ADA satu fakta lain yang terungkap di balik pembakaran rumah dan pembunuhan Ina Haja atau Pakoh (60) di Dusun Kalemba, Desa Kawuwu, Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima. Muncul dugaan bahwa aksi penghakiman yang berujung pertumpahan darah itu dilatari kematian tiga orang warga karena diduga diracun Pakoh dan anak laki-lakinya yang bernama Mahmud.
Dua hari setelah kejadian di desa yang sebagian wilayahnya berada di lereng gunung itu, saya mendapatkan kabar bahwa orang-orang menghubungkan racun yang diduga dimakan tiga warga itu sebagai “racu ncera”.
Ingatan saya lalu terbang jauh ke kampung halaman saya di Desa Ncera. Kawuwu dan Ncera memang berbatasan, meski jaraknya relatif jauh, karena dibatasi hamparan sawah dan pegunungan. Namun dua desa ini memiliki keterkaitan yang sangat erat, baik dari segi geografis maupun historis.
Sebagian atau mungkin mayoritas warga Kawuwu berasal dari Ncera. Adik dari nenek saya dari pihak ibu yang biasa saya panggil Nenek Osi menikah dengan orang Kawuwu. Lalu ia beranak pinak di sana. Kelak, salah seorang anaknya menjadi kepala Desa Kawuwu. Sementara tiga orang anaknya menikah dengan perempuan dan laki-laki di Ncera. Saat ini mereka bermukim di desa yang terkenal dengan wisata alam Bombo Ncera tersebut.
Kawuwu memiliki dua dusun: Kalemba dan Lante. Dua dusun tersebut dibatasi pegunungan dengan jarak yang relatif jauh. Lante berada di lereng gunung yang berdekatan dengan sawah dan sungai yang terhubung dengan sungai yang melewati Ncera. Sementara Kalemba berlokasi di pegunungan. Menurut sebagian orang, di dusun inilah mayoritas penduduk asli Bima bermukim.
Latif adalah salah satunya. Ia berasal dari Desa Sambori, Kecamatan Lambitu, Kabupaten Bima. Sementara istrinya, Pakoh, mengalir darah Ncera. M. Hilir Ismail lewat bukunya Peran Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, mencatat, warga di desa tersebut mayoritas penduduk asli Bima.
Ismail menyebut mereka sebagai Dou Donggo Ele (Orang Donggo Timur). Mereka mendiami dataran tinggi pegunungan di wilayah Bima tengah. Orang Donggo Timur terdiri dari orang Kuta, Teta, Sambori, Tarlawi, Kalodu, dan Kaboro. “Dalam perkembangannya, Dou Donggo Ele melakukan pembauran (berasimilasi) dengan Orang Mbojo,” jelas Ismail.
Informasi yang Keliru
Sejenak saya ingin membawa Anda pada medio 2002. Seorang teman sekolah saya di SMPN 1 Belo dengan nada mengejek mengatakan, “Jangan berteman dengan anak-anak Ncera. Nanti dikasih racun.”
Kalimat itu bernada candaan tetapi juga ejekan, betapa orang-orang yang masih sangat belia seperti kami harus menanggung stigma negatif sebagai penyimpan racun. Informasi lintas liur yang diawali dengan candaan itu kemudian menyebar dan membentuk penghukuman di kalangan warga Ncera: semua orang di sana menyimpan racun.
Apakah benar ada orang yang “menabung” racun di Ncera? Saya akan menanggapi pertanyaan ini dengan dua jawaban terpisah. Pertama, informasi keberadaan pemilik racun itu hanya kabar yang tersebar dari mulut ke mulut. Lalu diklaim sebagai fakta. Tak ada satu pun orang yang pernah menggali secara faktual dan dapat mengklaim telah membuktikan kebenaran informasi tersebut.
Di usia saya sekira lima sampai tujuh tahun, di Ncera masih ramai kebiasaan berbagi bubur manis (karedo maci) yang berbahan dasar beras putih dan santan kelapa. Beras dan santan dicampur serta dipanaskan selama berjam-jam di atas tungku. Kemudian diaduk rata hingga menjadi bubur. Lalu, setelah berbentuk bubur yang kental, dibagi-bagi ke dalam piring. Di atasnya ditaburi gula pasir. Selanjutnya, bubur itu dibagikan kepada anak-anak.
Seorang perempuan paruh baya di kampung kami dituding sebagai penyimpan racun. Saat saya masih belum masuk sekolah dasar, ia acap berbagi bubur kepada anak-anak seusia saya. Saya dan teman-teman lain tidak pernah keracunan selama diberikan karedo maci dari perempuan tersebut. Tetapi stigma terhadap wanita itu sudah terlanjur menyebar di masyarakat serta dijadikan “kebenaran”.
Kedua, terdapat fakta bahwa orang-orang meninggal dunia karena sebab yang sama: sebelum mangkat, mereka sakit-sakitan disebabkan perutnya mengembang laksana balon. Warga kemudian menghukumi penyakit tersebut muncul karena yang bersangkutan telah memakan racun.
Lalu orang-orang menarik benang merah yang begitu mudah dibantah dengan akal sehat. Begini dalihnya: ia sebelumnya makan di rumah penyimpan racun. Beberapa hari kemudian dia keracunan sehingga perutnya membesar. Padahal antara “keracunan” dan “perut membesar” adalah dua hal terpisah yang mungkin tidak bertalian dari segi sebab dan akibat.
Di dunia kedokteran kita mengenal asites. Dikutip dari dr. Merry Dame Cristy Pane di Alodokter, penyakit ini muncul karena penumpukan cairan di dalam rongga antara selaput yang melapisi dinding perut dan organ dalam tubuh. Rongga ini disebut rongga peritoneal. Penumpukan cairan di rongga peritoneal akan menyebabkan perut membesar.
Asites paling sering disebabkan oleh penyakit hati dan kurangnya protein (albumin). Albumin adalah salah satu jenis protein yang berfungsi untuk mengikat cairan. Saat tubuh kekurangan albumin atau hipoalbuminemia, maka cairan di dalam sel akan bocor ke jaringan sekitar, termasuk ke rongga peritoneal.
Organ di dalam perut terbungkus oleh kantong atau membran yang disebut peritoneum. Normalnya rongga peritoneal atau rongga di dalam peritoneum hanya berisi sedikit cairan. “Pada wanita, rongga peritoneal bisa berisi sekitar 20 ml cairan, tergantung pada siklus menstruasi yang dimilikinya,” jelas dr. Merry.
Sayangnya, penjelasan terhadap penyakit ini tidak pernah benar-benar sampai ke masyarakat. Orang-orang sudah terlanjur menyimpulkan “perut membesar” karena keracunan. Padahal, penyakit itu bisa jadi disebabkan gagal jantung, gangguan pankreas, iritasi pada peritoneum, atau penyakit pada indung telur (ovarium).
Tugas Kita
Literasi yang rendah beriring kelindan dengan sikap terburu-buru dalam menyimpulkan informasi. Di tengah masyarakat yang mayoritas belum memiliki kebiasaan membaca beragam sumber untuk dijadikan alat dalam mengambil kesimpulan, informasi yang salah bahkan hoaks acap menjadi makanan harian.
Di sinilah kaitan erat tugas media, tokoh masyarakat, penggerak lembaga pendidikan, aparat kepolisian, dan pemerintah untuk menyampaikan informasi yang benar kepada masyarakat. Tugas ini tidak cukup hanya dijalankan dalam satu atau dua tahun. Ini adalah tugas besar yang harus ditanamkan kepada anak-anak sejak usia belia hingga mereka benar-benar mampu membedakan informasi yang benar dan salah serta memiliki kemampuan untuk memilahnya.
Kesalahan dalam penyimpulan informasi tidak hanya membawa efek buruk dalam hubungan sosial atau relasi antar individu, tetapi juga dapat berakhir dengan pertumpahan darah. Kasus di Kawuwu pada Rabu (10/2/2021) lalu adalah bukti betapa kita telah disuguhkan contoh benderang tentang sikap terburu-buru karena mungkin disinformasi yang ujungnya harus dibayar dengan nyawa.
Pembakaran rumah Latif, Mahmud, dan pembunuhan Pakoh bisa jadi sebagai upaya balas dendam karena sebelumnya kerabat, saudara, atau orang-orang terdekat mereka meninggal karena diduga diracun, tetapi tidak ada satu pun hukum negara dan agama yang membenarkan mereka menggunakan cara-cara penghakiman terhadap terduga pelaku yang meracun Masrun, Taufik, dan Gofinda itu.
Jika pun benar Pakoh dan Mahmud menyimpan racun, langkah-langkah hukum mesti dijalankan. Dengan begitu, akan ada pembuktian di meja hijau dengan beragam data, sumber, dan bukti-bukti yang dapat divalidasi kebenarannya.
Kepolisian sebagai aparat negara seyogyanya mengambil tindakan tegas, mengenakan pelaku dengan tuntutan hukuman maksimal, serta hakim menjatuhkan hukuman yang membawa efek jera kepada para pelaku dan masyarakat agar tidak mengambil tindakan yang tak dibenarkan hukum negara dan agama. (*)
Penulis: Ahmad Yusuf Maestro