NTBNEWS.COM- Dalam upaya menyebarkan ajaran Islam, peran Dai tidak terbatas pada mimbar dan pendengar yang sudah siap menerima dakwah. Dai, khususnya Dai komunitas, dihadapkan pada tantangan unik yang memerlukan keikhlasan untuk meraih pendengar yang mungkin belum sepenuhnya bersedia.
“Kalau mubaligh dakwahnya kepada orang-orang yang sudah siap mendengarkan, namun Dai, terutama Dai komunitas, itu orang yang mendengarkan belum tentu mau. Maka harus diajak dulu dan itu butuh modal dan keikhlasan,” terang Ketua Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) PP Muhammadiyah Mochamad Arifin dalam Training of Trainer (ToT) LDK PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Cirebon pada Sabtu (09/12).
Urgensi Dai komunitas termaktub dalam Firman Allah SWT bahwa Dia menciptakan manusia berbagai bangsa, suku, budaya, dan bahasa. Dalam kerangka ini, Arifin mengadvokasi dakwah berbasis komunitas sebagai metode yang lebih efektif. Salah satu contoh nyata adalah keberhasilan kegiatan dakwah di Jawa Timur yang ditujukan kepada anak-anak punk. Hasilnya sungguh memuaskan, dengan beberapa di antara mereka berhasil mendapatkan pekerjaan, menemukan jodoh, dan bahkan menjadi Dai.
Meski mengakui bahwa dakwah komunitas merupakan tugas yang berat, Arifin menekankan kebahagiaan luar biasa yang diperoleh ketika berhasil. Pengalamannya membina anak-anak punk menjadi Dai sukses juga memberikan pemahaman bahwa dakwah tidak hanya berhenti pada tahap awal, melainkan harus bersifat menyeluruh. Dai komunitas, menurutnya, memiliki keutamaan karena mereka berurusan dengan lapisan masyarakat yang sering diabaikan.
Karenanya, kesuksesan dakwah komunitas tidak hanya diukur dari jumlah pendengar yang bersedia menerima pesan, tetapi juga dari transformasi positif yang dapat dicapai dalam kehidupan mereka. Dai komunitas, dengan keikhlasan dan ketulusan, dapat membuktikan bahwa meretas batasan komunitas adalah langkah yang penting dalam menyebarkan nilai-nilai keislaman dan membawa perubahan positif bagi masyarakat yang mungkin terpinggirkan.
Arifin menambahkan bahwa dakwah di kampung muallaf dan daerah terdepan, terpencil, tertinggal (3T) juga memerlukan dukungan modal. Untuk mengatasi tantangan ini, LDK diarahkan untuk menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga tertentu guna melakukan fundraising atau galang dana. Modal ini dianggap sebagai instrumen penting dalam mendukung keberlanjutan dan efektivitas dakwah di wilayah-wilayah yang mungkin terabaikan.
Arifin juga menggarisbawahi adanya sasaran dakwah menengah yang memerlukan keahlian khusus. Sebagai contoh, ia merujuk pada dakwah di lembaga pemasyarakatan anak. Dalam hal ini, keberhasilan dakwah tidak hanya diukur dari aspek materi, melainkan juga dari keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh para dai. Arifin menegaskan bahwa meskipun dai tidak membawa materi saat berdakwah di lapas anak, keahlian yang dimiliki oleh mereka menjadi kunci keberhasilan.
Dengan demikian, Arifin menyoroti kompleksitas dakwah yang melibatkan berbagai tingkatan masyarakat dan lokasi geografis. Ia memperluas pemahaman kita bahwa dakwah bukan hanya tentang penyampaian pesan keagamaan secara umum, tetapi juga melibatkan aspek keahlian, modal, dan kerjasama lembaga untuk mencapai hasil yang optimal dalam berbagai konteks sosial. (mk)