Depok, NTBnews.com – Syekh Ali Jaber pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia pada 2008. Tujuannya, bertemu dengan saudaranya. Sekaligus berlibur. Ia memilih Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), sebagai tempat untuk menghabiskan waktu liburnya.
Kala itu, Syekh Ali belum bisa berbahasa Indonesia. Sebagai warga Madinah, Arab Saudi, saat berada di Lombok, ia banyak dituntun oleh saudaranya kala berkomunikasi dengan warga.
Di Pulau Seribu Masjid itu, ia disambut dengan hangat oleh warga. Di kalangan warga Lombok, seketika namanya melambung. Dia dianggap sebagai imam dari Madinah. Orang yang memimpin masjid besar di kota yang pernah dikenal sebagai Yatsrib tersebut.
Tak heran, dalam waktu yang relatif pendek ia bisa menyatu dengan warga di pulau tersebut. Ia juga dipercaya menjadi imam dan memimpin tahfiz di Lombok.
Alasannya ke Lombok bukan semata menjenguk saudaranya dan berlibur. Syekh Ali sejatinya memiliki ikatan yang erat dengan Lombok. Berdasarkan penuturannya, kakek dari ibunya meninggal di Lombok karena melawan penjajah Belanda.
Pengetahuan itu didapatkan Syekh Ali saat berada di Lombok. Ibunya pun tak pernah menceritakan hal itu kepadanya. Setelah bertanya kepada orang-orang terdekatnya, ia mengetahui banyak hal tentang ikatan kekerabatannya.
Kakeknya tergolong ulama yang mampu menyatukan masyarakat Sasak di Lombok untuk melawan pasukan Belanda. Perjuangan kakeknya harus dibayar mahal dengan nyawanya. Ia pun dimakamkan di Mataram. “Beliau punya makam besar di Ampenan,” ungkap Syekh Ali.
***
Selama berada di Lombok, selain berdakwah, memimpin tahfiz Alquran, dan menjadi imam salat, Syekh Ali menghabiskan waktu dengan bermain bola bersama warga lokal. Para pemuda yang bermain bola dengannya memanggilnya dengan nama Ali Zidane. Dia dianggap mirip dengan pemain legendaris dari Perancis, Zinedine Zidane.
Pulau Lombok yang memiliki banyak laut membuat Syekh Ali sangat terkesan dengan wilayah tersebut. Ia pun merasa nyaman bermukim di Lombok. Alasannya, Lombok dipenuhi dengan pulau-pulau yang indah.
Beberapa bulan setelah bermukim di Lombok, Syekh Ali menikahi seorang perempuan bernama Nadia Salim, perempuan asal Kelurahan Monjok, Kota Mataran, NTB. Buah dari pernikahan ini, keduanya dikaruniai seorang anak yang diberi nama Hasan.
***
Syekh Ali meninggal dunia pada Kamis (14/1/2021) di Rumah Sakit Yarsi, Jakarta. Jenazahnya kemudian dikebumikan di Ponpes Daarul Quran, Tangerang, Banten. Sebelum dimakamkan, jenazah Syekh Ali terlebih dahulu dibawa ke kediamannya di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur.
Ulama kelahiran 3 Februari 1967 itu pernah mengutarakan keinginannya, jika ia meninggal dunia, dia ingin dimakamkan di Lombok.
Alasannya, Lombok adalah tempat di mana anaknya dilahirkan. Juga asal dari istrinya yang kini sedang hamil lima bulan. Kakek dari ibunya pun lahir dan meninggal di pulau tersebut. “Lombok termasuk pulau kesayangan saya,” tuturnya.
***
Empat tahun setelah bermukim di Indonesia, pemerintah menyetujui Syekh Ali sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Perpindahan kewarganegaraan itu sebagai wujud kecintaannya terhadap negeri ini. “Saya mencintai Indonesia,” katanya.
Selama 12 tahun bermukim dan menjadi WNI, Syekh Ali melakukan dakwah dari satu masjid ke masjid lainnya. Dari satu pelosok ke pelosok lainnya. Waktunya nyaris dihabiskan untuk menyiarkan Islam. Ia mengajak umat pada prinsip-prinsip universal tentang agama tauhid tersebut.
Dia diterima oleh semua kelompok sosial dan keagamaan. Hal ini tidak terlepas dari dakwahnya yang sejuk. Jauh dari unsur kebencian. Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebutnya sebagai ulama yang mengajarkan Islam sejati.
Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD mengenang Syekh Ali sebagai pribadi yang sangat rendah hati. Sehingga Mahfud pun dipanggilnya sebagai guru. Padahal sang mubalig adalah seorang hafiz yang telah menghafal 30 juz Alquran sejak ia berumur 10 tahun.
Sementara itu, mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) mengenang Syekh Ali sebagai pendakwah yang sejuk. Ia mengajak umat dari masjid ke masjid. Karena itu, Syekh Ali dikenal luas dan dekat dengan masyarakat.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menilai Syekh Ali sebagai mubalig yang moderat dan mampu merangkul semua kelompok. Pesan-pesannya meneguhkan, mendamaikan, dan mempersatukan umat.
“Almarhum merupakan sosok yang tak pernah mengeluarkan statement atau ungkapan-ungkapan yang bersifat kontroversial,” ujarnya. (ln)