Post ADS 1

Pertaruhan Elektabilitas Lutfi-Feri dalam Janji Politik Pembebasan Lahan Warga Kota Bima yang Diklaim Pelindo

Kota Bima, ntbnews.com – Pada 21-23 Desember 2016, Kota Bima diterjang banjir bandang setinggi 2 meter dan hampir merendam lima kecamatan di Kota Bima. Banjir tersebut merupakan banjir kiriman dari Kecamatan Wawo dan Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima. Akibatnya, Kota Tepian Air dilaporkan mengalami kerugian hingga mencapai ratusan miliar.

Tak hanya mengganggu sektor perekonomian dan sosial, perpolitikan juga turut terseret dalam bencana alam tersebut. Hanya berselang satu tahun setelah itu, kota yang terbentuk lewat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002 ini menggelar hajatan politik lima tahunan.

Ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan sebelumnya mengatasi persoalan banjir membuat sebagian masyarakat menginginkan perubahan dalam tampuk kekuasaan Kota Bima. Saat itu, jabatan Wali Kota Bima dijabat Qurais Abidin, yang didampingi Arahman Abidin. Keduanya merupakan putra dari mendiang Abidin. Selama delapan tahun, trah Abidin memegang tampuk kekuasaan perpolitikan Kota Bima. Arahman yang karib disapa Aji Man digadang-gadang akan melanjutkan hegemoni kekuasaan dari klan Abidin di Kota Bima melalui Pilkada 2018.

Saat itu, belum ada kandidat yang dianggap kuat untuk menantang sang petahana dalam perebutan kursi orang nomor satu di Kota Bima. Bak gayung bersambut, Anggota DPR RI kala itu, Muhammad Lutfi, datang dengan sebuah harapan. Dia mengklaim telah berhasil mendatangkan dana APBN sebesar Rp 10 miliar. Dana tersebut dibagikan kepada 20 ribu rumah yang terdampak banjir. Realisasinya, Rp 500 ribu per rumah. Belakangan, pada masa-masa kampanye, Arahman dan Lutfi saling mengklaim berjasa atas dana segar tersebut.

Kehadiran Lutfi di tengah bencana dianggap sebagai pahlawan, lantaran pemerintah daerah dinilai lamban menangani hajat hidup orang banyak. Isu banjir kemudian selalu digunakan Lutfi dan tim sukses serta relawannya untuk menjegal Aji Man dalam kontestasi Pilkada 2018.

Sejak saat itu, Lutfi terus melakukan geriliya politik di Kota Bima. Tak hanya intens bersilaturahmi ke sejumlah pimpinan Partai Politik (Parpol) untuk penjajakan demi mendapatkan dukungan politik, ia juga terus melakukan blusukan di masyarakat. Kepribadiannya yang murah senyum serta santun membuatnya mudah diterima sebagian besar warga Kota Bima.

Seiring waktu berjalan, ia sukses mendapatkan dukungan dari sembilan Parpol: Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Saat itu, ia menggandeng Ketua DPRD Kota Bima, Feri Sofiyan, yang merupakan politikus PAN. Sebagian pihak menilai, kesuksesan mereka mendapatkan dukungan dari mayoritas partai di parlemen sebagai wujud usaha mempersempit ruang politik bakal calon lain.

Akhirnya, Senin (12/2/2018), Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) menetapkan Pilkada Kota Bima diikuti oleh tiga Pasangan Calon (Paslon). Selain pasangan Lutfi-Feri, kontestasi ini diikuti pasangan Arahman Abidin-Fera Amalia, yang didukung Partai Demokrat, Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kemudian, pasangan dari jalur independen, Subhan-Wahyudin. Meski diikuti tiga Paslon, publik berspekulasi bahwa Lutfi-Feri dan Arahman-Fera akan bersaing ketat dalam panggung Pilkada ini.

Obor Kemenangan dan Janji Politik

Lutfi-Feri bersama tim serta para pendukungnya melakukan kampanye pada Pilkada Kota Bima tahun 2018. (Istimewa)

Paslon nomor urut 1, Arahman-Fera, berakronim Manufer. Jargonnya, “lanjutkan”. Sementara nomor urut 2, Lutfer, berjargon “perubahan”. Janji perubahan yang dibawa Lutfi-Feri setiap kali berkampanye ikut memanaskan perebutan kursi kekuasaan di Kota Bima. Saat berkampanye, dua Palson tersebut saling mengklaim telah berhasil membawa program bantuan dari pusat untuk masyarakat Kota Bima.

Dari sekian banyak kampanye tatap muka, Lutfi-Feri, ketika berkampanye di Kelurahan Tanjung, mereka disambut bak pembawa obor perubahan. Pasalnya, ribuan obor dinyalakan warga setempat untuk menyambut kedatangan keduanya. Malam itu, Lutfi-Feri menandatangani kontrak politik bersama warga yang pada poinnya yaitu sebenar-benarnya memperjuangkan dan membantu warga perihal urusan pembebasan lahan yang disengketakan selama ini dengan PT Pelindo Cabang Bima, serta sarana olahraga berupa lapangan sepakbola bagi warga Pelabuhan.

Di masyarakat Bima melekat prinsip hidup nggahi, rawi, pahu (perkataan, perbuatan, hasil), yang kemudian ditunjukkan oleh warga dalam pemilihan yang digelar pada 27 Juni 2018. Tanjung menyumbang 1.846 suara atau 54,58% untuk pasangan Lutfi-Feri. Sementara warga Melayu berkontribusi 1.962 suara, dengan persentase kemenangan 53,89%.

Sedangkan di tingkat kota, Lutfi-Feri meraih 39.006 suara. Terpaut 3.947 suara dengan paslon Manufer yang menempati urutan kedua dengan raihan 35.059 suara. Paslon Subhan-Wahyudin menduduki urutan ketiga dengan perolehan 14.235 suara. Manufer kemudian menggugat hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK), meski akhirnya MK menolak gugatan ini, lantaran selisih suara keduanya cukup jauh. Lutfi-Feri pun ditetapkan sebagai pemenang dalam pertarungan politik di Kota Bima tersebut.

Satu dari puluhan ribu suara untuk kemenangan Lutfer disumbang oleh warga Tanjung, Ramadhan (33). Ia mengaku kepincut dengan kontrak politik Lufti-Feri. Dia memilih keduanya dengan harapan jika mereka terpilih maka penantian panjang mereka dapat direalisasikan oleh pemilik jargon “perubahan” tersebut. Pasalnya, sudah puluhan tahun warga Pelabuhan menginginkan surat tanah milik mereka dapat dikonversi menjadi sertifikat. “Karena waktu itu kata calonnya akan memperjuangkan. Jadi, saya ikut memilih,” kenang Ramadhan.

Lahan yang ditinggalinya sekarang merupakan milik orang tuanya. Sudah puluhan tahun mereka beranak-pinak di atas lahan sengketa dengan pihak PT Pelindo. Menukil dari cerita orang tuanya, lahan tersebut dulunya merupakan kawasan laut. Namun, sedikit demi sedikit warga menimbunnya. Mereka merencanakannya untuk dijadikan sebagai tempat tinggal.

Transportasi kala itu merupakan barang mahal, sehingga sulit untuk menjumpainya. Selain itu, jarak tempuh untuk sampai ke Kantor Pajak cukup jauh. Hal ini membuat mereka mempercayakan pembayaran pajak kepada PT Pelindo, yang kala itu menawarkan diri untuk pembayaran secara kolektif dengan salah satu perusahaan pelat merah tersebut. Namun, pihak perusahaan ini mengatasnamakan Pelindo dalam pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) milik warga.

“Karena tempat pembayaran pajaknya jauh. Di Raba sana. Datanglah dari pihak Pelindo menawarkan diri untuk bayar pajak lewat Pelindo. Ternyata akhirnya atas nama Pelindo pajak atas lahan ini,” jelasnya.

Pemerintahan Lutfi-Feri masih tersisa satu tahun lebih. Akan tetapi sepengetahuan Ramadhan, tanda-tanda keberhasilan mereka untuk merealisasikan janji politiknya masih jauh panggang dari api. Sehingga ia berkeyakinan bahwa pasangan tersebut tidak akan mampu menepati kontrak politiknya.

“Jangankan Wali Kota, Gubernur saja tidak mampu. Karena sudah dari dulu. Saat zaman M. Noerlatif berpasangan dengan H. Qurais. Tapi yang jalan kaitan dengan urusan ini adalah wakilnya, yaitu H. Qurais,” bebernya.

Kini, dia pun belum bisa menentukan sikap untuk Pilkada 2024 mendatang. Kata Ramadhan, jika Lutfi-Feri bisa merealisasikan kontrak politiknya, ia akan kembali memilih mereka pada pemilu serentak dua tahun yang akan datang.

Usut punya usut, konflik lahan sengketa itu kerap dijadikan komoditas politik oleh calon penguasa Kota Bima. Pasalnya, pada Pilkada 2009, Paslon M. Noer Alatief dan M. Qurais pernah mengobral janji pada warga Tanjung dan Melayu.

Perubahan Tapal Batas Lahan

Tokoh masyarakat Tanjung yang juga merupakan Sekretaris Tim 15, Gunawan, mengaku dilahirkan dan dibesarkan di atas lahan tersebut. Ia bermukim hampir 50 tahun di RT 02. Katanya, lahan tersebut merupakan tanah warisan orang tuanya. Bukti kepemilikan lahannya berupa SPPT.

Kepada tim ntbnews.com, ia menceritakan riwayat tanah tersebut. Dia mengaku tidak pernah menyerobot lahan milik Pelindo. Sebaliknya, Gunawan menuding perusahaan negara itulah yang telah mencaplok lahan mereka. Tudingan tersebut didasari atas perubahan tapal batas yang dilakukan Pelindo.

Awalnya, tapal batas lahan Pelindo di depan Pos KP3. Kemudian, pada tahun 1982 bergeser ke timur sampai di depan kediaman Anggota DPR RI, Muhammad Syafrudin. Satu tahun kemudian terjadi pemindahan tapal batas, tepatnya di depan gudang Jawa Baru. Di saat bersamaan, pihak Pelindo melakukan transaksi pembelian tanah dengan Muhidin Cs (12 nama pemilik tambak), yang berlokasi di sebelah selatan Kali Romo.

Masalah ini kemudian menyulitkan warga mengurus sertifikat tanah mereka. “Kemarin masyarakat ingin mengurus sertifikat, ternyata ini tidak bisa dibuatkan sertifikat. Itu pernyataan dari BPN,” tegasnya.

Saat itu, pihak Pelindo “diam-diam” mendatangi Ketua RW yang kala itu dijabat Abdollah. Mereka ingin mengajak pria yang karib disapa Haji Ola tersebut bekerja sama. Pelindo berniat membeli lahan warga dengan cara sepihak. Harganya Rp 110 ribu per m2. Namun, ajakan tersebut mendapat ponolakan dari saksi hidup tersebut. Ia tidak ingin mengkhianati warganya.

“‘Tunggu dulu. Saya panggil dulu masyarakat’. Datanglah semua masyarakat. Mereka lari. Pulang. ‘Kenapa panggil masyarakat. Ngomong saja dengan Pak RW sendiri’. ‘Yaa enggak boleh. Ini kan punya masyarakat’,” kenangnya menirukan cerita Haji Ola.

Tak berselang lama, kata Gunawan, muncul Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama Pelindo. Ia berkata, tak seorang pun dari masyarakat Tanjung yang mengetahui dasar kemunculan HPL tersebut. Ia menduga telah terjadi kolusi antara pihak Pelindo dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bima kala itu.

Hal ini ditentang keras oleh Gunawan. Pasalnya, ayahnya tidak pernah menjual tanah tersebut. Haji Ola juga tidak pernah menerima uang dari penjualan tanah yang berdekatan dengan Pelabuhan Kota Bima itu.

Begitu pula terkait perubahan status tanah menjadi HPL. Perubahan tanah yang berstatus HPL maupun hak milik harus diketahui masyarakat sekitar. “Ini kan tidak ada seorang pun yang tahu di Kelurahan Tanjung,” bebernya.

Tak terima terus dipermainkan, Gunawan bahkan pernah menuding pihak-pihak terkait sebagai “maling” saat mengadakan pertemuan di Kantor Wali Kota Bima. “Tapi mereka (BPN) tidak mengaku. Karena yang memunculkan itu Dirjen katanya,” ucap dia.

Meski Indonesia telah merdeka selama 76 tahun, ia mengaku masyarakat Tanjung dan Melayu belum sepenuhnya merasakan kemerdekaan. Pasalnya, hingga kini mereka masih berjibaku memperjuangkan dan menyelesaikan masalah klasik ini dengan pihak Pelindo.

Pertaruhan Elektabilitas

Bila dibandingkan dengan para pendahulu Lutfi-Feri, Gunawan melihat ada keseriusan dari pemerintahan keduanya. Sebab, ia mengaku sering berkomunikasi dengan orang nomor satu di Kota Bima tersebut untuk mengetahui progres kontrak politik Lufti-Feri dengan warga. Gunawan melanjutkan, informasi yang diterimanya dari Lutfi, saat ini berkas laporan serta bukti kepemilikan lahan warga telah sampai di Kejaksaan dan Badan Pemeriksaan Keuangan Provinsi (BPKP) Nusa Tenggara Barat (NTB).

Dia juga mengaku pernah diajak oleh Lutfi untuk bertemu dengan Gubernur NTB. Wali Kota ingin Gubernur mendengarkan langsung kasus ini dari warga, kemudian melaporkannya ke Presiden Jokowi. “Artinya, dibanding pendahulunya, ada upaya. Ada keinginan bersama masyarakat mengurus masalah ini untuk merealisasikannya. Walaupun bukan hal yang mudah. Karena ini lintas birokrasi,” jelasnya.

Lahan Pelindo merupakan pertaruhan politik Lutfi-Feri pada periode politik mendatang. Sebab kata Guru SMKN 1 tersebut, jika pemerintahan mereka berhasil memperjuangkan lahan warga, maka elektabilitas mereka akan mentereng. Namun sebaliknya, apabila keduanya tak mampu merealisasikannya, maka citra Lutfi-Feri akan tersungkur di wilayah Tanjung dan Melayu.

“Tapi kalau ada keinginan dan sampai sukses, maka Tanjung dan Melayu tidak perlu dipertanyakan. Kami akan tetap memilihnya jika berhasil. Kalau tidak berhasil, saya tidak berani. Saya langsung vakum. Saya enggak mau masuk ke urusan itu,” ujarnya.

Belum lama ini, kata Gunawan, Tim 15 melakukan audiensi dengan pihak Pelindo. Mereka mendesak Pelindo membentuk tim untuk menyelesaikan masalah ini. Kemudian, mereka juga meminta dukungan pihak Pelindo untuk bersama-sama menyelesaikan masalah tersebut.  Selain itu, warga mendesak Pelindo mengurus kepemilihan lahan ini ke pemerintah pusat, sehingga masyarakat mendapatkan haknya.

Sementara itu, Ketua RT 06 Kelurahan Melayu, Muhtar Ibrahim mengaku tinggal di atas areal yang disengketakan itu sejak 1993. Lahan tersebut merupakan warisan mertuanya, dengan bukti kepemilikan berupa SPPT. Sepengetahuannya, sebagian RT 01, 06, 07, 08, 09—sebelah barat Jalan Kepiting—Kelurahan Melayu termasuk wilayah sengketa.

Selain memilih Lutfi-Feri, ia juga ikut terlibat dalam proses pemenangan keduanya. Ia mengungkapkan, selain kepentingan atas lahan, faktor partai juga menjadi alasannya menjatuhkan pilihannya kepada pasangan tersebut.

Ia pun mengaku masih mengingat dengan baik berbagai janji politik Lutfi-Feri kepada warga yang mengharapkan pembebasan lahan tersebut. “Ada surat perjanjian yang bunyinya akan mengusahakan lahan sengketa ini untuk warga,” jelasnya.

Sama dengan Ramadhan, ia juga tidak sepenuhnya meyakini bahwa Lutfi-Feri akan berhasil memperjuangkan hak warga atas lahan tersebut. Sebab, hal yang sama telah diupayakan oleh Wali Kota Bima sebelumnya.

Usaha memperjuangkan lahan itu untuk warga pernah dilakukan saat Kota Bima dipimpin Noerlatif. Namun tak berhasil. Meski Lutfi dinilai sebagai mantan anggota DPR RI, dia meyakini bahwa Wali Kota Bima tersebut tidak akan mampu memenuhi janjinya.

“Kalau memang mereka sukses memperjuangkan lahan ini untuk warga, saya akan kembali memilih. Tapi kalau gagal, saya tidak akan kembali memilihnya,” tegas dia.

Lempar Tanggung Jawab

General Manager Pelindo Cabang Bima, Rahmat. (Dok. Pribadi)

Sementara itu, General Manager Pelindo Cabang Bima, Rahmat, mengidentifikasi awal mula konflik kepemilikan lahan tersebut. Hal itu terjadi pada tahun 90-an, saat BPN menerbitkan HPL.

Dia pun mengaku tidak mengetahui lahan yang ditempati warga yang akan ditawarkan untuk ditukar dengan lahan Pelindo. Ia menyarankan agar usulan pembebasan lahan serta bukti-buktinya disampaikan secara tertulis. “Mungkin dalam bentuk proposal. Ya, nanti juga akan dilengkapi dengan kajian-kajian,” katanya.

Rahmat mengakui bahwa pada Novembar 2020 rombongan Pemkot Bima pernah mendatangi pihak Pelindo pusat untuk membahas masalah lahan tersebut. Kala itu, muncul wacana tukar guling lahan. Pelindo tak menyangkal bila cara itu bisa dijadikan solusi untuk menyelesaikan sengketa lahan ini. Namun, hal itu baru disampaikan secara lisan. “Kalau itu mungkin, bisa ditanyakan ke Kota. Karena kan yang menyampaikan wacana dari Kota,” imbuhnya.

Ketika ditanya lebih jauh mengenai proses negosiasi pembebasan lahan, dia tidak bisa memberikan tanggapan secara panjang lebar. Dalihnya, kewenangannya sebagai perwakilan Pelindo pusat terbatas untuk membahas hal teknis. Sebagai otoritas Pelabuhan Kota Bima, ia hanya ditugaskan untuk menjaga kondusifitas serta aktivitas Pelabuhan agar tetap lancar dan aman.

Dia mengungkapkan, masalah lahan ini sudah dibahas Pelindo sejak Kota Bima dipimpin Qurais. Bahkan, seingatnya, pernah dibahas hingga tiga kali dalam pertemuan di Surabaya. “Jadi, memang prosesnya tidak diselesaikan di cabang. Karena memang yang di cabang punya kewenangan terbatas,” jelasnya.

Diketahui, BPN menerbitkan HPL pada tahun 90-an. Lahan seluas 376.255 m2 itu tersertifikasi atas nama Pelindo. Demikian yang diungkapkan Kasi Survei dan Pemetaan BPN Kota Bima, Muhammad Tamzil, saat ditemui oleh tim ntbnews.com di Kantor BPN Kota Bima baru-baru ini.

Ia mengungkapkan, sertifikat HPL 23.06.08.20.6.00001 dengan luas 195.215 m2 di Kelurahan Melayu. Kemudian, sertifikat HPL 23.06.08.21.5.00001 dengan luas 72.800 m2 di Kelurahan Tanjung. Lalu, sertifikat HPL 23.06.08.21.6.00002 dengan luas 108.240 m2 di Kelurahan Tanjung.

Perubahan tapal batas, kata Tamzil, merupakan produk para pendahulunya. Untuk itu, selama ini pihaknya belum pernah melakukan identifikasi di lapangan. Sehingga dia belum bisa menjelaskan perihal riwayat tanah tersebut.

“Mungkin terkait masalah bagaimana prosedurnya dulu kan perlu ada pendalaman. Apakah Pelindo pernah melakukan pembebasan segala macam, kan ini yang belum kita tahu,” katanya.

Ia mengaku pernah diundang oleh Pemkot untuk membahas masalah tersebut. Saat itu, kata Tamzil, Pemkot mengaku masih mencari solusi atas problem ini. Pengalihan hak milik melalui skema apa pun, termasuk melalui skema tukar guling, harus terlebih dahulu mendapat kesepakatan dari kedua belah pihak. Meski ia tidak menjelaskan secara detail persyaratannya, semua itu telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

“Kalau tukar guling kan ada penggantinya. Penggantinya ya tinggal bagaimana nanti kedua belah pihak menyepakatinya,” ucap dia.

Pelindo Setujui Skema Tukar Guling

Ketua Komisi II DPRD Kota Bima, Yoghi Prima Ramadhan menjelaskan, Pemkot Bima telah menindaklanjuti kontrak politik tersebut. Langkahnya, Pemkot telah mendatangi pihak Pelindo Surabaya. Selain Wali Kota, yang ikut dalam rombongan antara lain Ketua DPRD dan beberapa anggota dewan, termasuk di dalamnya Anggota Komisi II yang juga berasal dari Kelurahan Tanjung dan Kelurahan Melayu.

“Perwakilan DPRD saat itu dihadiri oleh Ketua DPRD, Pak Rahmat Saputra. Pak Rahmat Saputra ini selaku putra perwakilan Tanjung. Terus perwakilan Komisi II Pak Sukri Dahlan. Karena beliau juga kan warga Melayu. Terus Pak Sudirman DJ bersama Wali Kota hadir ke Pelindo Surabaya,” ungkapnya.

Menukil informasi yang diterimanya dari Rahmat Saputra, ia mengungkapkan, saat itu Pemkot menawarkan skema tukar guling dengan lahan yang berlokasi di Kelurahan Kolo. Namun, pihak Pelindo keberatan dengan lahan yang ditawarkan, lantaran jaraknya dengan area Pelabuhan cukup jauh. “Tapi pada saat itu belum ada kesepakatan antara Pemerintah Kota dengan pihak Pelindo,” ungkapnya.

Yoghi menambahkan, Pelindo menginginkan lahan di sekitar Pelabuhan. Lahan yang dimaksud yakni antara Kelurahan Melayu atau Kelurahan Ule. Proses negosiasi semakin berat lantaran Pelindo menghendaki Pemkot menanggung penimbunan lahan tersebut. Selain itu, Pelindo juga meminta Pemkot membentuk tim perumus lahan Pelindo.

Skema tersebut sejatinya bisa direalisasikan. Namun, bergantung rencana pembangunan yang dituangkan Pemkot dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). “Saya enggak ingat RPJMD secara menyeluruh. Mungkin itu bisa ditanyakan ke Bappeda,” sarannya.

Kata dia, hingga saat ini Komisi II belum mengetahui perkembangan usaha Pemkot Bima menyelesaikan kasus ini. Kendati demikian, ia akan terus mendorong Pemkot melanjutkan proses negosiasi untuk merealisasikan pembebasan lahan tersebut. Meski begitu, dia menyelipkan rasa tidak yakin bahwa kontrak politik Lutfi-Feri bisa terealisasi.

Namun, Yoghi menilai, negosiasi yang dilakukan Pemkot telah berjalan dengan tepat. Pasalnya, langkah ini bisa diambil Wali Kota Bima. “Karena memang itu merupakan suatu kontrak politiknya. Tinggal bagaimana hasilnya,” jelas dia.

Sementara itu, Wali Kota Bima, Muhammad Lutfi, saat ditemui di kediamannya, enggan berkomentar banyak kala ditanya upaya apa saja yang telah diambil Pemkot terkait pembebasan lahan yang diklaim milik Pelindo itu. Ia juga tidak menjawab secara detail ketika ditanya target pembebasan lahan sebelum masa jabatannya berakhir pada September 2023.

“Kami lagi fokus bekerja. Makanya saya tidak bisa berkomentar banyak. Nanti tunggu hasilnya saja,” ujar Lutfi.

Wujud Kelalaian Pemkot Bima

Konflik agraria yang terjadi antara Pelindo dengan warga ini merupakan akibat kelalaian Pemkot Bima. Pemkot dinilai melakukan pembiaran terhadap Pelindo yang berlaku sewenang-wenang terhadap warga yang telah merawat tanah tersebut selama puluhan tahun. Penilaian tersebut datang dari akademisi IAIM Bima, Hikmah.

“Pelindo telah menelantarkan tanah selama bertahun-tahun. Penelantaran tersebut seharusnya menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk membatalkan perjanjian atau putus kontrak sebagai bentuk sanksinya,” tegas Hikmah.

Dia mengatakan, dasar hukum pembatalan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Pemkot sebagai salah satu instrumen negara, sambung dia, seharusnya lebih memahami peraturan ini.

Saat negara memberikan hak kepada seseorang atau badan hukum, maka akan selalu diiringi dengan kewajiban-kewajiban. Kewajiban tersebut ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan surat keputusan pemberian haknya.

Potret pemukiman penduduk di sekitar Pelabuhan Bima. (Istimewa)

Merujuk aturan tersebut, ia menegaskan, badan hukum maupun perseorangan dilarang menelantarkan tanahnya. Sebab, UUPA telah mengatur akibat hukumnya, yaitu terhapusnya hak atas tanah yang bersangkutan. Kemudian, pemutusan hubungan hukum serta tanah dikuasai oleh negara.

Hal ini berlaku bagi tanah yang tak jelas kepemilikan atasnya. Namun, terdapat dasar penguasaan penggunaan atas tanah tersebut, yang harus dilandasi sesuatu hak atas tanah. Ini sesuai ketentuan Pasal 4 Juncto Pasal 16 UUPA.

Karena itu, seseorang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah, baik dengan pelepasan tanah itu dari hak orang lain karena memperoleh izin lokasi atau memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan, berkewajiban memelihara tanahnya. “Dan mengusahakannya dengan baik serta tidak menelantarkannya,” jelas Hikmah.

Meskipun yang bersangkutan belum mendapatkan hak atas tanah, pria yang juga menjabat Kabid Hukum dan HAM Pemuda Muhammadiyah (PDM) Kota Bima tersebut berujar, apabila yang bersangkutan menelantarkan tanahnya, maka hubungan hukum dengan tanahnya akan dihapus sehingga tanah itu dikuasai negara.

Menurutnya, Pemkot harus segera menyelesaikan masalah tersebut dengan menyerahkan lahan itu kepada warga. Pasalnya, pemerintah harus menghargai warga negara yang lebih dulu merawat tanah itu. Hal ini merupakan prinsip dasar dalam UUPA, yaitu kebiasaan-kebiasaan masyarakat adat. “Bagi saya, itu skema yang bagus,” ujarnya.

Namun, khusus hibah tanah dan bangunan, maka harus dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Tetapi, status kepemilikan atas tanah tersebut harus terlebih dahulu diperjelas: hak milik, hak pakai, atau Hak Guna Usaha (HGU).

“Yang jelas, PT tidak bisa memiliki tanah dengan status hak milik. Meskipun PT tersebut membeli kepada yang mulanya hak milik. Ketika diterima, PT tersebut bisa menjadikannya HGB (Hak Guna Bangunan),” ulas Hikmah.

Bagi dia, skema apa pun yang dipilih untuk menyelasaikan konflik tersebut, termasuk skema tukar guling yang telah ditawarkan oleh Pemkot kepada Pelindo, harus memenuhi rasa keadilan. Keabsahan skema tukar guling juga telah diatur dalam UUPA dan Pasal 1541 KUHP yang mengatur tentang tukar guling.

Ia pun mendesak pemerintah agar segera membebaskan lahan yang selama ini diklaim milik Pelindo itu. Kemudian menyerahkannya kepada warga yang telah terlebih dulu merawatnya.

“Terbentuknya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria itu berangkat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa hukum agraria yang baru itu memungkinkan akan tercapainya fungsi bumi dan air (untuk kepentingan warga negara Indonesia),” pungkasnya. (*)

Penulis: Ikbal Hidayat & Akbar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *