Post ADS 1

Sisi Lain Program BPJS Kesehatan Gratis Lutfi-Ferry

Kota Bima, ntbnews.com – Dalam menjalankan pemerintahannya, Lutfi-Ferry telah merealisasikan janji politiknya, yaitu BPJS Kesehatan gratis bagi seluruh warga Kota Bima. Hal tersebut selaras dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Dalam Perpres tersebut, seseorang yang belum terdaftar sebagai peserta jaminan kesehatan dapat didaftarkan pada BPJS Kesehatan oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota.

Merujuk data BPJS Kesehatan Kota Bima per 31 Juli 2021, sebanyak 14.356 warga kurang mampu terdaftar dalam kepesertaan BPJS Kesehatan yang dibiayai Pemkot lewat APBD Kota Bima.

Persyaratan Dipersulit

Pada awal peluncuran program ini, Pemkot tidak begitu mempersulit masyarakat untuk mendapatkan jaminan kesehatan tersebut. Selain data kependudukan seperti fotokopi kartu keluarga, pemerintah hanya meminta surat keterangan tidak mampu dari kelurahan.

Namun, belakang ini Pemkot Bima menambah persyaratan lain, seperti surat keterangan sakit dari rumah sakit. Kebijakan baru tersebut secara tidak langsung sebagai upaya membatasi masyarakat mendapatkan subsidi kesehatan dari pemerintah.

Kebijakan tersebut dialami oleh Muh. Faisal (37). Awalnya, ia sangat antusias menyambut program BPJS Kesehatan gratis Lutfi-Ferry. Dengan jaminan kesehatan tersebut, dia berharap pemerintah bisa membantu masyarakat yang kurang mampu seperti keluarganya. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan harapannya. Hingga kini, ia beserta istri dan dua orang anaknya belum mendapatkan kartu BPJS Kesehatan gratis dari Pemkot Bima.

Faisal mengaku mengurus kartu tersebut pada Juni 2021. Dinas Sosial Kota Bima sebagai dinas teknis  pendaftaran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPSJ Kesehatan kemudian memintanya melengkapi persyaratan seperti surat keterangan tidak mampu. Ia pun menjawab bahwa namanya telah terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kota Bima.

Ia lalu diminta datang kembali pada September 2021. Namun, ketika dia mendatangi kantor yang mengurus kartu tersebut, ia justru mendapat jawaban bahwa kartunya belum dicetak. Dalihnya, belum dikirim dari pusat.

“Saya datang lagi bulan Desember 2021. Belum jadi juga. Kemudian saya disuruh bawa surat keterangan sakit. Sampai sekarang saya sudah tidak ke sana,” keluh Faisal baru-baru ini kepada ntbnews.com.

Kasi Jaminan Sosial Dinas Sosial Kota Bima, Sri Nunung Andriyani mengaku bahwa langkah tersebut diambil lantaran beban APBD terlalu berat untuk membiayai premi peserta PBI setiap bulan.

Karena itu, bila calon peserta yang terdata dalam DTKS khusus tak terkaver di APBN dan APBD Provinsi, maka Pemkot dapat menggunakan APBD Kota Bima.

Pemkot hanya membebankan syarat berupa keterangan tidak mampu dari kelurahan, fotokopi kartu keluarga, dan surat keterangan sakit dari rumah sakit terhadap calon peserta BPJS Kesehatan yang dibiayai Pemkot Bima.

Semua nama yang terdaftar dalam kartu keluarga harus dibuatkan kartu BPJS Kesehatan. Meski hanya satu orang anggota keluarga yang memiliki surat keterangan sakit. Kata dia, hal tersebut merujuk pada peraturan kepesertaan BPJS kesehatan yaitu pendaftaran kolektif.

“Makanya sekarang kita lagi dalam pengecekan kembali. Mungkin di kelurahan ada yang membuat surat keterangan tidak mampu, padahal mampu. Anggarannya kan tidak memadai. Sudah melebihi pagu,” ungkap Nunung.

Kata dia, pada tahun 2020 Pemkot merogoh kocek dari APBD sebesar Rp 12,5 miliar untuk membayar premi PBI. Dia juga mengungkapkan permasalahan yang dihadapi oleh Pemkot, yaitu sedikitnya masyarakat yang memilih berobat pada Fasilitas Kesehatan (Faskes) milik Pemkot Bima.

Ini pula yang membuat pihaknya membuat persyaratan yang lebih ketat. Salah satu alasannya, anggaran Pemkot untuk BPJS Kesehatan gratis yang terbatas. Karenanya, Pemkot mengakalinya dengan mengalihkannya ke pembiayaan APBN. Pasalnya, masih terdapat 9.000 kuota daftar tunggu, sehingga Pemkot bisa mengalihkan pembiayaannya ke APBN. Hanya saja, seluruh persyaratan dan permohonan harus diurus Pemkot ke Jakarta.

Kata dia, banyak warga Kota Bima yang mengajukan pembiayaan menggunakan kartu BPJS Kesehatan gratis, namun belum dipenuhi. Karena itu, mereka telah menunggak delapan bulan hingga satu tahun.

“Pada tahun 2020, pembayaran oleh Pemerintah Kota Bima ke BPJS sebesar Rp 12,5 miliar. Masalahnya, warga sedikit yang berobat di Puskesmas kita,” keluh Nunung.

Masyarakat Kota Bima yang dibiayai lewat APBD lebih memilih rumah sakit lain untuk berobat. Salah satunya Ahmadin (36). Ia merupakan salah satu keluarga peserta PBI APBD Kota Tepian Air yang lebih memilih merujuk dan merawat istrinya ke Rumah Sakit dr. Agung Kota Bima.

Semula, istrinya dirawat di Puskesmas Dara. Namun, penyakit usus buntu yang dialami istrinya cukup serius, yang mengharuskan untuk segera dioperasi. Ia tidak memilih rumah sakit di Kota Bima, lantaran Faskes pada rumah sakit berpelat merah tersebut belum memadai.

“Saya sendiri yang menentukan rumah sakit mana yang menjadi tempat pengobatan. Karena Rumah Sakit Kota Bima belum memadai,” kata Adi.

RSUD Kota Bima Tak Begitu Diminati

Sejak tahun 2018, Pemkot Bima telah memiliki rumah sakit sendiri. Meski begitu, masyarakat tak begitu berminat untuk berobat di rumah sakit itu. Hal tersebut didasari pada data jumlah klaim seluruh rumah sakit dan klinik terhadap pihak BPJS Kesehatan.

Dari data tahun 2020, jumlah klaim RSUD Bima hanya Rp 3,5 miliar. Klaim tersebut terpaut jauh dari RSUD Kabupaten Bima yang menempati urutan pertama jumlah klaim, dengan nominal Rp 37 miliar. Namun, pihak BPJS Kesehatan tidak dapat memberikan data klaim pasien, seperti alamat dan kelas perawatan pasien.

Pasalnya, tidak ada rincian dari data klaim berbagai Faskes yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Demikian yang dijelaskan oleh Kepala Bidang SDM Umum dan Komunikasi Publik BPJS Kesehatan Cabang Bima, Huston Husto Nul Ansori.

Ia pun mengaku tak dapat memberikan data khusus masyarakat yang terdaftar di PBI Kota Bima. Pihaknya hanya dapat “membocorkan data” klaim pelayanan kesehatan setiap rumah sakit disertai jenis peserta, yang meliputi PBI dan Mandiri.

Kata dia, klaim dari setiap rumah sakit hanya diajukan secara umum ke BPJS Kesehatan, tanpa memisahkan jenis kepesertaan. Artinya, Faskes mengajukannya secara keseluruhan. “Jadi, pembayarannya pun secara keseluruhan. Tidak dipisah per jenis peserta,” jelas Huston.

Tim ntbnews.com terus melakukan penelusuran terhadap klaim peserta PBI APBD Kota Bima yang memilih berobat di rumah sakit lain. Namun sayangnya, baik rumah sakit maupun klinik yang kami datangi, tidak bisa memberikan data yang diminta media ini. Lantaran sistem pelaporan seluruh Faskes tersebut tidak dipisah berdasarkan jenis kepesertaan dan alamat pasien.

Hal ini disampaikan Listirahaeni, Kasubag Kepegawaian Rumah Sakit dr. Agung. Dia hanya bisa memaparkan sampel data pasien PBI APBD Kota Bima yang pernah melakukan rawat jalan maupun rawat inap di Rumah Sakit dr. Agung.

Ia menyebutkan, banyak pasien yang berobat di kelas III, namun tak menggunakan kartu BPJS Kesehatan gratis. Jadi, tak hanya PBI. Data dalam sistem pun bisa memisahkannya secara otomatis.

“Nah, kalau untuk rawat jalan, klaim terbesar kami Rp 298.200. Klaim PBI tertinggi. Kalau rawat inapnya Rp 5.663.400,” papar wanita yang karib di sapa Dae Lis tersebut.

Rumah Sakit Baru

Sementara itu, Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Bima, Ahmad mengakui bahwa Faskes di RSUD belum memadai untuk sebuah rumah sakit. Ruangan operasi besar, ruang jenazah, hingga bank darah belum dimiliki oleh rumah sakit yang sebelumnya ditingkatkan dari Puskesmas perawatan itu.

Kendati demikian, dia mengklaim, Pemkot tengah berupaya untuk meningkatkan fasilitas rumah sakit tersebut. “Di awal 2022 insyaallah untuk pelayanan rujukan dasar sudah bisa kita penuhi,” ucapnya.

Di samping itu, kata Ahmad, luas rumah sakit yang ditetapkan pada tahun 2018 tersebut tidak representatif untuk rumah sakit. Meski dia tidak menjelaskan luasnya, namun idealnya untuk rumah sakit, minimal dibangun di atas lahan seluas 5 hektar.

Ia menjelaskan, Pemkot sudah lama menyediakan dana untuk pembangunan rumah sakit tersebut. Hanya saja terkendala ketersediaan lahan. Sebab, lahan seluas 5 hektare untuk pembangunan rumah sakit menjadi syarat dari pemerintah pusat.

“Itu baru representatif dari sebuah rumah sakit. Namun lagi-lagi kita terkendala masalah lokasi. Di RSUD Kabupaten Bima saja belum memenuhi,” ungkap Ahmad.

Selain itu, sambungnya, bangunan tersebut dibangun di bantaran sungai yang sewaktu-waktu dapat direndam banjir jika musim hujan tiba. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir, tercatat bangunan tersebut sudah tiga kali direndam banjir, yang terbesar terjadi pada 21-23 Desember 2016.

Karenanya, rumah sakit milik Pemkot Bima saat ini memang tidak layak. Letaknya yang di bantaran sungai mengakibatkan rumah sakit tersebut menjadi langganan banjir. Solusinya, tanah dinaikkan serta tanah diuruk beberapa meter dari jalan.

Meski demikian, Ahmad mengaku belum mengetahui apakah lokasi rumah sakit akan selamanya berada di Lingkungan Pelita atau akan dibangun di lokasi lain yang jauh dari lokasi rawan banjir, lantaran masalah lokasi masih menjadi kendala Pemkot Bima.

Bila ada lahan baru, kata dia, bisa digunakan untuk membangun rumah sakit khusus, seperti rumah sakit ibu dan anak atau rumah sakit lain, bergantung kebutuhan pemerintah daerah.

Ia mengaku hal ini menjadi konsen Pemkot Bima. Wali Kota pun berharap dibangun rumah sakit baru. Pihaknya tengah membidik lahan di Jalan Sudirman. Gubernur NTB pun telah menyetujui lahan tersebut digunakan untuk pembangunan rumah sakit Pemkot Bima.

“Sebab kemarin ke lokasi tersebut langsung turun Pak Gubernur. Itu kemungkinan masih punya kabupaten. Sebenarnya itu cukup representatif karena kurang lebih 5 hektar,” jelasnya.

Ahmad tidak banyak berkomentar ketika disinggung mengenai untung dan rugi dari program BPJS Kesehatan gratis Lutfi-Ferry dari sisi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akan tetapi dari sisi manfaat, ia mengaku program tersebut justru membantu masyarakat.

Pemkot juga tak merasa dirugikan lewat program BPJS Kesehatan gratis tersebut. Pasalnya, masyarakat merasakan dampak positifnya. Dari sisi pendapatan daerah, ia tak memberikan jawaban.

“Nanti teman-teman dari Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) yang bisa menganalisanya,” jelas Ahmad.

Tingkatkan Pelayanan

Pengamat Kebijakan Publik, Darwis Har menilai bahwa program tersebut sangat baik lantaran masyarakat yang memiliki kartu BPJS Kesehatan bisa menggunakan kartunya untuk berobat ke rumah sakit tipe mana pun. Termasuk berobat di luar daerah. Sesuai kebutuhan penanganan terhadap penderita. Selain itu, perhatian pemerintah terhadap pasien yang dirujuk di rumah sakit luar kota pun telah terbukti dengan keberadaan rumah singgah di Kota Mataram.

“Ini sangat baik dan harus dipertahankan, karena dengan layanan BPJS Kesehatan, masyarakat bisa berobat di Faskes tingkat lanjut sampai rumah sakit tipe A sesuai dengan kriteria penyakit yang dideritanya,” sebut dia.

Meski pasien berobat ke rumah sakit di luar Kota Bima, kata dia, mereka masih bisa diakomodir oleh BPJS Kesehatan. Hal ini sangat membantu masyarakat. Pasalnya, RSUD di Bima masih berstatus rumah sakit tipe C.

Di sisi lain, perhatian Pemkot Bima tidak hanya pada BPJS Kesehatan, melainkan juga kebutuhan tempat tinggal bagi pasien yang melakukan pengobatan di Mataram. Misalnya, memaksimalkan fungsi rumah singgah di Kota Mataram.

“Misal dengan melakukan MoU dengan Faskes setempat. Sehingga masyarakat juga merasa terjamin pelayanan kesehatannya di sana,” ujar mantan Ketua STKIP Bima tersebut.

Menurutnya, salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kesehatan. Selain itu, kata Darwis, undang-undang menjamin pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Meski banyak pasien PBI Kota Bima yang lebih banyak memilih untuk berobat di rumah sakit lain, hal itu merupakan hak pasien.

Dia menyarankan Pemkot Bima berupaya meningkatkan kualitas dan mutu pelayanan RSUD Kota Bima. Hal ini bertujuan menarik minat masyarakat untuk berobat ke RSUD Kota Bima, yang bermuara pada peningkatan PAD serta kesejahteraan pegawai.

Kata dia, pemenuhan aspek kemanusiaan dan kebutuhan dasar masyarakat tak bisa dihitung dengan untung dan rugi. Sebab, ini merupakan kewajiban pemerintah dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat secara optimal. Dalam undang-undang pun masyarakat mendapatkan jaminan untuk memilih layanan kesehatan.

Darwis menyarankan Pemkot Bima meningkatkan kualitas dan mutu layanan RSUD Kota Bima. Dengan begitu, masyarakat akan memilih RSUD Kota Bima untuk berobat. Dari situ, rumah sakit akan mendapatkan kepercayaan publik. Angka kunjungan yang tinggi juga akan membuktikan bahwa klaim BPJS Kesehatan tinggi. Hal ini berdampak pada pendapatan rumah sakit tersebut.

“Jadi, selain masyarakat terlayani dengan baik, juga daerah mendapat pemasukan,” ujarnya.

Terkait lokasi rumah sakit yang berada di areal rawan banjir, dia meminta semua pihak agar kompleks dalam melihat persoalan tersebut. Pemkot Bima diminta lebih komprehensif dan fokus mengambil langkah pencegahan, seperti perbaikan sistem drainase, normalisasi sungai, mencegah penggundulan gunung, hingga membangun kesadaran masyarakat, sebelum Pemkot memiliki lahan baru untuk pembangunan rumah sakit rujukan yang jauh dari ancaman banjir.

Ia pun menyarankan RSUD Kota Bima tersebut dikembangkan menjadi rumah sakit ibu dan anak, rumah sakit paru, dan sejenisnya. “Untuk RSUD umumnya bisa dipertimbangkan di lokasi dan konsep yang lebih memadai,” tambah pria yang mengambil program doktoral di Universitas Pasundan tersebut.

Kata Darwis, Kota Bima sudah mengalami kemajuan dengan adanya rumah sakit rujukan. Peran yang optimal diperlukan untuk memajukannya, termasuk menghadirkan sumber daya manusia yang unggul dan menempatkannya pada posisi sesuai bidangnya masing-masing.

Dia mengatakan, untuk pembangunan rumah sakit bisa menggunakan dana APBD dan APBN, serta dana hibah lainnya. Regulasi tentang penggunaan kartu BPJS Kesehatan, lanjut dia, bisa saja dibuat Pemkot Bima. Namun, sifatnya tidak mengikat. Tergantung kebutuhan penanganan medis pasien.

Contohnya, RSUD Kota Bima bisa dijadikan rumah sakit terminal yang menyaring pasien rujukan ke rumah sakit lain. Bila pasien tersebut bisa ditangani di rumah sakit Kota Bima, maka tak perlu dibawa ke rumah sakit lain.

Prinsipnya, ia menyarankan pihak rumah sakit melayani pasien sesuai kemampuan dan fasilitas yang dimilikinya. Dengan begitu, rumah sakit dapat menghindari over capacity di Faskes. “Sehingga masyarakat bisa mendapatkan pelayanan yang merata,” tambahnya.

Hak Pemegang Kartu

Wakil Ketua DPRD Kota Bima, Samsuri mengatakan, kartu BPJS Kesehatan yang dibiayai oleh Pemkot berlaku di seluruh Faskes di Indonesia. Mengenai pilihan masyarakat berobat ke rumah sakit lain, menurutnya, ini merupakan hak pemilik kartu.

Dia juga tidak begitu khawatir terkait para peserta PBI APBD Kota Bima yang menggunakan layanan kesehatan selain rumah sakit milik Pemkot Kota Bima. Ia berujar, Pemkot maupun DPRD tidak perlu membuat regulasi penggunaan jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah tersebut.

Ia justru menyarankan Pemkot Bima meningkatkan pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Dengan begitu, masyarakat memiliki banyak pilihan. Kata dia, bila Pemkot Bima membangun pelayanan dan sistem organisasi Dinas Kesehatan Kota Bima yang baik, maka masyarakat akan memilih berobat di rumah sakit milik Pemkot Bima.

“Pada saat pembahasan anggaran, kita tekankan kepada dinas terkait untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat, agar pilihannya tetap pada rumah sakit Kota Bima,” tegasnya. (*)

Penulis: Akbar

Editor: Ikbal Hidayat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *