AKTIVITAS galian C di Kabupaten Bima kerap mendapat kecaman, kritikan, bahkan evaluasi dari berbagai elemen. Hal ini beriringan dengan kemunculannya yang acap menimbulkan kontroversi: sebagian beroperasi di lahan warga; mengambil tanah, batu, atau pasir di lokasi yang rawan menimbulkan banjir; serta kontribusinya yang minim terhadap pembangunan daerah.
Galian C ini tersebar di berbagai kecamatan di Dana Mbari—julukan untuk Kabupaten Bima. Teranyar, di Desa Donggo, Kecamatan Madapangga; Desa Panda, Kecamatan Palibelo; Desa Risa dan Desa Keli, Kecamatan Woha; dan Desa Ncera, Kecamatan Belo.
Keberadaannya semakin menimbulkan keresahan publik seiring merebaknya galian C yang diduga ilegal. Minimnya keterbukaan pemerintah terhadap data galian ini kian memperkuat sentimen publik yang sudah telanjur menganggap galian tersebut membawa efek negatif. Sentimen itu juga semakin kuat kala galian C tak menambah pundi-pundi untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Saban tahun, kritik terhadap galian C acap dilontarkan para pemuda di Desa Ncera, Kecamatan Belo, Kabupaten Bima. Aktivitas penggalian di Daerah Aliran Sungai (DAS) telah membawa dampak buruk bagi tanah warga di bantaran sungai yang membentang dari ujung timur hingga barat desa tersebut.
Ahmad Fadhillah, salah seorang pemuda dari desa itu, mengatakan, galian C hanya menguntungkan sejumlah pihak, tetapi masyarakat acap menanggung efek negatifnya. Ratusan hektare lahan persawahan telah terbawa arus banjir seiring dangkalnya sungai karena aktivitas galian C. “Aliran sungai itu semakin ke sini semakin berubah,” kata Fadhil.
Ia menyebutkan, beberapa tahun yang lalu warga Ncera tak mengalami kekeringan yang parah. Seiring munculnya galian C, perlahan warga kesulitan mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta untuk mengairi tanaman mereka di sawah.
Dulu, kata Fadhil, Ncera memiliki air melimpah sepanjang tahun karena batu-batu besar masih bertengger di DAS dan sepanjang sungai dari Embun Ncera hingga ujung barat desa tersebut. Kehadiran galian C membuat desa yang berlokasi di bagian timur Kecamatan Belo itu mengalami kebanjiran di musim hujan dan kekeringan sangat parah di musim kemarau.
Hal senada disampaikan tokoh masyarakat Ncera, Junaidin. Sebagai desa yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani, keberadaan galian C telah menimbulkan kerugian besar bagi para petani karena sawah-sawah warga rusak disebabkan banjir yang datang saban tahun.
“Kalau kita melihat dampak dari galian C, banyak lahan warga yang dibawa arus karena pengambilan pasir dan batu, sehingga keberadaan galian C itu tidak produktif,” tegas Junaidin.
Legalitas perusahaan galian C di Ncera diduga sudah berakhir. Sejumlah pemuda pun mendesak pemerintah desa agar tak memberikan rekomendasi untuk perpanjangan izin perusahaan tersebut.
“Secara pribadi saya menolak keberadaan galian C. Apalagi sumbangsih dan pengelolaannya tidak ada sama sekali manfaatnya untuk masyarakat. Justru itu membawa kerugian,” tegasnya.
Sasar Wisata Alam
Aktivitas galian C di Ncera tak hanya dilakukan di sepanjang sungai. Tetapi juga di areal yang berdekatan dengan wisata alam Bombo Ncera. Belum lama ini, penggalian pernah dilakukan di areal Embun Ncera, yang berdekatan dengan wisata alam tersebut.
Seorang pemuda Ncera, FDL (24) mengatakan, aktivitas pertambangan itu berdalih memperdalam Embun Ncera yang kian dangkal karena tertutupi sedimentasi. Namun kenyataannya, sejumlah truk hilir mudik mengangkut pasir yang diambil dari dam yang dikelilingi bebukitan itu.
Keberanian para penggali pasir menyasar areal yang bersinggungan dengan wisata alam tak terlepas dari rendahnya ketegasan pemerintah desa. FDL menilai pemerintah melakukan pembiaran terhadap aktivitas penggalian tersebut.
Ia tak menolak keberadaan galian C. FDL hanya mendesak pemerintah desa mengatur lokasinya agar tak membawa akibat negatif terhadap sawah-sawah para petani di Ncera.
“Perjelas wilayah kerjanya biar tidak tumpang-tindih. Harus ada batasan lokasi galian C agar tidak merusak sawah-sawah warga,” imbuh dia.
Sementara itu, Kepala Desa Ncera, Idris, yang dimintai keterangan terkait galian C yang beroperasi di desa itu tak menanggapi permintaan wawancara dari media ini.
Masalah Serupa
Di jalur dua Desa Panda, Kecamatan Palibelo, mobil-mobil besar hilir mudik mengangkut batu dan tanah. Sebuah bukit yang sebelumnya berdiri tegap di jalur tersebut seketika rata setelah tanah dan batu diambil menggunakan ekskavator.
Tokoh pemuda di desa tersebut, Fajar, menduga galian C yang beroperasi di jalur dua itu berstatus ilegal. Ia pun meminta sejumlah pihak segera mengambil tindakan serius dan tegas.
Dia menambahkan, penggunaan alat berat dalam penggalian tersebut akan menghasilkan emisi gas buang yang mengakibatkan peningkatan jumlah partikel debu, terutama di musim kemarau.
“Sehingga dalam kurun waktu yang lama akan terjadi perubahan kualitas lingkungan, terutama kualitas udara, baik di lokasi galian maupun di sekitarnya,” ungkap Fajar.
Selain itu, penggalian ini bisa menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan kesehatan bagi masyarakat. Pasalnya, galian C berpotensi mengakibatkan longsor, sehingga sewaktu-waktu bisa menyasar lahan dan pemukiman warga.
Kepala Desa Panda, Muhammad Said membantah galian C di desa tersebut berstatus ilegal. Penggalian itu atas rekomendasi desa, kemudian pemerintah daerah mengeluarkan izinnya.
Hasil galian C dari tiga titik di Panda digunakan untuk pembangunan jalan dua jalur, gor, dan perpustakaan. Karena itu, kata Said, warga tak begitu mempersoalkan keberadaan galian tersebut.
Dia mengatakan, pengambilan tanah dan batu itu bertujuan untuk kemajuan Panda. “(Hasilnya) dinikmati oleh warga di Desa Panda,” ujarnya.
Ia menegaskan, pihaknya tidak pernah meminta bagian (fee) dari pemberian rekomendasi untuk izin galian C di Panda. Begitupun dengan rekomendasi untuk perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah Panda.
“Hanya saja ada semacam perjanjian yang kita lakukan untuk kebutuhan rakyat, seperti permintaan karyawan dan lainnya, maka diorbitkanlah orang di Desa Panda,” katanya.
Efek Negatif
Pengamat lingkungan dari Bima Corruption Watch (BCW), Usrah menjelaskan, galian C menimbulkan dampak serius bagi Kabupaten Bima, di antaranya krisis air bersih, alih fungsi lahan yang tidak produktif serta sedimentasi sungai.
“Salah satu contoh yang paling dirasakan adalah terjadinya krisis air yang hampir tiap tahun di Kabupaten Bima,” terangnya, Senin (31/5/2021).
Dia menambahkan, galian C berkontribusi besar terhadap kerusakan alam. Pasalnya, aktivitas galian tersebut menimbulkan perubahan rona lingkungan, pencemaran badan perairan, tanah dan udara, serta abrasi yang tidak tertanggulangi.
“Seperti terjadi polusi udara berupa debu dan risiko adanya longsor karena tebing tidak berteras,” beber Usrah.
Akibat lain, galian C menimbulkan hilangnya sebagian pemandangan yang indah dan sejuk di lereng gunung, serta lahan yang tidak teratur karena lubang-lubang bekas galian.
“Kenyamanan masyarakat pengguna jalan berkurang karena jalan rusak dan berdebu,” ungkapnya.
Usrah menegaskan, pemerintah daerah harus bertanggung jawab dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Pemegang izin penggalian pun seyogyanya memiliki tanggung jawab untuk menjaga lingkungan.
“Mereka juga harus melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap seluruh galian C di Kabupaten Bima karena masih banyak galian C ilegal yang beroperasi,” imbuh Usrah.
Kritik dan Solusi
Wakil Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Bima, Firdaus mengungkapkan, banyak galian C di daerah tersebut beroperasi tanpa sepengetahuan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bima.
Ia menyayangkan hal itu. Meski izin pertambangan dan galian C telah diambil alih provinsi, mestinya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima melalui DLH mengetahui secara detail seluruh lokasi galian C di daerah tersebut.
“Setidaknya pemerintah daerah dalam hal ini kan harus tau aktivitas-aktivitas yang menyangkut kewenangan DLH kabupaten, terutama persoalan galian C,” ujarnya.
“Nah, saya malah bertanya-tanya, jangan-jangan DLH kabupaten tidak bekerja? Masa enggak tau kan? Setidaknya ada garis koordinasi. Misalnya mereka melihat di lapangan ada aktivitas galian C. Setidaknya mereka membangun komunikasi,” imbuh Firdaus.
Kata dia, keluhan terhadap galian C di Kabupaten Bima sudah banyak disampaikan masyarakat kepada pemerintah daerah. Tak hanya di Ncera dan Panda. Tetapi juga muncul keluhan dari warga Risa dan Keli.
Karena itu, tindak lanjut dari DLH sangat diperlukan. Ketidaktahuan dinas tersebut terhadap galian C juga disesali Firdaus. Pasalnya, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) setiap galian C yang beroperasi di berbagai kecamatan di Kabupaten Bima harus melibatkan Pemkab Bima.
“Kemarin kami minta datanya. Tapi sampai sekarang belum dibawa. Kami minta aktivitas galian C di Bima di mana saja. Rencananya kan kita mau sidak,” ungkapnya.
Selain itu, Komisi III DPRD Kabupaten Bima juga meminta alamat serta nama-nama perusahaan yang mengelola galian C. Namun data itu tak kunjung diberikan DLH kepada DPRD.
Langkah selanjutnya, pihaknya akan turun ke lokasi galian C. Hanya saja, DPRD akan terlebih dahulu menunggu laporan resmi masyarakat. Laporan ini sebagai dasar untuk mengambil tindakan.
“Walaupun ada dari Tambora, Keli, Risa yang sudah masuk laporan di saya. Tapi saya minta surat secara resmi. Supaya kami bisa turun secara legitimate. Nanti kami akan mengumpulkan data. Kemudian rapat koordinasi kembali dengan DLH kabupaten,” ujarnya.
Firdaus berpendapat, pemberian izin dan pengawasan galian C seharusnya dikembalikan kepada kabupaten/kota. Bukan diserahkan ke provinsi. Pasalnya, kabupaten/kota merasakan dampak langsung aktivitas galian C.
“Kita tidak dapat apa-apa. Kan rugi kita. Terus masa iya ketika terjadi bencana alam, kemudian harus mengganggu APBD kita yang tidak tahu-menahu? Rugilah kalau kita mengelola daerah kalau masih seperti itu. Sedangkan kita masih banyak kebutuhan untuk membangun rakyat,” ucapnya.
Firdaus mengaku akan memanggil pihak-pihak terkait untuk membahas galian C di Kabupaten Bima. Pihaknya telah mengantongi sejumlah nama perusahaan yang mengelola galian C di daerah tersebut.
Jika ke depan ditemukan terdapat regulasi yang dilanggar dalam aktivitas penggalian pasir, tanah, dan batu di Kabupaten Bima, maka DPRD akan mengeluarkan rekomendasi untuk menghentikan aktivitas galian C.
Ia berharap semua pihak tak mementingkan kepentingan sesaat dalam menggali, mengangkut, dan menjual tanah, pasir, dan batu di daerah tersebut. Apalagi keuntungan yang didapatkan jauh lebih kecil dibandingkan dampak buruk yang ditimbulkannya.
Dia pun mengaku akan mengevaluasi pertambangan tersebut. “Karena ini adalah perusakan alam besar-besaran. Apalagi kita baru kena banjir. Di sini butuh kesadaran semua pihak,” tutup Firdaus. (*)
Penulis: Arif Sofyandi, Nur Hasanah, Ikbal & Akbar
Editor: Ufqil Mubin