Bima, ntbnews.com – Program vaksinasi Covid-19 di Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), mendapat penerimaan dari sebagian masyarakat. Namun, tak sedikit pula dari mereka menolaknya dengan mentah-mentah, bahkan menuding program ini sebagai “usaha mencelakakan masyarakat”.
Hal ini tercermin dari sejumlah pernyataan yang dilontarkan beberapa orang warga Kabupaten Bima yang diwawancarai media ini. Akarnya, mereka tak mempercayai virus corona sehingga tidak menganggap penting program vaksinasi Covid-19.
Pernyataan demikian tergambar dari ucapan US (30), warga Desa Renda, Kecamatan Belo, Kabupaten Bima. Ia mengaku ragu dengan keamanan vaksin yang berfungsi untuk menciptakan kekebalan tubuh tersebut.
Dia pun meminta pemerintah memberikan vaksin Covid-19 yang aman kepada masyarakat Kabupaten Bima. “Kita butuh vaksinasi yang aman dan terpercaya,” tegasnya kepada ntbnews.com baru-baru ini.
US memang percaya bahwa penyakit akan selalu muncul di tengah-tengah masyarakat. Namun tidak demikian dengan pandemi Covid-19. Menurutnya, virus yang pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China tersebut kebenarannya masih diragukan berbagai pihak.
“Sehingga saya sebagai rakyat enggak percaya dengan virus ini karena sumber informasi soal virus ini kan banyak versinya,” ucap US.
Sementara itu, AB (45), warga Desa Runggu, Kecamatan Belo, mengaku curiga dengan penyuntikan vaksin tersebut. Ia menuding pemerintah dan pihak-pihak terkait. Menurutnya, penyuntikan vaksin Covid-19 ini akan membahayakan kesehatan masyarakat selama lima tahun ke depan.
“Saya takut ada yang manfaatkan untuk hal-hal yang negatif karena kan bisa aja lima tahun ke depan ini menimbulkan penyakit. Itu sebabnya saya enggak percaya dengan Covid-19 ini,” ucap dia.
Berbeda dengan keduanya, FTM (30), mempercayai virus mematikan tersebut. Namun dia enggan mengikuti program vaksinasi Covid-19. Ia berpendapat, dengan menjaga imun dan menaati protokol kesehatan, maka itu sudah cukup sebagai bekal agar terhindar dari virus tersebut. “Untuk jaga imun tubuh, kita cukup taati protokol kesehatan,” tegasnya.
Persentase Vaksinasi Terendah
Berdasarkan data per 8 Januari 2022, Kabupaten Bima menjadi daerah dengan tingkat vaksinasi terendah di NTB. Contohnya vaksinasi Covid-19 dosis pertama. Persentasenya baru mencapai 280.809 orang atau 72,59 persen dari target Pemkab Bima.
Jumlah ini terpaut jauh dengan Kota Mataram yang menempati urutan pertama dalam pencapaian target vaksinasi Covid-19. Di Ibu Kota Provinsi NTB tersebut, masyarakat yang telah divaksin dosis pertama mencapai 327.870 orang atau 103 persen dari target yang direncanakan pemerintah daerah.
Sementara vaksinasi dosis kedua di Kabupaten Bima baru mencapai 85.526 orang atau 22,11 persen dari target pemerintah. Pencapaian ini juga berbanding jauh dengan Kota Mataram yang telah melakukan vaksinasi dosis kedua sebanyak 249.327 orang atau 79 persen.
Sedangkan vaksin booster untuk Tenaga Kesehatan (Nakes) di Kabupaten Bima mencapai 980 orang atau 53,64 persen. Pencapaian ini pun sangat rendah dibandingkan Kota Mataram yang telah menyuntikkan vaksin booster untuk Nakes sebanyak 6.691 orang atau 94,87 persen.
Di antara klasifikasi tersebut, vaksinasi Covid-19 dosis pertama untuk anak adalah yang paling rendah di Kabupaten Bima. Berdasarkan data yang dihimpun media ini per 8 Januari 2022, vaksinasi dosis pertama untuk anak hanya 89 orang atau 0,17 persen. Sedangkan Kota Mataram telah melakukan vaksinasi dosis pertama terhadap 9.831 anak atau 21,07 persen.
Menanggapi hal ini, Bupati Bima, Indah Dhamayanti Putri (IDP), berdalih bahwa tingkat vaksinasi Covid-19 yang rendah tersebut disebabkan ketersediaan vaksin yang sangat minim. Apalagi vaksin untuk dosis kedua ini pihaknya tak lagi menggunakan vaksin Sinovac.
“Nah, ini yang sedang kita upayakan adanya dropping tambahan untuk mengejar angka 50 persen. Tetapi ini tetap on the track. Tetap berjalan untuk menuju angka 50 persen,” terangnya.
IDP mengungkapkan, vaksinasi dosis pertama di seluruh kabupaten/kota di NTB, termasuk Kabupaten Bima, telah melebihi 70 persen. Sedangkan dosis kedua, Pemkab Bima tengah mengejar target pencapaian vaksinasi Covid-19 sebanyak 50 persen.
Politisi Partai Golongan Karya (Golkar) ini mengingatkan agar semua pihak tidak saling menyalahkan terkait vaksinasi Covid-19 di Kabupaten Bima yang belum sesuai target tersebut.
“Ini upaya kita bersama, termasuk media dan semua mengajak masyarakat dan mengingatkan akan pentingnya melengkapi dosis kedua ini,” tuturnya.
Sejauh ini, IDP mengaku bahwa Pemkab Bima hanya bekerja sama dengan TNI-Polri dan masyarakat Kabupaten Bima untuk menjalankan program vaksinasi Covid-19.
Kata dia, usaha mendorong dan membangun kepercayaan masyarakat Kabupaten Bima agar mau mengikuti program vaksinasi adalah tantangan tersendiri bagi Pemkab Bima.
Ia pun berharap dukungan dari berbagai pihak sehingga program vaksinasi tersebut dapat berjalan sesuai target pemerintah daerah. “Kami butuh dukungan dari semua pihak, termasuk media,” tutupnya.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bima, Fahrurahman menambahkan, target vaksinasi Covid-19 yang masih rendah tersebut disebabkan sebagian besar masyarakat mempercayai informasi hoaks terkait vaksin yang beredar di masyarakat. “Sehingga menyebabkan masyarakat enggan untuk vaksinasi,” ungkapnya.
Musim tanam di ladang saat ini juga menjadi biang rendahnya persentase vaksinasi di daerah tersebut. Pasalnya, banyak warga Kabupaten Bima yang menetap di ladang. Sebagian di antara mereka juga bekerja di luar daerah seperti Dompu dan Sumbawa. Hal ini pun menyebabkan target vaksinasi di Dana Mambari masih rendah.
Fahrurahman mengungkapkan, warga juga merasa cukup dengan vaksinasi dosis pertama, sehingga mengakibatkan vaksinasi Covid-19 dosis kedua di Kabupaten Bima masih sangat rendah dibandingkan daerah-daerah lain di NTB. “Sekarang ini kami selalu mengupayakan agar mencapai target,” ujarnya.
Dukungan lintas sektor seperti kepala desa dan lembaga-lembaga lain yang minim pun menjadi biang kerok rendahnya tingkat vaksinasi di Kabupaten Bima. Usaha pemerintah di tingkat desa dinilainya kurang maksimal dalam menggerakkan masyarakat agar mengikuti program vaksinasi Covid-19.
Di lain sisi, Pemkab Bima belum menyusun dan menetapkan aturan yang mewajibkan seluruh masyarakat daerah ini mengikuti program yang bertujuan menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity) tersebut.
Senada dengan IDP, Fahrurahman juga menegaskan, distribusi vaksin Covid-19 yang sangat minim ke Kabupaten Bima di awal pelaksanaan program tersebut menjadi penyebab tingkat vaksinasi di kabupaten ini paling rendah dibandingkan daerah-daerah lain di NTB.
Saat itu, kata dia, tak sedikit warga yang ditolak petugas untuk divaksinasi karena Kabupaten Bima kehabisan stok vaksin. Hal ini berbeda dengan kabupaten/kota di Pulau Lombok yang menurutnya memiliki “stok vaksin melimpah”.
Dia pun mendorong seluruh instansi di lingkungan Pemkab Bima, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga sosial, dan media massa agar bahu-membahu mengajak serta mengingatkan masyarakat sehingga mereka bersedia mengikuti program vaksinasi Covid-19.
Dinkes Kabupaten Bima beserta seluruh Puskesmas di setiap kecamatan juga melakukan sosialisasi terkait vaksinasi Covid-19. Namun, kata dia, usaha pemerintah daerah beserta jajarannya tidak akan maksimal tanpa bantuan masyarakat dalam memerangi hoaks yang beredar dan berkembang di publik Kabupaten Bima.
“Sekali lagi kami berharap agar semua pihak dapat bekerja sama dan saling bergandengan tangan untuk menyukseskan program vaksinasi ini,” tutupnya.
Desak Pemkab Perhatikan Kesejahteraan Nakes
Vaksinasi Covid-19 masih sangat rendah di Kabupaten Bima menuai tanggapan dari berbagi pihak, salah satunya dari Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Bima, Ilham Yusuf.
Dia mendorong Pemkab Bima melalui Dinkes Kabupaten Bima lebih giat dalam meningkatkan persentase vaksinasi di kabupaten yang berlokasi di Pulau Sumbawa tersebut.
“Teman-teman Dinkes dengan seluruh komponen, baik dengan polisi, aparat desa atau kelurahan atau pejabat setempat, agar melakukan sosialisasi terkait vaksinasi Covid-19 ini,” imbuhnya.
Ia juga berharap masyarakat Kabupaten Bima bersedia mengikuti program vaksinasi tersebut. Hal ini bertujuan mencegah penularan Covid-19. Dalam rangka menyadarkan masyarakat terkait pentingnya vaksinasi, Ilham mendorong tim dari Dinkes dan lembaga-lembaga terkait di Kabupaten Bima melakukan edukasi secara masif sehingga setiap orang yang menjadi target vaksinasi mau mengikuti program tersebut.
Peningkatan persentase vaksinasi, lanjut dia, sejatinya dapat dilakukan dengan memperhatikan kesejahteraan para Nakes di Kabupaten Bima, salah satunya dengan memberikan insentif yang layak untuk seluruh tim medis yang bertugas melakukan vaksinasi Covid-19.
Ilham mengingatkan Pemkab Bima agar menggunakan pendekatan tersebut untuk meningkatkan persentase vaksinasi di Kabupaten Bima. Kata dia, vaksinasi Covid-19 yang rendah bisa terjadi disebabkan Pemkab Bima belum memperhatikan kesejahteraan para Nakes tersebut. “Jangan sampai mereka bekerja kurang honornya,” tegas dia.
Ia mengungkapkan, pihaknya telah mengusulkan secara formal kepada Pemda Bima agar honor daerah yang bertugas sebagai Nakes ditingkatkan menjadi Tenaga Penunjang Umum (TPU).
Meski persentase vaksinasi di Kabupaten Bima masih rendah, ia mengusulkan kepada Pemkab Bima agar Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja sebagai Nakes juga diberikan penghargaan dan apresiasi atas kinerja mereka dalam menjalankan program vaksinasi.
Dengan begitu, Ilham berharap para Nakes di Kabupaten Bima meningkatkan kinerja mereka dalam menjalankan program vaksinasi Covid-19. “Lebih merakyat lagi ke masyarakat supaya vaksin ini betul-betul merakyat sampai ke tingkat Rukun Tetangga (RT). Betul-betul dipantau warganya yang belum vaksin,” sarannya.
Literasi Masyarakat Masih Rendah
Pengamat kesehatan Kabupaten Bima, Ayatullah mengatakan, penyebaran informasi terkait Covid-19, baik dari masyarakat maupun pemerintah daerah, didominasi informasi terkait kasus kematian akibat Covid-19 dibandingkan pembentukan imun karena vaksinasi.
Informasi-informasi tak benar yang menyebutkan kematian disebabkan vaksinasi Covid-19, lanjut dia, juga lebih banyak dikonsumsi masyarakat dibandingkan informasi positif di balik usaha pemerintah dalam memerangi pandemi Covid-19.
Ayatullah menyebutkan bahwa selama ini pemberitaan yang disuguhkan media massa juga didominasi peningkatan kasus Covid-19 di Kabupaten Bima ketimbang testimoni tentang kesembuhan orang-orang yang terinfeksi virus corona.
Ia pun membandingkan hal ini dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang kerap memperlihatkan data kesembuhan dan pencegahan virus lewat program vaksinasi Covid-19.
Contohnya, dalam dua periode observasi pada Januari-Maret dan April-Juni 2021 terlihat bahwa proporsi kasus meninggal karena Covid-19 pada Nakes yang belum divaksin (0,03 persen) tidak berbeda dengan Nakes yang telah mendapat vaksin dosis pertama (0,03 persen).
“Sedangkan vaksinasi dosis lengkap melindungi tenaga kesehatan dari risiko kematian dengan rasio 0,001 persen pada periode Januari-Maret 2021 dan 0,01 persen pada periode April-Juni 2021,” bebernya.
Kata dia, data-data tersebut memperlihatkan bahwa vaksinasi Covid-19 dosis lengkap dapat diandalkan untuk melindungi Nakes dari risiko kematian akibat terinfeksi virus corona.
Efektivitas vaksin Covid-19 dosis lengkap dalam mencegah infeksi virus tersebut pada Januari-Maret 2021 sebesar 84 persen atau hanya 2 orang dari 10 orang Nakes yang telah divaksinasi lengkap berpeluang terinfeksi Covid-19.
Sementara itu, lanjut dia, hingga kini Pemkab Bima sangat minim memublikasi data kesembuhan setelah pemerintah daerah menjalankan vaksinasi secara masif di Kabupaten Bima. Hal ini berbeda dengan para pegiat media sosial yang menurut Ayutullah lebih cepat menyebarkan informasi terkait Covid-19 dibandingkan Pemkab Bima.
Kata dia, Pemkab Bima juga “tak begitu memahami” kebiasaan masyarakat Kabupaten Bima yang lebih banyak menggunakan Facebook dibandingkan media sosial lain. Ia membandingkannya dengan Pemprov DKI Jakarta yang mampu memetakan kebiasaan masyarakat menggunakan media sosial. “Masyarakatnya lebih banyak di Instagram sehingga informasi selalu dimunculkan di situ,” ungkapnya.
Informasi-informasi yang tidak akurat terkait vaksin yang disebarkan di media sosial, sebut dia, membentuk pemahaman yang tidak benar, sehingga dijadikan alat oleh sebagian masyarakat untuk menolak program vaksinasi.
Padahal, menurut Ayatullah, penggunaan vaksin untuk menciptakan kekebalan tubuh bukanlah hal baru di masyarakat Indonesia. “Vaksin bukan hanya saat ini diberlakukan, tetapi sudah lama digunakan untuk melawan dan mencegah terjadinya penyakit,” terangnya.
Ia menilai bahwa literasi sebagian besar masyarakat Kabupaten Bima masih sangat rendah. Musababnya bisa terjadi karena pembentukan budaya membaca dan memilah informasi yang berkualitas sangat minim lewat program pemerintah daerah. Akibatnya, mereka tak jeli dalam memilah informasi terkait Covid-19.
Pemkab Bima, lanjut dia, sejatinya telah melakukan langkah-langkah positif untuk meningkatkan persentase vaksinasi di Kabupaten Bima. Namun, informasi yang tidak benar terkait vaksin yang terlanjur dikonsumsi masyarakat membentuk ketidakpercayaan mereka terhadap vaksin Covid-19.
Ia menegaskan, Pemkab Bima tidak akan mampu melakukan perbaikan-perbaikan di masyarakat, khususnya membangun kesadaran mereka agar mengikuti program vaksinasi, sebelum menyadarkan masyarakat untuk selalu membaca dan memilah informasi sehingga dapat membedakan kebenaran dan kesalahan informasi yang tersebar di media sosial maupun platform lain.
Usaha membangun dan meningkatkan literasi di masyarakat Kabupaten Bima, saran Ayatullah, bisa dimulai di lingkungan keluarga. Langkah ini diharapkan secara perlahan membentuk kemandirian setiap warga agar dapat memilah informasi yang benar dan salah. Kata dia, keluarga juga bisa menjadi penggerak dan pembentuk masyarakat yang cerdas dan berkarakter.
Berbagai problem tersebut mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah dari tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten sangat rendah. Pengaruh pemerintah daerah pun tidak begitu besar. “Pemerintah juga tidak memanfaatkan secara maksimal peran Polri dan TNI untuk membentuk karakter masyarakat,” tutupnya.
Alasan Warga Tak Mau Divaksin
Kasus penolakan vaksinasi di Kabupaten Bima barangkali hanya sebagian kecil dari fenomena gunung es di Indonesia. Dilansir dari dw.com, survei yang dilakukan oleh peneliti dari Johns Hopkins Center for Communication Programs (JHCCP) menemukan masih ada 34 persen warga Indonesia yang tidak ingin mendapat vaksin Covid-19. Peneliti menekankan pentingnya sosialisasi mengenai keamanan vaksin dan bahaya dari Covid-19 untuk mengatasi masalah ini.
Douglas Storey dari JHCCP menjelaskan survei sudah dilakukan pada 14 juta responden sejak bulan Mei 2021 lewat media sosial Facebook. Survei masih berjalan dengan data terus diperbarui setiap dua minggu.
Hingga bulan September tahun lalu, hasilnya ditemukan kelompok umur 55 tahun ke atas yang paling banyak menolak vaksin Covid-19. Ada 40 persen responden dari kelompok usia tersebut yang mengaku tidak mau divaksinasi.
Douglas mengatakan, setidaknya ada tiga alasan yang paling banyak diutarakan responden. Alasan yang utama yaitu masih adanya keraguan terhadap keamanan vaksin.
Berikutnya ada yang menolak karena ingin menunggu, khawatir terhadap biaya, alasan agama, dan merasa yakin tidak butuh vaksin.
“Kira-kira 49 persen beralasan cemas tentang efek samping. Itu garis tren yang di atas sekali. Sebanyak 37 persen ingin menunggu, melihat apakah vaksin itu aman,” papar Douglas dalam diskusi yang disiarkan LaporCovid-19 pada 13 Oktober 2021.
“Penyampaian pesan perlu difokuskan pada keamanan vaksin yang telah terbukti. Dan efek samping akibat Covid dibandingkan dengan efek samping vaksin yang lebih parah,” pungkasnya. (*)
Penulis: Arif Sofyandi & Nur Hasanah