Jakarta, Ntbnews.com – Maret adalah bulan biasa. Yang tak biasa hanya ketika massa yang didominasi perempuan, tumpah ruah di Jalan MH. Thamrin Jakarta Pusat tahun lalu.
Mereka mengangkat poster besar di atas pegangan kayu, memegang spanduk, dan mengepalkan tangan, massa berarak menuju Istana Negara, Minggu (8/3) sekitar pukul 11.00 WIB.
Ya, hari ini memang hari raya mereka. Seperti tahun yang sudah-sudah, mereka merayakannya dengan membawa sederet tuntutan pada negara. Meskipun tahun ini tampaknya perjuangan turun ke jalan tak bisa dilakukan karena pandemi corona.
Tahun lalu, ada enam tuntutan yang mereka perjuangkan: menuntaskan kasus kekerasan terhadap perempuan; membangun sistem perlindungan komprehensif bagi perempuan, dan mencabut kebijakan diskriminatif gender.
Selain itu, mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga; menolak omnibus law, RKUHP, RUU Ketahanan Keluarga; serta menghentikan agenda pembangunan yang berpihak pada investor.
Merayakan Hari Perempuan dengan tradisi semacam ini sebenarnya melampaui perayaan seremonial. Seperti halnya ulang tahun, hari jadi, atau peringatan banal lainnya. Sebab, hingga kini enam tuntutan tersebut memang menjadi problem yang relatif konkret menghantui kiprah perempuan, baik di ruang privat maupun publik.
Tentu saja, Lini Zurlia, sang koordinator gerakan 2020 bakal berang jika dituding aksi hari ini hanya menjadi aksi keren-kerenan agar massa yang ikut serta dicap sebagai feminis nan elite, cerdas, dan repot memikirkan urusan akar rumput.
Kebijakan diskriminatif gender adalah urusan semua perempuan Indonesia. Ramai-ramai menolak omnibus law adalah keresahan yang dirasakan kaum prekariat, termasuk jurnalis, buruh Aice, pekerja rumah tangga, maupun pegawai negeri.
Menghentikan negara terlalu jauh campur tangan dalam urusan selangkangan lewat RUU Ketahanan Keluarga adalah kemaslahatan semua, dari pekerja tuna susila, ibu rumah tangga, pasangan kekasih, maupun perempuan karier.
“Jadi, jika ada yang menyebut Hari Perempuan Sedunia adalah momen yang sia-sia, barangkali ia adalah presiden atau investor,” kata Purnama Ayu Rizky.
Namun, terlepas dari itu, Hari Perempuan Sedunia yang hari ini kebetulan menjadi ikon Google Doodle bukan momen yang turun dari langit lalu dirayakan begitu saja. Itu memiliki sejarah yang merentang zaman.
Syahdan, pada 8 Maret 1857, kelompok buruh yang bekerja di pabrik tekstil New York melangsungkan protes atas upah rendah yang mereka terima. Kendati tak ada dampak konkret pasca-aksi itu, lima puluh tahun berselang, aksi demonstrasi serupa kembali terjadi di kota itu.
Bedanya, dalam aksi 1907, jumlah peserta yang ikut mencapai 15 ribu buruh perempuan tekstil. Dua tahun kemudian, mengutip Internationalism in the Labour Movement 1830-1940 (1988), unjuk rasa besar-besaran yang dimotori oleh Socialist Party of America (SPA) atau Partai Sosialis Amerika di New York kembali dilakukan. Namun, tuntutannya meluas menjadi keinginan agar perempuan diikutkan dalam proses berpendapat dan berpolitik.
Adalah politisi perempuan Clara Zetkin yang menyampaikan usulan agar 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Sedunia. Aktivis Partai Demokrat Sosial Independen dari Jerman (USPD) yang berhaluan kiri ini menyampaikan gagasannya pada 1910 di Konferensi Internasional tentang pekerja perempuan di Kopenhagen, Denmark.
Usulnya disetujui, dan secara resmi Hari Perempuan Sedunia untuk pertama kali dirayakan setahun berselang di Jerman, Austria, Swiss, dan Denmark. PBB baru meresmikannya pada 1975.
Tuntutan massa aksi 1911, yakni merealisasikan hak pilih, hak berpolitik, dan jabatan di sektor publik bagi perempuan. Mereka juga menggugat tindakan diskriminatif, termasuk dalam perkara seks dan buruh perempuan di tempat kerja.
Tahun-tahun setelahnya, tuntutan kaum perempuan berubah menyesuaikan kebutuhan zaman. Namun, setidaknya setiap tuntutan yang digemakan selalu mencerminkan potret masalah perempuan di masa itu.
Selain menjadi hari libur, di banyak negara, momentum 8 Maret bahkan dirayakan dengan beragam cara. Di China, perusahaan secara resmi memberi cuti setengah hari kepada kelas pekerja, meskipun beberapa ada yang menolaknya.
Di Spanyol, hak cuti diberikan hingga 24 jam agar para perempuan bisa leluasa menggelar aksi demonstrasi. Di Italia, 8 Maret diperingati dengan memberikan bunga mimosa kuning, yang dianggap sebagai simbol kekuataan perempuan.
Terlepas dari bagaimana cara menghayati dan memperingati 8 Maret, setidaknya momen hari ini jadi pengingat bersama bahwa sejak berdekade silam, nasib perempuan memang tak pernah baik-baik saja.
“Sepanjang pemerkosaan dan pelecehan seksual atas perempuan masih marak, pemutusan hubungan kerja buruh hamil masih bisa dijumpai, dan perempuan dimarjinalisasi lewat beragam peraturan pemerintah, maka tak ada pilihan lain selain lawan,” tegas Ayu. (mp/ln)