Jakarta, Ntbnews.com – Seiring jumlah kasus Covid-19 di Indonesia terus naik melewati satu juta, pengabaian pemerintah terhadap langkah-langkah kesehatan masyarakat lainnya yang mendukung dorongan vaksinasi wajib menunjukkan pengabaian yang jelas terhadap kewajiban hak asasi manusia.
Presiden Joko Widodo adalah orang Indonesia pertama yang menerima vaksinasi Covid-19 pada 13 Januari, disiarkan langsung di televisi nasional. Pemerintah menggambarkan momen tersebut sebagai titik balik dalam perang melawan Covid-19, tetapi tanggapan publik kurang antusias.
Vaksin Sinovac buatan China, satu-satunya yang saat ini tersedia di Indonesia, telah disambut dengan skeptis oleh masyarakat. Data khasiat sangat bervariasi, dengan hasil dari uji klinis terbesar di Brasil menemukan bahwa meskipun efektif dalam mencegah gejala serius, vaksin itu hanya 50,65 persen efektif dalam mencegah infeksi. Angka ini jauh di bawah angka vaksin alternatif yang sekarang didistribusikan di negara lain.
Para ahli juga telah menyuarakan keprihatinan tentang keamanan terbatas dan informasi pengujian yang diungkapkan tentang vaksin China. Skeptisisme di kalangan publik semakin diperkuat dengan penyebaran informasi yang salah di media sosial.
Ketidakpercayaan terhadap vaksin Covid-19 rupanya begitu marak sehingga pada 9 Februari, Jokowi mengeluarkan peraturan presiden yang menyatakan siapa pun yang menolak vaksinasi dapat dikecualikan dari bantuan sosial atau layanan pemerintah, atau bahkan dikenai denda.
Menindaklanjuti peraturan tersebut, pekan lalu pemerintah Jakarta mengatakan akan mendenda warga hingga Rp 5 juta jika mereka menolak vaksinasi. Ini akan menjadi denda yang berat bagi jutaan orang miskin di ibu kota negara.
Melansir Indonesia at Melbourne, Amnesty International mengatakan, mandat menyeluruh tentang vaksinasi, terutama yang melibatkan sanksi pidana, jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Vaksin Covid-19 hanya boleh diberikan dengan persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan dari orang yang bersangkutan.
Instrumen hak asasi manusia internasional memungkinkan pembatasan hak asasi manusia untuk kesehatan masyarakat berakhir, tetapi hanya jika perlindungan tertentu disertakan.
Rencana imunisasi Covid-19 harus dilakukan dengan cara yang konsisten dengan perlindungan hak asasi manusia. Daripada mengeluarkan mandat yang membawa hukuman pidana, secara aktif terlibat dengan publik dan memeriksa mengapa skeptisisme tetap lazim akan menjadi strategi yang lebih manusiawi dan lebih efektif untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Pejabat pemerintah berpendapat, mandat menyeluruh pada vaksinasi diperlukan untuk melindungi hak masyarakat atas kesehatan dengan mengurangi penularan Covid-19. Ini sangat ironis, karena pemerintah telah menunjukkan pengabaian yang jelas terhadap hak masyarakat atas kesehatan selama pandemi.
Lansia Indonesia sekarang akan menjadi target saat fase kedua dari program vaksinasi diluncurkan. Namun fokus awal pemerintah pada pekerja “usia produktif” di atas populasi lansia yang paling rentan menunjukkan prioritas utamanya masih pada pertumbuhan ekonomi, bukan kesehatan masyarakat.
Kurangnya keseriusan pemerintah dalam melindungi hak publik atas kesehatan juga dapat dilihat dari bagaimana mereka menyerah pada langkah-langkah kesehatan masyarakat yang terbukti efektif di negara lain, seperti menciptakan sistem pelacakan kontak yang kuat dan andal serta mendorong pemakaian masker.
Dikutip dari Indonesia at Melbourne, juru bicara Satuan Tugas Covid-19 Wiku Adisasmito telah mengakui, pelacakan kontak di Indonesia jauh dari target satuan tugas: 30 kontak dekat yang diidentifikasi untuk setiap orang yang dites positif. Di Jakarta, yang memiliki sistem pelacakan kontak terkuat di negara ini, rasionya hanya delapan kontak untuk setiap kasus yang dikonfirmasi.
Sementara itu, salah satu orang yang selama ini diandalkan pemerintah untuk mengiklankan vaksin, Raffi Ahmad, tercatat menghadiri pesta tanpa menggunakan masker, hanya beberapa jam setelah dia menerima vaksin.
Jika Indonesia memutuskan untuk bergerak maju dengan mandat menyeluruh, negara ini akan menonjol di kawasan karena pendekatannya yang berat terhadap imunisasi massal. Tetangga dekat Indonesia, seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina, mengatakan vaksinasi Covid-19 tidak akan wajib.
Indonesia harus menginvestasikan sumber dayanya untuk memastikan akses ke informasi ilmiah yang obyektif, dalam bahasa yang relevan dan dalam format yang dapat diakses oleh semua orang.
Seperti yang dikatakan para ahli Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai vaksinasi wajib, “kami jauh lebih berhasil untuk memberikan data dan manfaat kepada orang-orang dan membiarkan orang mengambil keputusan sendiri”.
Vaksinasi wajib sangat memprihatinkan mengingat Indonesia memiliki sejarah penggunaan taktik pemaksaan demi kesehatan masyarakat. Selama masa Orde Baru, tekanan sosial dan administratif yang berat digunakan untuk menekan perempuan agar mengikuti program keluarga berencana pemerintah di daerah.
Menentang vaksinasi wajib tidak sama dengan menentang vaksinasi. Vaksinasi masyarakat yang meluas akan menjadi penting jika Indonesia ingin mengatasi bencana Covid-19.
Namun tanggapan Covid-19 Indonesia secara umum, dan upaya vaksinasi pada khususnya, akan lebih sukses dengan memberlakukan langkah-langkah kesehatan masyarakat yang berakar pada hak asasi manusia, sambil menyebarkan informasi yang kredibel dan akurat seputar vaksin Covid-19, daripada mengandalkan ketakutan akan hukuman pidana. (mp/ln)