KELUHAN para petani terhadap harga bawang merah yang anjlok setiap panen raya menjadi berita tahunan yang tak pernah usai dipertontonkan kepada publik di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun seolah tak berdaya menyelesaikan masalah ini. Pemerintah hanya mengambil langkah-langkah parsial yang tak menyelesaikan problem ini dalam jangka panjang.
Harga bawang dibiarkan bergelinding sesuai mekanisme pasar. Pasar diatur oleh tangan tak terlihat (invisible hand) yang setiap waktu mengancam hajat hidup ribuan petani bawang merah di Kabupaten Bima.
Indonesia menentang ekonomi pasar yang dibangun di atas landasan kebebasan tanpa kontrol negara. Namun kenyataannya, hal itu tak berlaku terhadap bawang merah. Komoditas unggulan di Kabupaten Bima ini bagaikan noda hitam yang menunjukkan wajah asli perekonomian negara ini.
Regulasi, kontrol, dan stabilisasi harga bawang merah sedemikian manis dibuat serta didengungkan para pejabat di hadapan publik, tetapi realitanya buram, tak nampak, bahkan pemanis untuk lari dari tanggung jawab negara terhadap rakyat.
Para petani pun terkena getahnya. Biaya produksi yang kian melangit tak dapat ditutupi dengan harga bawang yang kian anjlok di musim panen. Para petani harus berhadapan dengan harga obat-obatan yang saban hari makin meningkat, sementara hasil panen tak dapat menutupinya.
Seorang petani dari Desa Kaleo, Kecamatan Sape, Sukran mengatakan, harga bawang merah sangat rendah, berkisar Rp 10.000 per kilogram (kg), bahkan ada juga petani yang menjualnya dengan harga Rp 9 ribu per kg.
“Sangat merugikan kami sebagai petani, tetapi apa boleh buat, karena untuk membiayai perawatan bawang merah sebagian utang, mau tidak mau harus dijual,” beber Sukran kepada ntbnews.com baru-baru ini.
Harga bawang tersebut sangat merugikan para petani. Pasalnya, biaya perawatan dan obat-obatan terkadang lebih tinggi daripada pendapatan setelah bawang terjual.
Para petani pun kian khawatir di tengah utang yang menumpuk di bank. Mereka dikejar waktu untuk segera menjual bawang merah walaupun dengan harga yang relatif rendah. Para petani harus berpacu dengan waktu karena utang di bank jatuh tempo saat bawang dipanen. “Tidak ada pilihan lain, bawang harus segera dijual,” kata Sukran.
Di tengah harga bawang merah yang sangat rendah seperti saat ini, kemungkinan besar banyak petani yang tak dapat melunasi utang mereka di bank, meski bawang yang mereka tanam telah dijual.
Hal serupa disampaikan petani dari Desa Risa, Kecamatan Woha, Firdaus. Ia mengatakan, harga bawang merah semakin rendah dan penghasilan petani juga turun.
“Kemarin harganya Rp 1,3 juta sampai Rp 1,5 juta rupiah per 100 kg. Sekarang hanya Rp 1 juta rupiah,” ungkap Firdaus.
Ia pun mengaku heran mengapa harga bawang merah turun saat panen. Padahal sebelum para petani memanen bawang mereka, harganya relatif tinggi.
Dia berharap pemerintah daerah dapat menyelesaikan persoalan harga bawang merah. Pasalnya, saat ini banyak petani yang mengeluhkannya.
“Pemerintah daerah jangan hanya saat harga tinggi saja baru mau mengontrol para petani, ketika harga rendah juga harus dikontrol,” tegas Firdaus.
Solusi dari Pemda
Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Bima, Syahrial mengatakan, pihaknya tak dapat menjangkau semua persoalan di bidang pertanian, termasuk soal harga bawang merah.
Hanya saja, ia menegaskan, penyebab utama harga bawang yang tak stabil (fluktuatif) karena tidak ada Harga Pembelian Pemerintah (HPP). “Kalau sudah ada HPP, itu sudah bagus bagi para petani kita,” ucap dia.
Syahrial mengatakan, tidak adanya ketentuan harga dari pemerintah membuat pihak tertentu memainkan harga di tingkat petani.
Ia pun menyarankan agar dibentuk asosiasi yang mengatur para penangkar agar mengelola dengan baik harga bawang merah.
“Misalnya, jika ada permintaan dari mana pun, tinggal diatur, agar semua mendapatkan bagiannya, baik penangkar besar maupun kecil,” beber Syahrial.
Meski harga bawang merah kerap tak stabil atau cenderung turun menjelang panen raya, kata dia, Kabupaten Bima telah menjadi penyuplai terbesar bawang merah di Indonesia.
Saat ini, Kabupaten Bima sudah mengalahkan produksi bawang merah dari Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Karena itu, Kabupaten Bima telah menjadi lumbung bawang merah nasional.
Syahrial menjelaskan, pada tahun 2016 produksi bawang merah di Kabupaten Bima mencapai 165.427 ton, tahun 2017 sebanyak 135.124 ton, tahun 2018 mencapai 162.898 ton, tahun 2019 sebanyak 147.543 ton, dan tahun 2020 mencapai 180.708 ton.
“Dahulu ada istilah Brebes-Bima. Sekarang Bima-Brebes. Bukan membanggakan petani di Bima, tetapi memang begitu faktanya,” ucap Syahrial.
Sementara itu, 30 persen bawang merah tersebut digunakan untuk kebutuhan masyarakat di Kabupaten Bima. Sedangkan 70 persen didistribusikan ke daerah lain di Indonesia.
“Ada yang dibawa ke Lombok, Magetan, Brebes, dan Jakarta. Intinya Pulau Jawa, Sulawesi, bahkan ke Sumatera, dan banyak lagi lainnya,” terang dia.
Setiap tahun rata-rata produksi bawang merah di Kabupaten Bima di atas target pemerintah. Tingginya produksi bawang saban tahun terjadi karena para petani tak hanya menanamnya saat musim tanam seperti biasanya. Para petani di sejumlah kecamatan justru menanam bawang dua sampai tiga kali setahun.
“Ada di Parado, Monta, Soromandi, dan semuanya. Bahkan petani di daerah tertentu yang tidak biasa tanam bawang sudah tanam bawang merah,” beber Syahrial.
Perbandingan produksi bawang merah Kabupaten Brebes dan Kabupaten Bima yang disampaikan Syahrial tersebut tergolong keliru. Pasalnya, data dalam laman resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah menunjukkan, pada tahun 2018 Kabupaten Brebes memproduksi 2.905.637 ton bawang merah, tahun 2019 sebanyak 3.029.328 ton, dan tahun 2020 mencapai 3.835.111 ton. Artinya, produksi bawang merah Kabupaten Brebes jauh lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Bima.
Kualitas yang Terjaga
Pengamat pertanian Kabupaten Bima, Mega Oktaviany menerangkan, bawang merah (Allium ascalonicu L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura penting di Indonesia yang dikonsumsi sebagian penduduk dari berbagai latar belakang sosial.
Komoditas ini mempunyai prospek yang sangat cerah, memiliki kemampuan untuk menaikkan taraf hidup petani, nilai ekonomis yang tinggi, bahan baku industri, serta dibutuhkan setiap saat sebagai bumbu penyedap makanan dan obat tradisional.
Selain itu, bawang merah berpeluang ekspor, dapat membuka kesempatan kerja, memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah, serta sumber kalsium dan fosfor yang cukup tinggi.
Dia menegaskan, bawang merah di Kabupaten Bima ibarat merek dagang (trademark). Sebab, daerah ini sebagai penghasil terbesar komoditas tersebut setelah Brebes serta memiliki citra yang baik bagi konsumen bawang merah di Indonesia.
Mega mengatakan, bawang merah dari Kabupaten Bima terkenal dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan daerah lain di Indonesia atau luar negeri seperti Thailand dan Tiongkok.
Bawang merah dari Bima memiliki tekstur yang keras, sehingga tidak mudah busuk walaupun disimpan terlalu lama, juga memiliki cita rasa yang tinggi: lebih menyengat dan harum, serta produk jadinya (bawang goreng) lebih enak dan gurih.
Karena itu, Mega menerangkan, bawang merah merupakan salah satu produk andalan dan unggulan sektor industri di Kabupaten Bima.
Pemerintah Jadi Penonton
Mega mengatakan, secara umum, dalam hukum pasar disebutkan, saat produksi naik, maka harga pasti akan turun. Pelaku pasar pun mengelola produksi karena ingin mengatur harga.
“Bisa terjadi sebaliknya. Kalau permintaan naik, harga pasti naik. Tetapi pasar yang tidak punya intervensi pemerintah, dibiarkan begitu saja, akan terjadi penguasaan pasar kepada pembeli, bukan petani,” jelas Mega.
Sejatinya, petani sebagai produsen yang mengatur dan menentukan harga di pasar. Namun, petani di Kabupaten Bima tak menjadi pengatur dan penentu harga. Sebaliknya, pembelilah yang mengatur harga bawang merah.
Hal ini terjadi karena pasar untuk petani bawang merah tak pernah diatur oleh pemerintah. Tidak pula diatur jejaring suplai, penjualan, harga minimum, serta tak ada kontrol terhadap pengepul yang “menipu” para petani bawang merah.
“Pengepul berani mengambil bawang petani berton-ton dengan cara utang. Setelah terjual, baru dibayar. Ibarat penyakit, ini adalah penyakit yang sudah kronis. Pemerintah sekadar menjadi penonton,” tegas Mega.
Penyebab lain, para petani hanya menjual komoditas mentah bawang merah tanpa diolah terlebih dahulu. Setelah panen, bawang langsung dijual. Mereka tak melakukan pengolahan lebih lanjut agar ada nilai tambahnya.
“Hukum pasar tadi bisa ditekan jika produk bawang merah itu diproduksi dan diolah. Tidak hanya dijual dalam bentuk mentah,” sarannya.
Mega menyebutkan, lonjakan harga bawang merah di Kabupaten Bima terjadi pada April hingga Juni 2020, namun pada pertengahan Juni ini harganya berangsur turun. Fluktuasi harga bawang merah bisa dipengaruhi permainan saluran pemasaran pada pedagang pengumpul maupun pengecer.
Akibatnya, apabila tidak ada pengawasan ketat dari pemerintah, maka hal ini akan sangat merugikan konsumen. Sementara itu, petani juga dirugikan bila harga yang diterimanya tidak sesuai dengan input produksi yang telah dikeluarkannya.
Tak Bisa Dieskpor
Mega menambahkan, saat ini bawang merah di Kabupaten Bima tak bisa diekspor. Hanya dibeli oleh pengepul. Tidak dijual ke perusahaan-perusahaan besar. Sejumlah perusahaan justru membeli bawang merah di Kabupaten Bima dari para pedagang.
Pasalnya, bawang merah dari Kabupaten Bima dijual mentah tanpa label. Tak ada pula uji produksi dan uji kualitas barang. Umumnya, setelah panen, para petani menjualnya di sawah atau di pinggir jalan.
“Sementara perusahaan besar membeli barang harus ada uji klinis, seperti kualitas kadar airnya, kualitas racunnya, BPOM, dan lainnya, baru bisa dibeli perusahaan besar,” jelasnya.
Akibatnya, tak ada orang yang tahu jenis dan generasi bibit bawang yang ditanam. Bisa jadi sudah masuk generasi ke-100. Kata dia, dalam ilmu teknologi pertanian, bibit yang ditanam lebih dari generasi 50 sudah menjadi racun dan kadar vitaminnya hilang, sehingga hasilnya tak bisa diekspor.
Dia menyarankan agar bibit bawang merah di Kabupaten Bima diuji di laboratorium. Apabila dilakukan uji lab, para petani dan masyarakat yang didukung Pemerintah Kabupaten Bima bisa memproduksi bibit bawang sendiri dengan kualitas yang terjamin.
Hal inilah yang membuat harga bawang merah dari Kabupaten Brebes lebih tinggi daripada harga bawang merah yang diproduksi para petani di Kabupaten Bima. Padahal kualitasnya tak sebaik bawang dari kabupaten di Pulau Sumbawa tersebut.
“Kenapa? Ada standar pembibitan dan uji klinisnya. Seumpama ada yang mau beli bawang, itu harus detail. Bawang apa, kualitas kadar airnya sekian dan seterusnya,” terang dia.
Intervensi Pemerintah
Tidak adanya intervensi harga dari pemerintah membuat para petani menanam bawang merah tanpa menghitung modal dan keuntungan yang akan didapatkannya. “Harga bawang tergantung pengepul,” sesal Mega.
Fluktuasi harga bawang merah di Kabupaten Bima dapat diselesaikan lewat intervensi pemerintah melalui aturan dan kebijakan. Dari segi penjualan, pemerintah pusat harus membuat regulasi untuk melakukan intervensi harga atau pembatasan harga minimum.
Campur tangan seperti ini diharapkan dapat membuat petani menutupi ataupun mendapatkan keuntungan setelah membayar obat-obatan dan biaya perawatan bawang merah.
“Dengan intervensi harga, ada harga minimum, ada standar harga, maka petani bawang itu bisa memperediksi, kalau saya utang sekian, saya bisa bayar sekian,” terangnya.
Dia menegaskan, pemerintah daerah dapat mengatur dan membuka jejaring pasar dan mengontrol proses penjualan dari pembeli pertama ke pengepul pertama, kedua, dan seterusnya.
Selain itu, pemerintah daerah harus membuat jejaring pasar yang dapat mendistribusikan langsung hasil panen bawang merah ke perusahaan-perusahaan besar yang merupakan pembeli pertama.
Caranya, pemerintah menghadirkan perusahaan besar ke Kabupaten Bima dan meneken perjanjian kerja sama atau Memorandum of Understanding (MoU) agar perusahaan tersebut hanya membeli bawang merah dari Kabupaten Bima.
Peluang ini terbuka lebar. Pasalnya, perusahaan-perusahaan dan restoran-restoran besar di Indonesia menjadikan bawang merah sebagai bahan pokok dalam memproduksi produk yang mereka jual.
Selain itu, pemerintah harus melakukan pelatihan terhadap petani agar mereka mengerti bagaimana menghasilkan bawang yang berkualitas, sehingga harga jualnya tinggi dan tetap stabil. “Selama ini, petani hanya menggunakan insting dan ajaran dari orang tua dalam menanam bawang merah,” katanya.
Mega mengurai, pemerintah juga harus kreatif dalam mengolah bawang merah agar tidak hanya bahan mentahnya yang dijual ke pasar. Bawang mesti diproduksi menjadi barang-barang bernilai tinggi seperti kerupuk bawang, kue bawang, serta produk lainnya yang menggunakan bahan dasar bawang yang bisa disuplai ke pasar swalayan (supermarket).
“Contohnya bawang merah yang dibungkus dan diberi label di supermarket yang ada di NTB. Tidak semua dari Bima. Banyak yang diambil dari luar,” ungkapnya.
Dia menegaskan, jika pemerintah kreatif, bawang merah dari Kabupaten Bima bisa disuplai menjadi produk tertentu. Selama ini, bawang goreng yang terkenal justru berasal dari Kota Palu, Sulawesi Tengah, bukan dari Kabupaten Bima.
“Di Bima ada produksi bawang goreng, namun pemerintah hanya mendukung begitu saja. Seharusnya produksi tersebut didukung dengan cara diekspor sehingga menjadi produk khas Bima,” sarannya. (*)
Penulis: Arif Sofyandi
Editor: Ufqil Mubin