FAKTA-FAKTA baru dugaan pencabulan yang dilakukan oknum kepala sekolah (kepsek) berinisial HS di Kecamatan Raba, Kota Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), secara perlahan terkuak ke publik.
DM (30), salah satu orang tua siswi yang menjadi korban dalam kasus pencabulan ini, mengungkapkan, HS telah melakukan pelecehan seksual terhadap 20 orang siswi di sekolah tersebut.
Kepada ntbnews.com, DM mengisahkan, terduga pelaku melancarkan aksinya dengan sejumlah modus: memasukkan tangannya di alat vital siswi dan menyuruh para pelajar SD itu menonton video perempuan yang berpakaian seksi.
“Dia sambil bilang, ‘coba ada saya di sebelah wanita ini, sudah saya remas-remas buah dadanya’,” kata DM saat menirukan perkataan HS kala menyuruh anak-anak tersebut menonton video.
Satu waktu, anak DM tengah bermain dengan kakak kelasnya. HS kemudian menghampiri mereka yang sedang asyik bermain. Lalu, sang kepsek duduk di samping teman dari anak DM.
Ia berpura-pura menanyakan uang yang dibawa para siswi tersebut sambil memasukkan tangannya ke kantong baju anak DM. Secara perlahan HS meremas-remas dada anak tersebut.
Terhadap sebagian anak lainnya, HS memegang dan memainkan alat kelamin mereka. “Anak saya hanya dipegang bagian dadanya,” ungkap DM.
Di lain waktu, HS berpura-pura menyuruh para siswi mencabut ubannya. Saat anak-anak tersebut mencari uban kepsek itu, ia memainkan tangannya dengan meremas dada atau memegang alat kelamin mereka satu per satu.
Baca juga: Musim Kemarau Tiba, Bima Dihantui Kekeringan
Para siswi yang pernah dilecehkan secara seksual pun bereaksi. Setiap kali anak-anak itu melihat HS, mereka terkadang terdiam atau berlari untuk menjauhinya.
Ketika melancarkan aksinya di kelas, para siswi berusaha melarikan diri. Namun HS telah menghalau pintu kelas tersebut.
Aksi pelecehan ini dilakukannya saat para guru dan murid-murid di sekolah itu sedang istirahat sehingga guru-guru tak memperhatikan para peserta didik.
“Anak-anak lagi asyik-asyik main, si oknum memanfaatkan waktu itu, mumpung dalam keadaan sepi,” kata DM.
Saat melakukan pelecehan seksual, HS mengancam para siswa yang melihat aksinya. Selain itu, ia mengiming-imingi para korban dengan beberapa lembar uang.
Aksi pelecehan acap kali dilakukannya dengan korban yang berbeda-beda. Tak sedikit pula para siswi yang sama mendapatkan pelecehan seksual berkali-kali dari HS.
“Berdasarkan pengakuan anak-anak, sampai alat vitalnya robek. Perlakuannya berbeda-beda. Ada yang dipeluk, ada yang dicubit, ada yang hanya dipegang dadanya saja,” bebernya.
Para siswi sudah melakukan visum. Hasilnya, sebagian dari mereka mengalami luka sobek di bagian kelaminnya. Berdasarkan pengakuan para siswi, DM mengungkapkan, aksi pelecehan tersebut terjadi pada Februari 2021.
Akibat ulah HS, sebagian korban mengalami trauma berat dan ringan. Saat ia menanyakan pelecehan yang dialami anaknya, sang buah hati justru menangis ketakutan dan menjauh dari orang lain.
“Ada beberapa anak yang merasa sangat trauma ketika kami bertanya terkait hal ini. Mereka bersembunyi dan langsung menangis,” jelasnya.
Puluhan korban pelecehan tersebut secara serentak menyebutkan nama HS sebagai pelakunya. Para siswi pun masih mengingat dengan baik pakaian yang dikenakan oknum kepsek itu saat melancarkan aksinya.
“Saat itu dia menggunakan topi, baju, dan celana yang warnanya cukup jelas,” ungkap DM.
Kasus ini mencuat ke publik setelah seorang wali siswi menceritakan pelecehan seksual yang dialami teman dari anaknya yang menimba ilmu di sekolah tersebut.
Tak berselang lama, orang tua korban pelecehan itu mengadukan kepada guru perihal kasus yang dialami anaknya. Kemudian pada 4 Juni lalu, guru tersebut mengumpulkan para siswi di musala sekolah setelah kegiatan rutin pada hari Jumat.
Di tempat ibadah tersebut, ia menanyakan siapa saja siswi yang pernah mengalami pelecehan seksual di sekolah. Rata-rata dari mereka mengacungkan tangan.
“Kemudian guru ini menyuruh anak-anak untuk menceritakan kepada orang tuannya sambil gurunya juga memberi tahu kepada orang tua siswa bahwa anaknya menjadi korban pencabulan,” ungkap DM.
Setelah memastikan bahwa anaknya menjadi korban, DM melaporkan kasus ini kepada Sekretaris Lurah di Kecamatan Raba. Ia meminta pihak kelurahan menyelidiki kasus tersebut. Upaya ini pula yang membuat para siswi sedikit demi sedikit memberitahukan apa yang dialaminya.
Sayangnya, tak semua orang tua korban pelecehan seksual ini berani melaporkannya kepada aparat kepolisian. Mereka takut dituntuk balik oleh HS.
“Tapi kami sebagai orang tua akan menghadapinya dengan bagaimanapun dan memperjuangkan hak-hak anak kami,” tegas DM.
Jawaban Tak Gamblang
HS melalui kuasa hukumnya, Taufiqurrahman, tak menjawab secara gamblang sejumlah tudingan yang dialamatkan kepada kliennya saat media ini menghubungi dan mewawancarainya.
Taufiq menegaskan, HS tak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap para siswinya. Sebagai pendidik, wajar bila ia sesekali mengumpulkan para pelajar di sekolah yang dipimpinnya.
Meski demikian, setelah dilaporkan kepada aparat kepolisian atas kasus pelecehan yang menyeret namanya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) serta Badan Kepegawaian Daerah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSD) Kota Bima telah membebastugaskan HS.
HS pun telah memenuhi panggilan Disdikbud dan BKPSD Kota Bima. Atas laporan kepada kepolisian dan beredarnya kasus ini di media sosial, HS menyampaikan permohonan maaf kepada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bima, Disdikbud, BKPSD, rekan-rekan kepala sekolah dan guru-guru, serta masyarakat Kota Bima dan Kabupaten Bima.
Taufiq menegaskan, permohonan maaf ini bukan karena kliennya mengakui telah melakukan pelecehan seksual, namun sebagai respons atas kasus tersebut yang telah menjadi konsumsi publik.
Baca juga: Mengurai Kealpaan di Balik Aktivitas Galian C di Kabupaten Bima
Ia berharap masyarakat bersabar, menunggu proses hukum berjalan, serta tak menghakimi HS sebagai orang yang bersalah saat kasus ini masih dalam proses penyelidikan kepolisian.
“Mohon kita semua menahan diri untuk tidak menghakimi siapa pun sebelum adanya keputusan hakim yang sudah inkrah,” imbuh dia.
Kasus ini menjadi perhatian khusus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Bima. Taufiq percaya LPA akan menjalankan tugasnya secara profesional, serta akan melindungi hak-hak hukum para korban.
Ia juga meminta masyarakat dan pelapor untuk mempercayakan proses hukum kasus ini kepada lembaga yang berwenang. “Tanpa harus berspekulasi di luar dari proses yang ada,” tegasnya.
Kata dia, HS akan mengikuti rangkaian penyelidikan dan penyidikan, serta akan selalu bersikap kooperatif dalam menjalani proses hukum atas kasus yang menjeratnya.
LPA Lakukan Pendampingan
Ketua LPA Kota Bima, Juhriati mengatakan, sebelum para korban diperiksa Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), pihaknya terlebih dahulu melakukan asesmen dan pendampingan.
“Kita melakukan asesmen untuk melakukan identifikasi, untuk mengetahui sejauh mana anak-anak ini menjadi korban dan bagaimana kronoligisnya dan siapa saja yang diduga menjadi korban,” kata Juhriati kepada ntbnews.com baru-baru ini.
Awalnya, korban pelecehan hanya tiga orang. Kemudian bertambah menjadi 14 orang. Pekan lalu, korban yang berhasil diidentifikasi sebanyak 20 orang. Namun para siswi yang diperiksa sebagai korban dan saksi di Unit PPA Kota Bima hanya sembilan orang.
“Kita masih mengidentifikasi sejauh mana anak-anak ini mendapatkan perlakuan kekerasan seksual dalam hal ini pencabulan,” jelasnya.
Saat mendapatkan laporan dari orang tua korban, para siswi SD tersebut masih terlihat cemas dan takut. Tingkat trauma yang dialami anak-anak ini berbeda-beda. Bergantung psikologis mereka.
“Untuk jenis tingkatan traumanya ada yang rendah, sedang, atau tinggi. Saya tidak memberikan penjelasan detailnya. Mungkin teman-teman psikolog yang bisa menjelaskan,” katanya.
“Tapi untuk sementara kami katakan bahwa ketakutan, kecemasan, kekhawatiran, kemudian ketidak-konsistenan mereka dalam memberikan informasi terhadap peristiwa yang mereka alami, itu bentuk dari gangguan psikologi mereka,” sebut Juhriati.
Setelah berkumpul di LPA, anak-anak itu mulai terbuka dan bercerita kasus yang menimpa mereka. LPA kemudian melakukan asesmen dan penyembuhan dari ketakutan (trauma healing). Trauma healing ini sengaja diperuntukkan untuk anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut.
“Karena mereka kan di samping sedang menjalani proses pemeriksaan, mereka juga sedang melaksanakan ujian sekolah. Jangan sampai ketika menjalankan proses ujian, mereka terpengaruh dengan proses hukum ini,” jelas Juhriati.
“Alhamdulillah anak-anak ini sudah mulai nyaman. Kemudian sudah mulai bercerita dengan sangat detail dan bisa saling memahami. Mereka mengetahui bahwa mereka sedang mengalami proses hukum atas dugaan pencabulan yang dilakukan oleh yang diduga pelaku kemarin,” lanjutnya.
Setelah melakukan asesmen, Juhriati mengatakan, LPA Kota Bima akan menyampaikan rekomendasi kepada kepolisian. Secara kelembagaan, LPA bertugas untuk mengawal, mendampingi, dan memberikan akses dalam proses hukum terhadap kasus ini.
Ia tak menyampaikan secara gamblang bukti-bukti yang telah dikumpulkan LPA Kota Bima. Hanya saja, dia mengatakan, pihaknya akan mengawal kasus ini dengan berbagai fakta, bukti visum, dan kesaksian para korban.
LPA Kota Bima, sebut Juhriati, akan mengawal kasus ini hingga terungkap fakta-faktanya secara terang benderang. “Yang jelas kami menyuguhkan informasi dan juga fakta hukum yang kami anggap sekiranya itu sangat membantu proses penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut nanti,” katanya.
Harus Selalu Waspada
Juhriati mengaku sangat prihatin dengan kasus ini. Pasalnya, dugaan pelecehan seksual tersebut terjadi di lingkungan sekolah yang sejatinya menjadi tempat perlindungan dan pendidikan.
“Semoga ini bisa menjadi pembelajaran. Di sekolah pun kejadian seperti ini memungkinkan untuk terjadi,” sesalnya.
Karena itu, anak-anak harus selalu waspada saat beraktivitas di luar rumah. Orang tua pun memiliki kewajiban untuk membekali anak-anak mereka dengan pengetahuan dasar agar dapat menyelamatkan diri saat ada orang yang berniat dan berusaha melakukan pelecehan seksual.
“Bagi orang tua, ini adalah sebuah bukti bahwa cerita-cerita tentang kekerasan seksual terhadap anak bukan hanya terjadi di televisi dan media sosial, tetapi sudah ada di tengah lingkungan sekitar kita,” imbuhnya.
Para orang tua, kata dia, mesti menjaga, memperketat, serta mengawal anak-anak mereka agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di rumah dan luar rumah.
Kala berada di luar rumah, orang tua wajib berkomunikasi, mengajukan pertanyaan, dan memberikan nasehat kepada anak-anak mereka. Langkah ini untuk mengantisipasi efek negatif di era digital.
“Era digital ini memberikan pengaruh-pengaruh tertentu bagi anak bila anak tidak kita bekali dengan informasi-informasi dan kekuatan hubungan orang tua dengan anak,” katanya.
Juhriati juga mengingatkan pihak sekolah bahwa institusi pendidikan bisa saja menjadi tempat pelecehan seksual terhadap anak-anak, sehingga para pendidik di sekolah mesti mawas diri, serta mengambil langkah-langkah antisipatif.
“Sekolah harus memberikan pengawalan kepada anak. Sekolah harus menjadi polisi bagi anak. Ketika anak diduga menjadi korban, maka pihak sekolah harus pro-aktif untuk melaporkan dan tidak mendiamkan kasus ini,” sarannya.
Juhriati juga mengingatkan pemerintah daerah untuk mendukung penegakan hukum kasus ini. Selain itu, pemerintah diminta bersinergi dengan berbagai pihak.
Kata dia, upaya pencegahan sangat dibutuhkan agar kasus serupa tak lagi terjadi di Bima. Hal ini bisa dilakukan melalui pembuatan regulasi dan kebijakan.
“Sampai pada tatanan bagaimana ketika ini menjadi program-program yang umum di masing-masing dinas atau instansi,” pungkas Juhriati. (*)
Penulis: Ikbal Hidayat, Akbar, & Nur Hasanah
Editor: Ufqil Mubin