Kota Bima, ntbnews.com – Belum lama ini, nama Lurah Sarae, Budiman, menjadi buah bibir warga kelurahan setempat. Lantaran aksinya menyembelih hewan liar.
Tidak hanya di dunia nyata, di jagat maya pun nama lurah tersebut terus menjadi bahan perbincangan warganet. Atas sikapnya tersebut, banyak kritikan publik terhadapnya dan menilai tindakan itu sebagai sikap arogansi. Tidak hanya itu, publik menganggap aksinya tidak mencerminkan nilai sosial dan tidak berprikemanusiaan.
Belakangan diketahui, pemilik sapi-sapi tersebut adalah Tasrif (51), warga Kelurahan Ule, Kecamatan Asakota. Pada saat didatangi oleh ntbnews.com di kediamannya, ia mengaku sudah dua hari mengupayakan pencarian. Namun tidak menuai hasil. Barulah pada hari Selasa, sekitar pukul 10 pagi, Ketua RW 04, Kelurahan Sarae, yang juga merupakan Ketua Satgas Hewan Ternak Liar Kelurahan Sarae mendatangi rumahnya untuk memberitahukan bahwa kelima ekor sapinya berada di Kantor Kelurahan Sarae.
“Enggak ada sapi Anda yang hilang Uba? Ada. Sudah dua hari hilang. Itu ada di kantor lurah. Pergi ambil,” ungkap Tasrif mengisahkan awal kejadian belum lama ini.
Pada hari yang sama, pihak keluarga lainnya mendatangi kantor kelurahan. Namun tidak ada toleransi dari lurah setempat. Kelima ekor sapi tersebut bisa ditebus dengan harga Rp 2,5 juta per ekor.
Pihaknya terus mengupayakan negosiasi dengan lurah. Namun Budiman tetap pada pendiriannya.
“Tidak bisa. Ini sudah menjadi kesepakatan dari selurus tokoh masyarakat dan RT, RW,” ujarnya menirukan perkataan lurah.
Upaya lain terus diusahakan oleh pria yang karib disapa Uba Rijal tersebut, hingga mendatangi kediaman Wali Kota Bima. Namun pada saat itu, Wali Kota sedang berada di luar daerah. Sebagai mantan relawan pemenangan Lutfi-Ferry, akhirnya ia difasilitasi untuk berbicara dengan orang nomor satu di Kota Bima, meski via telepon. Dalam obrolan tersebut, Lutfi akan menindaklanjuti aduannya dengan menghubungi sang lurah.
Akan tetapi, tidak ada tindak lanjut dari beberapa obrolan tersebut. Hingga akhirnya ia beserta keluarga dengan terpaksa merelakan satu ekor sapi betinanya untuk dieksekusi oleh pihak Kantor Kelurahan Sarae. Pada hari eksekusi, dari pihak Kelurahan Sarae hanya mengonfirmasi lewat telepon bahwa sapinya akan dieksekusi.
“Adik ipar saya juga sempat minta Rp 50 ribu per ekor. Namun jawaban lurah, kamu mau mempermainkan saya,” bebernya, menirukan ucapan Budiman.
Ia mengaku, biasanya sapi dilepas di pekarangan rumah. Namun kali itu pagar rumah terbuka, hingga akhirnya kelima ekor sapinya menghilang. Meski demikian ia mengaku bersalah lantaran telah lalai menjaga hewan peliharaannya.
“Pada waktu pertemuan itu saking emosinya, sampai saya mengeluarkan sumpah tujuh turunan saya tidak akan memilih H. Lutfi,” ucap Tasrif.
Salah seorang warga Kelurahan Sarae yang sengaja kami sembunyikan identitasnya mengaku menyaksikan langsung kegiatan tersebut. Namun ia tidak ikut menikmati daging sapi lantaran ia meragukan kehalalan serta keberkahannya. Pasalnya, sang pemilik pada waktu itu tidak ikhlas bila sapinya dikorbankan.
“Ikut menyaksikan ia. Tapi tidak ikut menikmati. Saya sempat ditawari. Namun saya menolaknya. Haram itu pasti. Karena pemiliknya tidak ikhlas,” ujarnya.
Pada kesempatan lain, Budiman yang ditemuai di ruangannya, beralasan bahwa pemotongan hewan sapi tersebut karena telah melanggar Peraturan Kelurahan (Perlu). Dan sang pemilik tidak mampu menebus sapi-sapi tersebut. Yang jika di kalkulasikan mencapai Rp 12,5 juta.
“Wajib dipotong kalau misalnya pemilik hewan ternak liar ini tidak mampu menebus sesuai dengan pasal yang ada dalam Peraturan Kelurahan (Perlu),” tegas Budiman.
Dalam menegakkan aturan, Budiman tetap melanjutkan eksekusi meski sebelumnya Wali Kota Bima telah mengeluarkan teguran yang ia terima melalui pesan singkat. Bahkan ia menyebut orang nomor satu di Kota Tepian Air itu tidak paham persoalan.
“Kemarin itu ada teguran dari Pak Wali. Pak Lurah kasihan warga itu Pak Lurah. Dibuatkan aja surat pernyataan. Pak Wali itu sebenarnya tidak paham persoalan ini. Yang paham persoalan ini Kabag Hukum, Pak Wahab Bagian Setda Kota Bima itu,” bebernya.
Di satu sisi, ia mengklaim, bahwa kegiatan eksekusi yang dilakukannya sudah melalui prosedur dengan mengeluarkan Surat Peringatan (SP) sampai tiga kali. Namun pada sisi lain, jika dirunut dari pernyataan pemilik hewan ternak, dia mengaku baru kali pertama hewan ternaknya berkeliaran dan tertangkap hingga dikarantina oleh pihak Kelurahan Sarae. Hal tersebut juga diperkuat oleh Budiman setelah melewati proses wawancara yang panjang.
“Kemudian yang berkaitan dengan pemotongan hewan ternak itu yaa sudah ada kesepakatan dengan pemilik hewan ternak. Enggak boleh serta merta. Ada SP 1, SP 2, SP 3,” kata Budiman.
Budiman terkesan potong kompas dalam menjalankan peraturan yang disepakatinya bersama seluruh elemen masyarakat setempat dengan pemerintah daerah beserta TNI-Polri. Pasalnya, rentang waktu antara penangkapan dengan hari eksekusi hanya tiga hari. Ia berdalih, karena desakan masyarakat, sehingga memerintahkan sapi tersebut untuk dieksekusi.
“Iya memang pengakuannya sekali itu lepas sapinya. Sampai pemiliknya datang ke sini. Banyak maaf Pak Lurah. Baru sekali ini kami lepas sapi ini. Sementara di satu sisi. Lurah beserta Satgas hewan ternak sudah menangkap lalu mengarantina. Akhirnya atas inisiatif, saya hadirkan Baba Redo sebagai Ketua Satgas. Akhirnya kita karantina semalam. Besoknya, pemiliknya datang meminta. Sampai pergi minta ke Pak Wali. Pak Wali bilang ke saya. Ada SMS tidak sempat bicara. Tapi beliau meng-SMS. Tolong Pak Lurah lepas sapinya, dibuatkan surat pernyataan untuk tidak mengulangi lagi. Saya bilang enggak boleh. Perlu ini biayanya banyak yang sudah kita keluarkan. Kita undang orang banyak. Tenaga, pikiran, biaya. Kan begitu. Engak boleh. Dua setengah hari,” ungkapnya.
Kata Budiman, urgensi penertiban perlu atas desakan masyarakat. Lantaran kotoran hewan liar sering terlihat berserakan di wilayah yang dipimpinnya. Tidak hanya itu, ia mengaku sering di-bully karena tidak mampu menertibkan hewan liar. Menuturnya, Perda Nomor 9 dan aturan lain juga memberikan ruang bagi kelurahan untuk menyusun Perlu.
Akhirnya ia berserta seluruh elemen masyarakat, Pemerintah Kota Bima, dan aparat penegak hukum merumuskan kebijakan tersebut. Namun ia menyayangkan ketidakhadiran Kabag Hukum Setda Kota Bima pada saat penyusunan Perlu yang ia sendiri lupa nomor dan pasal yang dilanggar.
“Peraturan Kelurahan (Perlu) yang sudah disepkati bersama oleh tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh wanita yang kita undang. Termasuk yang pada waktu itu yang kita undang adalah Bagian Hukum Setda Kota Bima, Kapolsek, Danramil, kemudian kawan-kawan Pol-PP juga hadir pada saat itu. Nah, yang tidak hadir pada saat itu Bagian Hukum Setda Kota Bima,” jelasnya.
Tidak hanya menyayangkan ketidakhadiran Wahab, ia juga menyesalkan pernyataan Kabag Hukum tersebut lewat salah satu media online yang menyebutnya telah melampaui batas dan tidak memiliki kewenangan. Ia menilai pernyataan Wahab tidak mencerminkan seorang Kabag Hukum. Bahkan menurutnya Kabag Hukum mesti berterima kasih dan memberikan reward atas kinerjanya yang telah berani dan mampu membuat peraturan turunan Perda Nomor 9.
“Loh tetap akan disahkan. Itu juga sudah diatur. Kalau petinggi hukum tidak hadir ketika pengambilan keputusan itu sah. Ada yang mengatur itu, saya lupa. Kemarin keluarnya pemberitaan tentang Pak Wahab Setda Kota Bima itu kan setelah kita melakukan pemotongan hewan liar ini. Kenapa pada waktu kita undang pada saat sosialisasi. Tapi kan beliau tidak hadir pada saat itu. Pokoknya yang kita lakukan sesuai dengan pasal-pasal. Peraturan lurah. ada Jelas semua. Lupa. Sudah lama Peraturan Lurah ini. Sudah lima bulan yang lalu,”
Ia menilai, Perda Nomor 9 yang mengatur tentang hewan liar tersebut tidak memiliki taring dan hanya jadi bahan pajangan. Pasalnya, tidak ada satu pun petugas yang mampu melakukan seperti apa yang ia lakukan.
“Pol-PP juga berterima kasih sama saya. Selama ini kan tidak ada. Ada, tapi memang yaa kayak Perda tidak memiliki gigi (ompong). Makanya saya kira, Pemerintah Kota harus berterima kasih kepada saya yang mampu mengejewantahkan Perda Nomor 9 itu,” katanya.
Terkait kritikan masyarakat atas tindakannya, ia menanggapinya sebagai hal yang lumrah. Sebab aturan-aturan yang dibuat berpotensi menimbulkan kontroversi. Dalam membuat Perlu tersebut, ia menggunakan asas diskresi.
“Walaupun sudah dijelaskan dalam lamannya Pak Arman itu, dari perubahan Pasal 32 ke 23 itu. Saya tidak paham persoalan hukum. Tetapi banyak orang menafsirkan berbeda-beda. Jadi tupoksinya lurah sudah diatur di sini. Tupoksinya kepala desa posisinya di sisi ini dan lain sebagainya. Yang mengatur posisi lurah dengan desa itu beda katanya. Kalau lurah itu sebagai pejabat administrasi. Saya membuat peraturan ini bukan untuk Pak Arman. Tapi saya membuat aturan untuk warga saya. Warga di lingkungan Kelurahan Sarae ini. Yang menampung aspirasi masyarakat. Sehingga membuat peraturan. Kalau persoalan Pak Arman itu haknya Pak Arman untuk mengkritisi. Tetapi yang pasti, yang lebih mengetahui situasi dan kondisi di kelurahan ini adalah saya sebagai kepala kelurahan. Kewajiban saya, lurah harus memiliki sensitivitas terhadap aspirasi masyarakat. Maka lahirlah Perlu ini. Walaupun dianggap kontroversi,” ujarnya.
Meski menimbulkan kontroversi, ia tetap melanjutkan peraturan yang telah dibuatnya. Kata Budiman, ia siap menghadapi gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ia akan berhenti menerapkan Perlu jika ada keputusan dari PTUN. Meskipun jabatan ia pertaruhkan.
“Dan saya siap lahir dan batin menerima konsekuensinya. Nah, kalau ada yang mempermasalahkan Perlu yang saya buat bersama warga ini, mari kita uji petik. Uji petik benar salahnya saya di-PTUN-kan saya. Laporkan ke pimpinan, ke Kabag Umum, kemudian saya di-PTUN-kan. Salah misalnya, kalau ada orang yang menyalahkan saya ini yang membuat Perlu dan lain sebagainya,” ujar dia.
Kata Budiman, dia tidak meyesal telah mengeksekusi hewan liar tersebut. Lantaran ia merasa tidak salah atas tindakannya. Meski demikian, ia telah memberikan kompensasi kepada pemilik sapi tersebut sebagai bentuk empatinya.
“Saya beri dua opsi loh kepada pemilik ternak itu, mau saya potong lima ekor atau menyerahkan satu ekor? Dan akhirnya disepakati satu ekor, deal-dealan. Bahkan saya memberikan uang sih orang itu. Pemilik ternak itu. Yaa sesuailah dengan harapan pemilik ternaknya. Tidak layaklah disebut nominalnya. Yang penting bagi saya dengan hewan ternak ini sudah tidak ada lagi masalah,” ujarnya.
Ia mengimbau kepada pemilik ternak agar mengandangkan hewan ternaknya. Selain itu, dibutuhkan kesadaran dari semua pemilik hewan ternak.
“Tentunya, ini bagian dari tugas pemerintah. Agar peternak ini juga kan tidak melepaskan hewan ternaknya secara liar. Jadi tugas pemerintah dalam membuatkan kandang-kandang di pinggir kota untuk menampung sapi-sapi masyarakat ini. Tetapi memang di samping itu, kesadaran kita yang masih kurang kaitan dengan hewan ternak ini. Saya tidak bisa bayangkan, ini kota. Kemudian di pusat kota ini dilepas sapi-sapi dan lain sebagainya. Tidak elok, kotoran sapi berserakan di mana-mana. Atas pertimbangan inilah saya mencoba untuk melakukan hal seperti ini. Mudah-mudahan ada efek. Itu aja yang saya inginkan,” tutupnya. (*)
Penulis: Ikbal Hidayat