Post ADS 1

Menguliti Musabab Kegagalan Syafru-Ady serta Motif Pengajuan Sengketa Pilkada Bima

Pasangan calon nomor urut 2 di Pilkada Kabupaten, Syafrudin H. M. Nur-Ady Mahyudi, saat melakukan kampanye di hadapan para pendukung mereka. (Dimensi)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Pilkada Kabupaten Bima dari tim hukum pasangan calon (paslon) nomor urut 2, Syafrudin H. M. Nur-Ady Mahyudi (Syafru-Ady), dalam sidang yang berlangsung pada Rabu (17/2/2021) siang.

Penolakan tersebut menandai akhir babak perebutan kekuasaan pucuk pimpinan daerah di Dana Mambari, sekaligus mengukuhkan serta menguatkan kemenangan paslon nomor urut 3 yang juga berstatus sebagai petahana, Indah Dhamayanti Putri-Dahlan M. Noor (IDP-Dahlan).

Sejak awal Pilkada Kabupaten Bima, dua paslon tersebut memang diprediksi akan bersaing ketat. Hasilnya, kontestasi dua paslon di daerah itu berlangsung ketat, disertai saling berebut pengaruh di akar rumput, saling hujat para pendukung di media sosial, dan aksi penolakan saat kampanye paslon tertentu di sejumlah desa di Kabupaten Bima.

Sejenak saya ingin membawa Anda pada pertarungan dua rival lama ini pada Pilkada 2015. Lima tahun lalu, Syafrudin bertarung di arena pesta demokrasi yang sama dengan IDP. Kala itu, ia berstatus sebagai petahana, yang menggantikan Ferry Zulkarnain karena bupati tersebut meninggal dunia pada 2014. Sementara IDP, seorang janda dua anak dari almarhum Ferry, sebagai pendatang baru dalam persaingan perebutan “takhta” kepala daerah saat itu menjadi rival kuatnya.

Kala itu, meski bertatus sebagai petahana, Syafrudin yang berpasangan dengan Masykur HMS hanya meraih 28,17 persen suara. Sementara IDP yang berpasangan dengan Dahlan keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara 40,11 persen.

Barangkali itu adalah kekalahan yang “sangat menyakitkan” bagi Syafrudin karena ia harus menyerahkan kekuasaan yang pernah dipegangnya kepada seorang perempuan yang disebut-sebut bukan trah Kesultanan Bima sebagaimana suaminya, almarhum Ferry.

Jika kontestasi 2015 diikuti empat paslon, beda halnya dengan pesta demokrasi yang berlangsung di tengah pandemi Covid-19 pada 9 Desember 2020, yang hanya diikuti tiga paslon. Dengan segala dinamika yang melatarbelakanginya, Syafrudin menggaet seorang politisi kawakan sebagai pasangannya, yang pada Pilkada lima tahun lalu bertarung sebagai calon bupati: Ady Mahyudi.

Ady yang berstatus sebagai anggota DPRD NTB itu rela melepas jabatannya demi menerima pinangan Syafrudin di Pilkada 2020. Tak ada alasan yang begitu gamblang disampaikan mengapa akhirnya dua politisi ini memutuskan untuk berpasangan. Tetapi ambisi mengalahkan IDP-Dahlan adalah fakta yang tak dapat dibantah di balik keputusan tersebut.

Secara politis, Syafrudin barangkali melihat Ady sebagai sumber suara yang bisa menarik kembali 21,50 persen pemilih yang pernah dikantonginya di Pilkada lima tahun sebelumnya. Dengan begitu, kalkulasinya, pasangan ini bisa mendapatkan 50 persen jika suara keduanya digabung sebagaimana hasil Pilkada 2015.

Tetapi mungkin yang luput dari perhitungan keduanya adalah fakta politik di akar rumput yang tidak pernah benar-benar dapat dipegang. Pemilih di Kabupaten Bima didominasi pemilih mengambang (swing voters) yang setiap hitungan jam, menit, bahkan detik bisa beralih mendukung pasangan lain. Sementara pemilih rasional yang berpegang pada platform visi, misi, serta ideologi dapat dihitung dengan jari.

Di lain sisi, saya menduga perhitungan Syafru-Ady juga tak begitu detail dalam mengalkulasi arah dukungan dari seluruh pemilih. Sementara rivalnya, IDP-Dahlan, yang telah mengemudi roda pemerintahan selama lima tahun diyakini telah memetakan secara detail potensi dukungan serta pemilih fanatik mereka di Pilkada 2020.

IDP-Dahlan juga telah menarik gerbong dukungan partai politik yang begitu besar dalam arena persaingan perebutan kekuasaan di Kabupaten Bima tersebut. Bila 2015 lalu dua rival ini sama-sama didukung tiga partai politik, maka berbeda jauh dengan Pilkada 2020. IDP-Dahlan didukung dan diusung lima partai: Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, dan PPP. Sementara Syafru-Ady hanya diusung dua partai: PAN dan NasDem.

Hal ini tidak terlepas dari modal politik yang dibangun oleh IDP-Dahlan. Sebagai penguasa, mereka telah memiliki semua perangkat untuk mendapatkan dukungan dari partai politik: pengaruh, jejaring, ketokohan, dan yang tidak kalah penting adalah uang yang bisa membiayai setiap tahapan dalam pelaksanaan Pilkada 2020, dari proses membiayai operasional mesin partai politik hingga mendanai kampanye yang berjalan selama berbulan-bulan.

Di samping itu, IDP-Dahlan juga telah menancapkan pengaruhnya dari kecamatan hingga RT atau dari kalangan birokrat sampai para kepala desa yang secara diam-diam memberikan dukungan kepada mereka. Kekuasaan keduanya yang telah berlangsung lima tahun memungkinkan bagi pasangan nomor urut 3 ini menarik dukungan dari tokoh masyarakat hingga politisi dadakan “kelas teri” yang hanya ingin mengais remah-remah dari kekuasaan.

Hasilnya dapat ditebak. IDP-Dahlan mengantongi 44,43 persen, Syafru-Ady 38,02 persen, dan Irfan-Herman Alfa Edison 17,55 persen. Dilihat dari usianya yang kini telah mencapai 63 tahun, juga potensi kemunculan wajah-wajah baru yang lebih energik dalam pentas perpolitikan lokal, hasil ini sekaligus mengakhiri harapan Syafrudin untuk berlaga di Pilkada lima tahun yang akan datang.

Motif Perselisihan

Paslon nomor urut 3 yang juga berstatus sebagai petahana, Indah Dhamayanti Putri-Dahlan M. Noor. (Sindonews)

Ada dua alasan mendasar bagi seseorang atau kelompok yang bertarung dalam Pilkada membawa hasil pemilihan sebagai perselisihan di MK. Dua alasan tersebut bisa terpisah atau saling berkaitan. Bergantung pada niat orang-orang yang mengajukan sengketa tersebut.

Pertama, mereka ingin membuktikan bahwa memang terjadi kecurangan dalam Pilkada. Bisa berupa pengerahan birokrat, politik uang (money politic), atau penyelenggara yang cenderung berpihak pada salah satu calon.

Kedua, pengajuan sengketa Pilkada itu didasarkan alasan yang sangat visioner. Mereka ingin memberikan pendidikan politik kepada publik bahwa penyelesaian perselisihan di Pilkada harus ditempuh dengan cara-cara yang telah ditentukan dalam aturan yang berlaku. Bukan dengan cara mengerahkan massa, membakar gedung penyelenggara sebagaimana yang acap terjadi di Indonesia, atau membenturkan antar-pendukung paslon di akar rumput.

Dua hal ini saya nilai beriring kelindan dalam usaha tim Syafru-Ady dalam menyelesaikan sengketa pemilihan tersebut. Terkait alasan pertama, dalam Pilkada Bima, tidak ada satu pun orang yang berani, kecuali tim hukum IDP-Dahlan, memberikan jaminan bahwa tidak terjadi pelanggaran dalam Pilkada tahun lalu.

Dalam sidang kedua yang memuat eksepsi tim IDP-Dahlan, yang juga acap dijadikan alasan oleh para pendukung dan tim sukses paslon ini dalam menjawab pertanyaan awak media, menyebutkan tak pernah ada money politic dalam penyelenggaraan pesta demokrasi di Dana Mambari. Dalihnya, tidak ada satu pun tim petahana yang terseret dalam kasus politik uang, baik di Bawaslu maupun kepolisian.

Alasan yang dilontarkan tim IDP-Dahlan ini sangat lemah. Tidak adanya pelaporan, pembuktian, penyidangan, atau pemberian hukuman terhadap orang atau kelompok tertentu karena kasus money politic tidak serta-merta meniscayakan bahwa politik uang tak terjadi di Pilkada.

Sudah menjadi rahasia umum, kontestasi demokrasi di Indonesia, dari Pilkades, Pilkada hingga Pilpres, selalu diwarnai money politic. “Sulit menemukan suatu analisis tentang politik elektoral Indonesia, baik di media massa populer atau kajian akademis, tanpa menyebutkan politik uang,” kata Burhanuddin Muhtadi dalam Kuasa Uang, Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru.

Lemahnya penegakan aturan dari penyelenggara diduga kuat sebagai alasan yang melatari tidak terungkapnya kasus-kasus politik uang selama pemilihan. Pada kasus tertentu—atau mungkin umum terjadi—para pengawas diduga secara diam-diam berpihak pada pasangan tertentu.

Sementara terhadap alasan kedua, ini adalah bagian dari langkah paling “brilian” dari Syafru-Ady dalam menyelesaikan masalah perpolitikan di daerah yang disebut-sebut sebagai zona paling rawan konflik Pilkada tersebut.

Dua tokoh daerah itu tidak mengambil langkah-langkah yang menyalahi hukum, melainkan secara elegan melalui tahapan demi tahapan penyelesaian sengketa hasil Pilkada yang telah tersedia dalam aturan yang berlaku. Upaya mereka dalam membawa masalah ini ke MK adalah salah satu langkah yang patut diapreasi karena di situlah publik sejatinya dapat menilai kebesaran jiwa keduanya dalam memberikan pendidikan politik bagi masyarakat Bima.

Terlepas dari harapan keduanya mendapatkan kekuasaan atau membatalkan hasil pemilihan lewat sengketa di MK, ada alasan yang lebih mendasar dari langkah ini: generasi muda yang akan mengisi panggung politik ke depan harus menyelesaikan perselisihan lewat cara-cara yang beradab, sesuai aturan, dan menjunjung tinggi marwah demokrasi.

Mari kita tengok sejenak Pilpres Amerika Serikat (AS) tahun lalu. Saat pertarungan sengit antara Donald Trump dan Joe Biden diakhiri dengan kemenangan Biden yang tidak diakui Trump. Hal ini memperuncing emosi para pendukungnya yang tidak mau menerima kekalahan. Menjelang pengukuhan kemenangan Biden, para pendukung petahana justru ingin mencegatnya lewat aksi brutal di Capitol Hill Washington yang mengakibatkan empat nyawa melayang.

Semua ini tidak terlepas dari kerdilnya jiwa Trump dalam memaknai rivalitas dalam kontestasi demokrasi. Ia berkali-kali menolak mengakui kekalahannya, bahkan tak menghadiri prosesi peralihan kekuasaan secara formal dalam pelantikan Biden sebagaimana budaya politik yang telah dirawat di AS.

Sementara penyelesaian sengketa hasil kontestasi demokrasi di Kabupaten Bima berjalan sesuai aturan, dengan segala kekurangan yang menyertainya, ditandai dengan kebesaran jiwa para tokoh yang bertarung menempuh langkah-langkah sesuai aturan. Akibatnya sangat positif: tidak ada kekerasan fisik antar para pendukung paslon IDP-Dahlan dan Syafru-Ady.

Tetapi ada satu catatan khusus bagi tim hukum pasangan Syafru-Ady. Sengketa di MK tidak begitu dipersiapkan secara matang. Bagaimanapun, absennya tim hukum mereka yang digawangi Arifin dalam menyertakan alat bukti saat persidangan perdana di MK memberi bukti atas argumentasi tersebut. Ini pula alasan yang barangkali memupus harapan keduanya memenangkan sengketa hasil karena majelis hakim akhirnya menolak permohonan Syafru-Ady. (*)

Penulis: Ahmad Yasin Maestro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *