Brussel, ntbnews.com – Pada Rabu (1/9/2021), Presiden Dewan Eropa, Charles Michel, menekankan urgensi sikap independen Uni Eropa dalam masalah Afghanistan dari AS.
Ia mengatakan, pihaknya tidak memerlukan peristiwa geopolitik lain untuk membenarkan bahwa Uni Eropa harus memiliki lebih banyak independensi dalam pengambilan keputusan dan kapasitas untuk bertindak secara global.
Pernyataan pejabat senior Uni Eropa itu menunjukkan ketidakpercayaan yang tumbuh dari sekutu utama Washington terhadap pemerintah AS menyikapi dinamika krisis di Afghanistan dan kinerja yang sangat buruk dari Presiden AS, Joe Biden, dalam masalah tersebut.
Faktanya, terlepas dari pernyataan dan janji Biden sebelumnya untuk menghidupkan kembali hubungan transatlantik setelah era Trump, Biden bukan hanya tidak memperhatikan pandangan Eropa dan NATO tentang penarikan pasukan Barat dari Afghanistan, tetapi juga salah urus dalam penarikan pasukan ini yang menyebabkan kekacauan besar, dan pada akhirnya, skandal itu mengakhiri kehadiran militer AS dan NATO di Afghanistan.
Dari sudut pandang Eropa, pengalaman Afghanistan telah menunjukkan bahwa Uni Eropa tidak hanya perlu membentuk dan mengoperasikan kekuatan reaksi cepatnya sendiri untuk segera campur tangan dalam krisis seperti krisis Afghanistan, tetapi juga harus mempertimbangkan kembali sikapnya selama ini yang mengekor AS dalam masalah regional dan global.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell mengungkapkan, penarikan pasukan Barat dari Afghanistan kemungkinan akan menjadi katalis bagi Uni Eropa untuk mempercepat upaya membangun kekuatan pertahanannya sendiri, termasuk pembentukan kekuatan reaksi cepat.
Borrell juga meminta pemerintah Uni Eropa membentuk Pasukan Reaksi Cepat Eropa untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi krisis di masa depan seperti Afghanistan.
Faktanya, keputusan Biden menarik pasukan AS dari Afghanistan semata-mata didasarkan pada kepentingan Gedung Putih, terutama untuk mengakhiri perang tanpa akhir di kubangan Afghanistan, yang menurutnya merugikan AS 300 juta dolar per hari, terlepas dari konsekuensi langkah tersebut.
Sementara itu, Eropa sebagai sekutu Washington di NATO, yang memiliki beberapa ribu tentara di Afghanistan, telah berulang kali berbicara tentang konsekuensinya, terutama runtuhnya pemerintah Afghanistan, dominasi Taliban, dan akhirnya kerusuhan di negara itu serta penyebaran terorisme dengan meningkatkan aktivitas kelompok-kelompok seperti Daesh dan al-Qaeda di Afghanistan.
Masalah lainnya, sebelum penarikan pasukan AS dari Afghanistan, Eropa dan Amerika berada dalam konflik. Pada pertemuan puncak NATO baru-baru ini, Presiden AS, Joe Biden menyerukan peningkatan dukungan dana militer dari Eropa di organisasi keamanan itu.
Tuntutan ini selalu diajukan oleh mantan Presiden AS Donald Trump dan telah menyebabkan banyak ketegangan dalam hubungan transatlantik. Pada saat yang sama, banyak kritik Trump terhadap NATO dan filosofi keberadaannya telah menyebabkan meningkatnya ketidakpercayaan Eropa terhadap AS dalam memenuhi komitmen keamanannya ke Benua Biru.
Rangkaian masalah ini menyebabkan isu pembangunan kemampuan pertahanan independen Eropa dalam beberapa tahun terakhir, termasuk Pasukan Gabungan Eropa serta Pasukan Reaksi Cepat Eropa semakin menguat untuk segera menanggapi kemungkinan krisis serius dari Uni Eropa, terutama Prancis dan Jerman.
Kini, langkah pemerintah Biden dalam krisis Afghanistan meningkatkan kebutuhan terhadap independensi Eropa dan penciptaan kemampuan militernya yang mandiri. Namun, karena kepatuhan Eropa selama beberapa dekade terhadap AS, ada banyak keraguan tentang hal ini, terutama dalam masalah keamanan dan militer.
Bahkan Sekretaris Jenderal NATO Jaap de Hoop Scheffer, Skjen NATO tahun 2004-2009, mengatakan, kritik orang Eropa terhadap langkah Biden menarik pasukan AS dari Afghanistan cukup akurat tapi tidak relevan. “Namun kami orang Eropa kecanduan dengan Amerika Serikat,” katanya. (pt/ln)