan prioritas utama dalam mencetak generasi bangsa yang berkarakter. Pendidikan karakter atau yang dikenal dengan character building juga sudah dicanangkan sejak Orde Lama sampai 2025. Namun dalam realitasnya, konsep pendidikan karakter yang sudah disusun dan dijadikan landasan utama dalam pendidikan tidak berhasil memberikan penguatan karakter kepada peserta didik.
Hal ini dapat dikatakan sebagai kegagalan karena setiap sekolah lebih mengutamakan penguatan knowledge daripada karakter. Anak dituntut menghafal bertumpuk materi pelajaran, tetapi sangat jarang sekali sekolah yang mampu mengintegrasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran. Baik dalam kelas maupun di luar kelas.
Bukan hanya terjadi di sekolah. Di lingkungan keluarga pun tidak sedikit anak yang kehilangan figur yang dijadikan sebagai kiblat dalam berkarakter baik. Orang tua pun sulit memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya karena faktor internal maupun eksternal seperti orang tua sibuk bekerja di luar rumah sehingga anak jarang diperhatikan.
Walaupun para orang tua libur dari pekerjaan hariannya di luar rumah, mereka hanya disibukkan dengan gawainya masing-masing, sehingga waktu untuk memberikan pengarahan kepada anak terkorupsi.
Contoh-contoh tersebut pun diikuti oleh anak-anak di rumah seperti pada saat orang tuanya mengajaknya berbicara. Anaknya sibuk dengan dunianya yang sudah tersita oleh media sosial, game, dan lain-lain.
Penggunaan bahasa yang tidak sopan seperti memanggil anak dengan nama binatang, memberikan sumpah serapah kepada anak karena melakukan kesalahan, tidak jarang dilakukan oleh anak-anak apabila sudah memiliki kekuatan untuk membalikkan contoh yang dipraktikkan orang tuanya.
Contoh-contoh tersebut bukan hal yang asing ditemukan di tengah-tengah masyarakat kita. Budaya berbicara yang sopan dan mendengarkan dengan baik seolah luntur karena pengaruh berbagai hal.
Tanda-tanda hancurnya suatu moral bangsa mulai bermunculan satu per satu. Thomas Lickona mengungkapkan, ada 10 tanda kehancuran moral bangsa, di antaranya meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; ketidakjujuran yang membudaya; semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru, dan figur pemimpin; pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan, dan meningkatnya kecurigaan dan kebencian.
Selain itu, penggunaan bahasa yang memburuk; penurunan etos kerja; menurunnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; meningkatnya perilaku merusak diri, dan semakin kaburnya pedoman moral.
Dari deretan tanda yang dikemukakan oleh ilmuwan tersebut, kita bisa mengaitkannya dengan kondisi bangsa kita yang semakin tahun terus memprihatinkan. Karena itu, harus secepatnya ditangani.
Kita bisa melihat kasus peningkatan kekerasan di kalangan remaja. Kekerasan terhadap remaja terus meningkat setiap tahun. Salah satunya kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak di bawah umur 18 tahun.
Komnas HAM melalui Catatan Tahunan 2020 menemukan angka korban serta pelaku kekerasan seksual anak yang cukup mengkhawatirkan pada tahun 2019. Berdasarkan data yang dihimpun lembaga tersebut, anak yang mengalami kekerasan seksual dalam ranah personal usia 13-18 tahun berjumlah 2.262 kasus. Kemudian korban kekerasan dalam komunitas berjumlah 963 kasus dan korban kekerasan seksual dalam ranah personal sekitar 652 kasus.
Data tersebut menunjukkan tanda daruratnya kekerasan yang dialami oleh remaja yang terus meningkat setiap tahun. Kasus-kasus itu dapat ditemukan di beberapa daerah di pelosok desa. Banyak anak yang mendapatkan kekerasan seksual dan kekerasan lainnya yang tidak terdata. Hal ini terjadi karena orang tua menganggapnya sebagai aib keluarga. Maka dari itu, mereka memilih tidak melaporkannya kepada pihak yang berwenang.
Kemudian ketidakjujuran yang membudaya. Praktik ketidakjujuran sudah menjamur di bangsa kita. Mulai dari tukang bersih-bersih sampai pejabat negara. Seolah ini sudah dijadikan kebiasaan (habits). Tidak jarang praktik tersebut terus memenuhi pemberitaan di media massa. Seperti yang mewarnai dinding media beberapa pekan terakhir ini.
Saat bangsa Indonesia berusaha melawan Covid-19, ada segelintir oknum yang memanfaatkan kondisi tersebut untuk meraih keuntungan pribadi. Sebagaimana yang baru-baru ini terjadi. Eks Menteri Sosial di era kabinet kerja Jokowi telah mengorupsi dana bantuan sosial senilai Rp 17 miliar. Sebelumnya juga dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ekspor benih lobster.
Problem-problem yang penulis gambarkan di atas hanyalah bagian terkecil dari praktik ketidakjujuran, karena di tengah-tengah kita masih banyak yang belum terekam.
Selanjutnya, meningkatnya kecurigaan dan kebencian. Ujaran kebencian dan saling melempar kecurigaan terus terjadi antara kelompok yang satu dengan kelompok lain; antara individu yang satu dengan yang lain terus-menerus terjadi di tengah-tengah bangsa Indonesia.
Demikian juga penggunaan bahasa yang memburuk. Di zaman sekarang, penggunaan bahasa oleh anak muda semakin tidak keruan, bahkan mereka terbiasa memanggil temannya dengan nama binatang dan memplesetkan beberapa kosa kata serta maknanya. Hal ini merupakan cerminan memburuknya penggunaan bahasa oleh pemuda, bahkan dicontohkan oleh orang yang lebih tua, sehingga memudarlah keteladanan.
Dari seabrek problem moral di tengah-tengah kita, patutlah ini menjadi perhatian serius. Terutama kepada anak muda yang akan menjadi estafet perjuangan dalam memajukan bangsa Indonesia. Langkah yang diambil tentunya dengan tindakan solutif untuk membendungnya, agar tidak semakin menyebar.
Caranya, penguatan pendidikan karakter di tri-pusat pendidikan: lingkungan pendidikan formal, keluarga dan masyarakat. Yaitu dengan menjadikan pendidikan karakter sebagai dasar utama dan penting yang harus diajarkan kepada setiap anak. Kemudian orang yang lebih tua memberikan teladan kepada yang lebih muda.
Lalu, pemerintah dan organisasi-organisasi pemuda mesti memberikan pendidikan kepada setiap orang tua terkait pentingnya mengedukasi anak-anak mereka sedini mungkin tentang karakter yang baik. Sehingga ke depan anak-anak mampu menginternalisasikan serta menjadikan karakter sebagai hal yang penting dalam setiap perbuatannya. (*Lulusan Pascasarjana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta)