Jakarta, Ntbnews.com – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi penetapan izin ekspor benih lobster (benur) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (17/3/2021), mengungkapkan sejumlah fakta baru.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan delapan saksi untuk terdakwa Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito.
Mereka ialah mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo; istri Edhy, Iis Rosita Dewi; sekretaris pribadi Edhy, Anggia Tesalonika Kloer; Kepala Bagian Humas KKP, Desri Yanti; PNS KKP, Andhika Anjaresta; Dwi Kusuma Wijaya; Chandra Astan (swasta), dan Achmad Syaihul Anam.
Berikut pelbagai fakta yang terungkap dalam sidang lanjutan dugaan korupsi penetapan izin ekspor benih lobster.
Jam Rolex untuk Istri Edhy
Iis Rosita Dewi mengungkapkan, pembelian sejumlah barang mewah seperti jam tangan, syal, hingga tas ketika berada di Amerika Serikat (AS). Beberapa sumber uang yang digunakan untuk membeli barang-barang tersebut di antaranya berasal dari Edhy.
Iis yang juga anggota Komisi V DPR RI, mengaku diberikan uang tunai sejumlah US$ 50 ribu oleh Edhy. Ia menggunakan uang tersebut di antaranya untuk membeli jam tangan Rolex yang diperuntukkan sebagai hadiah bagi sang ibu.
“Rolex itu saya beli sengaja saya niatkan karena itu untuk hadiah ulang tahun ibu saya. Harga yang silver gold sekitar US$ 18 ribu. Itu dari uang tunai,” kata Iis.
Saat berada di Hawaii, AS, Iis juga menerima jam tangan Rolex dari Edhy. Ia mengaku tidak mengetahui jam itu dibeli dari toko mana. Pun terkait sumber uang yang digunakan, Iis mengklaim tidak mengetahuinya.
“Saya tidak tahu persis pada dasarnya (dibeli di mana). Tapi Pak Edhy ketika menyerahkan (menyampaikan) bahwa: This is Anniversary Present,” tutur dia.
Nafkah Rp 50 Juta Tiap Bulan
Dalam sidang ini, Iis mengaku menerima uang Rp 50 juta dari suaminya setiap bulan. Uang itu digunakan untuk keperluan sehari-hari rumah tangga.
Jaksa pun mendalami sumber uang yang diperoleh Edhy sewaktu menjabat sebagai menteri. Pasalnya, pengelolaan uang tidak sepenuhnya dikuasai oleh Edhy, melainkan juga melibatkan sekretaris pribadinya, Amiril Mukminin.
Sementara di sisi lain, Iis mengakui pernah beberapa kali menerima uang dari Amiril. “Amiril mengelola uang Pak Edhy, yang dikelola itu uang apa? Uang Rp 50 juta ini kan gaji. Penghasilan lain. Ada penghasilan lain Pak Edhy saat jadi menteri?” tanya jaksa.
“Saya enggak tahu,” ucap Iis.
Pinjaman Mobil hingga Sewa Apartemen
Anggia Tesalonika Kloer, sekretaris pribadi Edhy, mengungkapkan menerima pinjaman mobil hingga mendapat fasilitas sewa apartemen dari bosnya tersebut.
Anggia yang berasal dari Manado ini berujar diberikan fasilitas apartemen lantaran dirinya tidak mempunyai keluarga di Jakarta.
Ia mengaku tidak mengetahui besaran uang yang dikeluarkan terkait sewa apartemen tersebut. Hanya saja, menurut dia, fasilitas apartemen juga diterima oleh sekretaris pribadi Edhy lainnya: Fidya Yusri dan Putri Elok.
Anggia juga mengaku diberikan mobil merek Honda HRV hitam oleh Edhy. Adapun mengenai Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) atas nama Ainul Faqih yang merupakan staf istri Edhy, Iis.
“Kendaraan itu pasca saya sembuh Covid-19 bulan awal Oktober, saya dipinjamkan mobil untuk mempermudah dari tempat tinggal ke kantor agar tidak menggunakan kendaraan umum,” jelas dia.
Persoalan Permen Ekspor Benur
Saat duduk sebagai anggota DPR, Edhy menganggap kebijakan pelarangan ekspor benur pada era Susi Pudjiastuti membuat banyak masyarakat kehilangan pekerjaan.
“Pada saat saya Ketua Komisi IV, saya sebagai mitra KKP, Ibu Susi. Banyak masukan masyarakat di pesisir selatan Jawa, kemudian daerah Lombok, Bali, dan Indonesia timur, Sulawesi. Dan, mereka merasa kehilangan pekerjaan dengan dilaksanakannya Permen KP Nomor 56/2016,” kata Edhy.
Oleh karena itu, dia menyebut, pembukaan keran budi daya dan ekspor benur melalui Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 bukan serta-merta atas pertimbangan pribadi. Ia mengatakan, sebelumnya, ada kajian dari para ahli dan akademisi.
“Ada bukti dengan mengunjungi masyarakat dan pendapat ahli. Kebijakan itu tidak serta-merta saya menteri tidak. Saya himpun ahli, pelaksana lapangan, walau saat awal menteri kami juga dihajar—yang menyebut saya merusak lingkungan. Dan, itu kita himpun dengan baik,” kata dia.
Namun demikian, Edhy mengakui dua anak buahnya yang berstatus direktur jenderal ragu memimpin pelaksanaan peraturan menteri tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan di wilayah RI tersebut.
Pejabat yang dimaksud yakni Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dan Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya.
“Permen setelah dibolehkan atau terbit kan harus diimplementasikan. Harus dibuat aturan pelaksananya. Gimana aturan ini bisa berjalan. Sesuai arahan presiden, kegiatan jangan nunggu. Harus ada terobosan-terobosan. Kita segera harus laksanakan,” ucap Edhy.
“Kami meminta siapa yang memimpin tim ini. Pada saat rapat, dua dirjen ini masih ragu dengan alasan overload kerjaan,” sambungnya. (cnn/lb)