SEORANG pemuda tanggung bergegas menuju rumahnya. Ia terlihat mengenakan seragam sekolah. Dari jarak sekitar 10 meter saya melihatnya melangkahkan kaki secara perlahan ke rumahnya yang berpagar bambu itu.
Saya, Arif Sofyandi, wartawan NTBnews.com, telah menunggunya sekira satu setengah jam. Biasanya ia pulang dari sekolahnya pukul 12.00 Wita. Namun kali ini dia baru sampai di rumahnya pada pukul 13.48 Wita.
Di tengah-tengah penantian kedatangannya, ibu-ibu sudah berkumpul di rumah pria yang tinggal di Desa Timu, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima itu. Tiga orang perempuan paruh baya datang ke rumah laki-laki itu karena mendengar “bisik-bisik tetangga” bahwa pria berinisial AN tersebut sedang dicari wartawan. Saya pun berusaha menjelaskan maksud dan tujuan saya yang ingin bertemu AN. Tak ada tujuan lain selain menjalankan tugas untuk mengonfirmasi kebenaran informasi yang didapatkan media ini terkait keikutsertaan AN dalam pencoblosan di Pilkada Bima 2020.
Di hari yang sama, pada Senin (25/1/2021) pagi, salah seorang tim hukum pasangan calon nomor urut 2 Syafruddin H.M. Nur-Ady Mahyudi (Syafru-Ady) mengirimi kami video berdurasi 12 detik yang memuat pengenalan singkat nama, alamat, dan Tempat Pemungutan Suara (TPS) di mana AN menyalurkan hak pilihnya.
AN, menurut informasi dari tim hukum Syafru-Ady, adalah salah satu pemilih yang masih di bawah umur tetapi diberikan hak pilih pada 9 Desember 2020. Masih berdasarkan tim hukum pasangan tersebut, AN “sengaja” dimasukkan dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) demi memilih pasangan nomor urut 3, Indah Dhamayanti Putri-Dahlan M. Noor (IDP-Dahlan).
Merujuk informasi yang disampaikan ibu dari AN, memang orang tuanya mendukung IDP-Dahlan. Karena itu, sangat beralasan bahwa AN juga kemungkinan besar mengikuti pilihan kedua orang tuanya. Tetapi dari pandangan tim hukum Syafru-Ady, AN sengaja diakomodir dalam DPTb untuk memilih petahana.
AN juga dituding sebagai pemilih yang masih di bawah umur. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari data kependudukan pria tersebut, AN lahir pada 10 Mei 2003. Saat ini ia sedang duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Atas (SMA). Sehingga ketika hari pencoblosan pada 9 Desember 2020, ia sudah berusia 17 tahun enam bulan.
Saya kemudian menanyakan seputar kapan AN mendapatkan KTP-el. Kartu tersebut didapatkannya sehari setelah pencoblosan atau 10 Desember lalu. Sehingga dia mencoblos di Pilkada Bima menggunakan surat keterangan (suket). Suket tersebut didapatkannya dua hari sebelum pencoblosan.
***
Data lain yang kami dapatkan dari tim hukum Syafru-Ady adalah pemilih yang juga disebut masih di bawah umur. Dalam potongan video berdurasi sembilan detik, pria yang berasal dari Desa Kananga, Kecamatan Bolo, memperkenalkan diri. Ia berinisial MA. Saat pencoblosan pada 9 Desember 2020, dia mengaku mencoblos di TPS 2, Dusun 1.
Dalam sebuah foto yang diterima media ini, MA terlihat duduk di kursi sofa dengan latar rumah batu yang berwarna putih. Ia menunjukkan selembar kertas yang memuat surat penyataan yang disertai materai 6000. Sayangnya isi surat itu tidak begitu jelas. Tempat dan tanggal lahirnya pun terlihat buram.
Setelah kami konfirmasi ulang, tim hukum pasangan Syafru-Ady menyebut MA lahir pada 30 September 2004. Dengan demikian, pada hari pencoblosan, ia baru berusia 16 tahun dua bulan. Padahal berdasarkan undang-undang, seseorang dapat disebut pemilih pemula jika berusia 17 tahun tepat pada hari pencoblosan.
Pada pukul 15.30 Wita, saya berikhtiar membuktikan keberadaan MA. Dari Desa Timu, untuk sampai ke Desa Kananga, jaraknya 2,5 kilometer. Di tengah rintik hujan, saya berusaha melewati Desa Leu untuk sampai ke Desa Kananga.
Sesampai di desa tersebut, saya mendatangi Dusun 1. Saya bertanya alamat MA ke beberapa orang dengan cara menunjukkan fotonya yang didapatkan NTBnews.com dari tim Syafru-Ady. Namun di dusun itu tak ada satu pun orang yang mengetahui keberadaan pria berkulit hitam manis tersebut.
“Saya tidak mengenal saudara MA,” kata Taufik, seorang laki-laki yang berusia sekira 40 tahun yang saya temui di Desa Kananga.
Ia mengaku tidak mengenalnya karena usia MA masih relatif belia. Laki-laki itu meminta saya mencarinya di dusun lain di desa tersebut.
Saya bergegas menuju dusun selanjutnya. Saya bertemu dengan seorang perempuan yang berusia sekira 20 tahun. Namanya Putri. Dia mengaku mengenal MA.
“Benar dia orang sini. Tetapi dia sudah pindah beberapa waktu yang lalu. Rumahnya sekarang tidak jauh dari tempat tinggalnya sebelumnya,” ungkap Putri.
Waktu telah menunjukkan pukul 17.30 Wita. Sudah satu setengah jam saya berusaha mencari MA. Saya bertanya ke beberapa temannya. Ada satu orang yang memberi tahu rumahnya. Tetapi informasi itu tak begitu valid.
Hujan semakin deras. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.45 Wita. Beberapa menit lagi kumandan azan akan berbunyi di masjid. Setelah magrib saya harus mengajar Alquran kepada anak-anak di Desa Tonggorisa, Kecamatan Palibelo. Saya pun memutuskan mengakhiri untuk mencari tahu keberadaan MA.
Materi Gugatan
Pilkada Bima berlanjut di meja hijau Mahkamah Konstitusi (MK). Musababnya, kontestasi demokrasi di tingkat daerah yang dimenangkan pasangan nomor urut 3 IDP-Dahlan itu digugat oleh tim pasangan calon nomor urut 2, Syafru-Ady.
Merujuk Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bima nomor 696/HK.03.1-Kpt/5206/KPU-Kab/XII/2020, Pilkada Bima tahun lalu mengunggulkan pasangan IDP-Dahlan dengan perolehan 130.963 suara atau 44 persen. Kemudian Syafru-Ady mengantongi 112.068 suara atau 38 persen, serta pasangan nomor urut 1 Irfan-Herman (Iman) menghimpun 51.755 suara atau 18 persen.
Tim hukum Syafru-Ady, Arifin mengungkapkan, salah satu materi gugatannya di MK adalah munculnya para pemilih di bawah umur yang berjumlah 28.000 orang di Pilkada Bima. Mereka tersebar di 18 kecamatan di kabupaten tersebut.
Kata dia, KPU serta Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdulcapil) Kabupaten Bima terindikasi menerbitkan DPTb sepuluh hari hingga tujuh hari sebelum pencoblosan pada 9 Desember 2020.
Sementara itu, beberapa hari menjelang pemilihan, pihak desa dan kecamatan mengadakan foto bagi para pemilih pemula sebagai syarat penerbitan surat keterangan (suket) dan KTP untuk keperluan pencoblosan. Padahal, tegas Arifin, mereka yang diberikan suket atau KTP tersebut masih di bawah umur.
Ia berdalih, pada tahun 2003 dan 2004 lalu, tidak mungkin jumlah kelahiran di Bima mencapai 28.000 orang. Hal ini diperkuat oleh temuan tim Syafru-Ady yang menelusuri para pemilih pemula tersebut berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
“Begitu dibuka NIK, baru dia keluar. Ternyata orang ini kelahiran 2004, 2005, bahkan kelas satu SMA sudah coblos,” beber Arifin kepada NTBnews.com, Senin lalu.
Kata dia, tim Syafru-Ady pernah mengonfirmasi hal itu kepada pihak desa dan kecamatan. Mereka berdalih, pemberian suket kepada para pemilih di bawah umur itu atas perintah pimpinan mereka. Cara demikian berjalan secara masif hingga 8 Desember 2020.
“Itu di malam pemilihan masih ada proses foto. Ini kan pergerakan tim petahana. Jadi, alat bukti dan saksi kita sesuai fakta lapangan,” katanya.
Ia menegaskan, para pemilih yang masih di bawah umur tersebut “sengaja” dimasukkan dalam DPTb untuk memilih pasangan IDP-Dahlan. Dasarnya, pengakuan para pemilih bahwa mereka menjatuhkan pilihan kepada pasangan petahana tersebut.
Arifin kemudian menyebutkan, para pemilih yang masih di bawah umur itu diduga kuat diintimidasi untuk memilih pasangan nomor urut 3. Ada tim khusus yang mengarahkan dan mengerahkan pemilih di bawah umur untuk memilih incumbent.
“Mereka (yang mengarahkan pemilih) ini saya tidak tahu. Rentetan ke bawah ini kan ada keterlibatan desa. Ada keterlibatan dari pihak kecamatan juga,” ungkap Arifin.
Dia menjelaskan, para pemilih yang masih di bawah umur itu tersebar di 18 kecamatan di Kabupaten Bima. Mereka “disebar” di TPS dengan jumlah yang berbeda-beda.
“(Di setiap TPS itu) ada dua, ada lima, dan tersebar di seluruh TPS di semua desa,” katanya.
Pihaknya telah menyediakan data-data pendukung untuk menguatkan temuan tersebut. Dari pernyataan, ijazah SMP, pengakuan pemilih, akte kelahiran, hingga Data Pokok Pendidikan (Dapodik) se-Kabupaten Bima.
“Jelas-jelas di sini terkandung TSM-nya (Terstruktur, Sistematis, dan Masif). Ini kejahatan pemilu,” tegasnya.
Dia menyebutkan, tim Syafru-Ady sudah melakukan penelusuran di lapangan untuk menguatkan temuan tersebut. Pihaknya telah mendokumentasikannya dalam bentuk foto dan video. Bentuknya berupa pengakuan bahwa para pemilih tersebut memang masih di bawah umur.
“Ini pembuktian kita di persidangan nanti. Ada beberapa poin lagi yang terkandung di situ yang tidak bisa kita buka. Ada sekitar 15 item alat bukti yang akan kita paparkan di meja persidangan MK,” bebernya.
Permintaan Diskualifikasi
Arifin bersama timnya mengajukan permohonan di MK agar mendiskualifikasi pasangan IDP-Dahlan. Bukan Pilkada ulang sebagaimana yang terpublikasi dan tersebar di beberapa media lokal di Nusa Tenggara Barat (NTB).
“Kalau memang Pilkada ulang, itu kan kewenangan majelis. Tapi poin kita di situ tidak ada permohonan atau permintaan Pilkada ulang,” jelas Arifin.
Bila merujuk pada Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP), maka gugatan tersebut tidak akan diterima dan teregistrasi di MK. Pasalnya, selisih suara antara pasangan IDP-Dahlan dan Syafru-Ady mencapai 6 persen. Sementara syaratnya untuk Pilkada Bima, perbedaan suara harus maksimal 2 persen agar dapat diajukan PHP di MK.
“Tapi nembaknya kita ini bukan di situ. Kecurangan ini yang kita beberkan semua. Ini yang kita penuhi TSM itu,” ujar Arifin.
Selain soal adanya ribuan pemilih di bawah umur, tim Syafru-Ady juga akan membeberkan bukti-bukti di MK terkait intimidasi dan politik uang (money politic).
Arifin menjelaskan, intimidasi dilakukan oleh tim IDP-Dahlan lewat dana Program Keluarga Harapan (PKH). Padahal program pemerintah pusat tersebut sudah ada sebelum Pilkada 2020.
“Dari pihak IDP dan rentetan jaringan ke desa ini ada semacam intimidasi. ‘Kalau Anda tidak memilih nomor 3, Anda akan dihapus dari nama yang menerima PKH itu’. Kita sudah siapkan itu. Ada pernyataannya. Ada videonya,” jelas dia.
Tanggapan Tim IDP-Dahlan
Pengurus DPP Golkar yang juga Tim Pemenangan IDP-Dahlan, Khairuddin Juraid menanggapi pernyataan Arifin tersebut. Pertama, terkait dugaan keterlibatan ribuan pemilih di bawah umur yang ditemukan tim Syafru-Ady, ia menyayangkan hal ini dipermasalahkan pasca Pilkada 2020.
“Pada saat pleno DPT, kenapa itu tidak dipersoalkan? Kan pleno DPT itu ada di KPU. Setau saya waktu pleno itu enggak ada yang komplain. Semua tim paslon tidak ada yang komplain,” tegas Khairuddin kepada NTBnews.com, Selasa (26/1/2021).
Dia menyebut tuduhan dari tim hukum Syafru-Ady berlebihan. Khususnya terkait keterlibatan pemilih di bawah umur yang sengaja dimasukkan dalam DPTb untuk memilih IDP-Dahlan.
Hingga 8 Desember 2020, Disdukcapil Kabupaten Bima pun sudah menjelaskan jumlah DPTb kepada seluruh tim pasangan calon.
“Pada saat pleno penetapan hasil saja pihak saksi pasangan calon Iman dan Syafaad (Syafru-Ady) sudah mendapat penjelasan dari Disdukcapil. Di situ sudah dijelaskan. Semua data penambahan DPTb sudah disampaikan,” katanya.
Saat pleno penetapan hasil pemilihan, pihak Disdukcapil Kabupaten Bima juga didatangkan ke KPU untuk menjelaskan secara detail penambahan pemilih di Pilkada 2020.
“Pada saat orang Disdukcapil datang, orang Syafaad ini enggak ada. Orangnya Iman yang ada. Saya lihat itu. Orang saya saksi kok di KPU,” jelasnya.
Kedua, Khairuddin juga menanggapi pernyataan Arifin yang menyebut tim IDP-Dahlan diduga mengintimidasi pemilih yang mendapatkan PKH di Kabupaten Bima. Tim pemenangan pasangan nomor urut 3 tersebut menegaskan, PKH merupakan program pemerintah pusat yang disalurkan ke rekening penerima bantuan.
“Apa urusannya dengan kabupaten kalau seandainya itu di pusat yang menentukan? Penyalurannya itu juga secara langsung. Itu melalui rekening penerima. (Intimidasi) itu enggak ada. Yang menentukan itu pusat atau kabupaten? Pusat kan. Sekarang kalau masalah duitnya, itu transfer langsung. Enggak mampir ke rekening pemerintah daerah,” tegasnya.
Ketiga, politisi Golkar itu juga menanggapi dugaan Arifin terkait politik uang yang dilakukan tim IDP-Dahlan. Kata Khairuddin, tuduhan itu juga dinilainya berlebihan.
“Ada enggak orang IDP-Dahlan ditangkap Panwas atau Bawaslu saat Pilkada? Kan enggak ada,” ujarnya.
Meski begitu, Khairuddin menyerahkan masalah tersebut kepada MK. Pasalnya, menurut dia, majelis akan membuktikan secara gamblang terkait bukti-bukti yang akan disodorkan pihak pemohon maupun termohon.
“Itu pun jika MK menganggap sidang ini memenuhi syarat ambang batas sesuai undang-undang itu. Kalau enggak salah, selisih perolehan suaranya maksimal 2 persen baru bisa diterima. Tapi kan ini selisihnya 6 persen,” jelas Khairuddin.
Sementara terkait permintaan diskualifikasi pasangan IDP-Dahlan, dia menanggapinya dengan singkat. Eksekutif serta legislatif telah menetapkan pemilihan kepala negara hingga kepala daerah melalui pemilu.
“Negara sudah menetapkan bahwa untuk menjadi presiden dan kepala daerah harus melalui pemilihan yang bersifat umum, bebas, dan rahasia. Bukan melalui pengadilan. Kalau mereka meminta diskualifikasi, kita kembalikan ke MK,” pungkas Khairuddin. (*)
Tim NTBnews.com