SEORANG perempuan berjilbab duduk di kursi yang terbuat dari plastik bercorak biru tua. Di belakangnya terdapat rumah panggung khas Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Wanita berkulit hitam manis itu mengenakan baju gamis dan hijab berwarna cokelat. Di jari tengah tangan kirinya terdapat cincin emas.
Sambil tertawa kecil ia memperkenalkan diri. Perempuan bermata sipit itu berinisial JN. Usianya 25 tahun. Tinggal di Dusun Lasinta, Desa Sangiang, Kecamatan Wera. Sarjana pendidikan ini pernah berprofesi sebagai guru sukarela di SDN Inpres 2 yang berlokasi di desa tersebut.
Profesi itu dilakoninya sejak 2016. JN mendapatkan gaji setiap tiga bulan sekali dari sekolah. Nilainya tak menentu. Dari Rp 300 ribu hingga Rp 900 ribu per triwulan. Sebagaimana sekolah pada umumnya, gaji yang diterima guru sukarela dan honorer berasal dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Pada 18 Januari 2021 pukul 08.00 Wita, AR, selaku kepala SDN Inpres 2 Desa Sangiang memanggil JN bersama rekannya, TK, yang juga mengajar di sekolah tersebut. Pimpinan mereka di sekolah itu menyatakan keduanya diberhentikan dari institusi pendidikan tingkat dasar tersebut.
Musababnya, sang kepala sekolah mengaku kecewa dengan JN dan TK karena orang tua dan saudara-saudara mereka tidak mendukung pasangan calon (paslon) nomor urut 3, Indah Dhamayanti Putri-Dahlan H. M. Noor (IDP-Dahlan). Pasalnya, dalam Pilkada Kabupaten Bima 2020, AR menyokong petahana tersebut.
“Beliau katakan bahwa kami berdua diberhentikan sebagai guru sukarela. Saat itu kami sempat protes dan saya menangis,” ungkap JN.
Sebelumnya, AR pernah mengingatkan para guru di SDN Inpres 2 Desa Sangiang untuk memilih IDP-Dahlan di Pilkada Kabupaten Bima. JN pun menjalankan instruksi tersebut.
Pada 9 Desember 2020, JN bersama guru-guru lainnya diwajibkan membuat dan mengirim foto kepada AR sebagai bukti bahwa mereka telah mencoblos paslon yang diusung Partai Golkar, PPP, PKB, PBB, Gerindra, dan Partai Demokrat itu.
Ia pun mengaku telah aktif mendukung, mencoblos dan mengirim foto bukti pencoblosan nomor urut 3. “Tetapi anehnya tetap diberhentikan pula sebagai guru sukarela,” jelas JN.
TK dalam kesaksiannya juga mengaku mengalami hal yang sama seperti JN. Pada Juni 2020, perempuan yang berusia 27 tahun itu pernah dipanggil oleh AR di halaman SDN Inpres 2 Desa Sangiang. Dia diminta mengarahkan keluarganya memilih IDP-Dahlan.
“Katanya hal itu menyangkut keberlanjutan nasib saya sebagai guru sukarela,” ungkap perempuan yang sudah mengajar di SDN Inpres 2 Desa Sangiang sejak 2017 tersebut.
Belakangan, menurut pengakuan TK, AR kecewa dengan orang tua dan saudara-saudara perempuan tersebut karena mereka tidak mendukung IDP-Dahlan.
Kata dia, keputusan pemecatannya pun tak terlepas dari campur tangan tim sukses IDP-Dahlan. “Beliau selalu ditekan oleh tim sukses paslon nomor urut 3 agar memberhentikan saya,” jelas TK.
Media ini telah berusaha menghubungi AR untuk dimintai keterangan dan tanggapan terkait pemecatan dua guru tersebut. Namun beberapa kali kami hubungi, nomor teleponnya tak aktif.
Kami juga berupaya meminta Kepala Desa Sangiang, Arasid H. Imran, agar menghubungkan media ini dengan AR. Selain itu, jurnalis ntbnews.com meminta keterangan terkait pemecatan dua orang guru tersebut.
Rasid membenarkan bahwa terjadi pemberhentian dua guru di SDN Inpres 2 Desa Sangiang. Namun sejauh ini ia tidak pernah mendapatkan laporan resmi dari kedua belah pihak.
Saat dikonfirmasi kebenaran informasi bahwa keduanya dipecat karena orang tua dan saudara-saudara mereka tak memilih IDP-Dahlan, ia menjawabnya singkat.
“Dengar-dengar kabar sih begitu. Tapi enggak tau kebenarannya. Saya enggak nanya lebih lanjut soal itu. Soalnya enggak ada laporan resmi,” tutup Rasid.
Dalil Tim Syafru-Ady
Pemecatan para guru karena alasan tak memilih IDP-Dahlan menjadi salah satu dalil tim hukum pasangan calon nomor urut 2, Syafruddin H. M. Nur-Ady Mahyudi (Syafru-Ady). Hal ini disampaikan tim hukum paslon tersebut dalam sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Pilkada Kabupaten Bima di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (27/1/2021) lalu.
Kuasa hukum Syafru-Ady, Arifin mengungkapkan, dua orang guru yang dipecat di SDN Inpres 2 Desa Sangiang tersebut hanya sampel dari ratusan guru yang sengaja diarahkan dan dimobilisasi untuk memilih pasangan IDP-Dahlan.
“Tidak hanya terjadi di Wera. Ini terjadi di setiap kecamatan. Tetapi istilahnya jarang yang mengadukan permasalahannya karena terkait dengan keselamatannya. Jadi, banyak yang diam saja,” jelas Arifin kepada ntbnews.com, Kamis (28/1/2021).
Pemecatan para guru itu terjadi sebelum 9 Desember 2020. Ada pula yang dipecat setelah hari pencoblosan tersebut. Jauh sebelum itu, guru-guru sudah diarahkan oleh para kepala sekolah dan pihak dinas terkait untuk memilih IDP-Dahlan.
Selain mengarahkan, ada juga dari mereka yang secara terang-terangan mengancam guru-guru akan dipecat jika tidak memilih petahana.
“Setelah Pilkada, akhirnya kejadiannya benar. Mereka dipecat. Ada puluhan jumlahnya. Ini hanya dua yang kita dapatkan bukti dan memberikan kesaksian. Kalau yang lain itu tidak ada alat buktinya,” ungkap Arifin.
Ia menyayangkan kasus pemecatan para guru karena perbedaan pilihan di Pilkada Kabupaten Bima. Karena sejatinya setiap pemilih memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya.
Arifin menjelaskan, paslon incumbent juga telah mengerahkan dan memerintahkan para pejabat di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk mengarahkan bawahan serta keluarga mereka agar memilih IDP-Dahlan.
“Jadi, yang tidak ikuti arahan itu akan dilaporkan nama-nama mereka. Dijadikan target. Banyak juga di sana. Cuma tidak ada yang berani memberikan kesaksian,” ujarnya.
Bila ada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memilih pasangan Syafru-Ady, lanjut Arifin, maka ancamannya akan dipindahkan ke pelosok Kabupaten Bima seperti Kecamatan Sanggar dan Kecamatan Tambora.
Kata dia, terdapat tim khusus petahana yang membuat data ASN yang terbukti tidak memilih IDP-Dahlan. Kemudian mereka dilaporkan ke dinas-dinas yang membawahi abdi negara tersebut.
Akibatnya, mereka yang berbeda pilihan politik itu dipindah di wilayah terpencil selama bertahun-tahun. “Ada yang lima tahun atau enam tahun. Kan kasihan,” sesalnya.
Arifin menyebutkan, saat ini pun sudah ada proses pemindahan ASN yang tak memilih IDP-Dahlan. Momentum “kemenangan sementara” petahana itu dimanfaatkan untuk “memukul” ASN yang berbeda pilihan di Pilkada Kabupaten Bima.
“Memang ada ASN yang terang-terangan memilih nomor 2. Mereka butuh perubahan. Walaupun akibatnya dipindah. Akhirnya sekarang risikonya mereka terima,” ucap dia.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Bima, M. Taufik, mengaku belum mengetahui adanya ASN yang dipindah karena perbedaan pilihan di Pilkada tersebut. Ia meminta media ini menanyakannya kepada kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) setempat.
Terpisah, Kepala BKD Kabupaten Bima, Agus Salim, juga mengaku tidak tahu-menahu terkait kasus tersebut. Dia justru melontarkan pertanyaan balik kepada awak media ini terkait sumber informasi tersebut. “Sampai hari ini belum ada satu pun pegawai yang kami pindah,” tegas Agus.
Bantahan Tim IDP-Dahlan
Tim Pemenangan Paslon IDP-Dahlan, Khairuddin Juraid, merespons pernyataan Arifin. Ia mempertanyakan campur tangan langsung pasangan tersebut dalam proses pemecatan dua guru di Desa Sangiang itu.
“Bupati apa bukan? Ada surat dari bupati apa bukan? Setau saya, dari berita yang berkembang, itu pekerjaannya UPT (Unit Pelaksana Teknis) dan kepala sekolah setempat. Enggak ada urusannya dengan bupati. Ngawur aja itu,” tegas Khairuddin kepada ntbnews.com, Jumat (29/1/2021).
Dia juga mempertanyakan waktu dan tanggal pemecatan dua guru di SDN Inpres 2 Desa Sangiang. Setelah media ini menjelaskannya, ia mengaku tidak mengetahui detail kronologis pemberhentian para guru tersebut.
Khairuddin kemudian berkilah, pihaknya akan menjawab tudingan tersebut dalam sidang lanjutan PHP Pilkada Kabupaten Bima pada 4 Februari 2021. “Karena kan tanggal 4 itu jawaban termohon dan pihak terkait,” tegasnya.
Ketua Barisan Muda Umi Dinda Kecamatan Wera, Wawan Risma, membantah bahwa dua orang guru di SDN Inpres 2 Desa Sangiang tersebut dipecat karena pilihan orang tua dan saudara-saudara mereka di Pilkada Kabupaten Bima.
Kata dia, TK dan JN juga tak diberhentikan. Melainkan hanya disanksi tak boleh mengajar selama satu semester. Alasannya, mereka bermalas-malasan masuk sekolah serta menjalankan tugas sebagai guru dalam beberapa bulan sebelum keduanya dijatuhi sanksi.
“Mereka tidak dipecat. Disanksi saja. Sudah diklarifikasi oleh kepala sekolahnya. Bukan karena beda pilihan,” ungkap Wawan.
Ia juga telah meminta penjelasan dari UPT Dinas Pendidikan Kabupaten Bima. Jawabannya sama. Keduanya tak dijatuhi sanksi karena orang tua dan saudara-saudara mereka tidak memilih IDP-Dahlan.
Wawan sejatinya mengaku keberatan dengan pemberian sanksi terhadap para guru saat Pilkada Kabupaten Bima tersebut. Pasalnya, sejumlah pihak memanfaatkannya untuk menyudutkan IDP-Dahlan. “Ini jadi sentimen politik,” tegasnya.
Pemecatan seorang guru dalam momentum Pilkada juga pernah terjadi di SMA 3 Wera. Wawan mengungkapkan, guru tersebut berstatus sebagai pendukung petahana.
“Setelah dicek, dia juga merasa diri. Malas ngajar beberapa bulan kemarin. Kalau dianggap politik, ini kan pendukung IDP-Dahlan. Dia dipecat karena malas ngajar semester lalu. Sehingga dia tidak keberatan dipecat,” jelas Wawan. (*)
Tim Redaksi NTB NEWS