SAAT Indah Dhamayanti Putri (IDP) terpilih sebagai Bupati Bima pada 17 Februari 2016, anak sulungnya dari buah cintanya dengan almarhum Ferry Zulkarnain, Muhammad Putera Ferryandi masih menempuh studi strata satu di jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.
Setahun kemudian, ia lulus dari kampus yang bertempat di Provinsi Jawa Barat itu, lalu pulang kampung dan “tercebur” dalam arus politik praktis yang kelak menghantarkannya sebagai “politisi belia” yang digadang-gadang meneruskan “takhta kekuasaan” yang ditinggalkan mendiang ayahnya, serta yang sedang dibangun dan dipertahankan dengan susah payah oleh sang ibu.
Sebelum itu, di usianya yang ke-21 tahun, Yandi terlebih dahulu dinobatkan sebagai Jena Teke (putra mahkota) Kesultanan Bima. Banyak pihak beranggapan, pengangkatannya sebagai penerus takhta kesultanan yang ditinggalkan Ferry itu bentuk pemanfaatan “terselubung” momentum untuk memperkenalkannya kepada publik tentang putra yang akan mengemban beban politik, meski di usia yang masih sangat muda.
Hanya tiga tahun setelah itu, Yandi terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Bima dari Daerah Pemilihan (Dapil) II yang meliputi Kecamatan Bolo dan Kecamatan Madapangga. Di usianya yang belum genap 24 tahun, alumni SMAN 1 Kota Bima itu diangkat menjadi Ketua DPRD Kabupaten Bima. Dalihnya, ia berhasil mengantongi 4.729 suara dalam pemilihan legislatif, plus rekomendasi dari sang ibu yang menjabat sebagai Ketua DPD II Golkar Kabupaten Bima.
Baca juga: Dinasti Politik di Kabupaten Bima: Dari Kahir, Ferry, IDP hingga Ferryandi (1)
Belum genap setahun, IDP terpilih kembali sebagai Bupati Bima. Dalam sejarah kabupaten tersebut, inilah kali pertama legislatif dan eksekutif dipimpin ibu dan anak dalam satu periode yang sama. Kran demokrasi serta dalih kebebasan memilih dan dipilih telah membentuk keduanya sebagai “dua elite penguasa” di era yang menjadikan pemilihan langsung dalam demokrasi semu—istilah yang mencitrakan pemilihan yang diwarnai dengan money politic—sebagai alatnya.
Hasrat Kekuasaan
IDP meneruskan kekuasaan yang ditinggalkan sang suami, Ferry, yang meninggal dunia pada 2015 lalu sebelum jabatannya sebagai bupati pada periode kedua berakhir. Pemilihan langsung pada 2016 memberi peluang bagi perempuan kelahiran Dompu itu memegang jabatan bupati saat ia berusia 35 tahun.
Di periode kedua, IDP kembali terpilih sebagai Bupati Bima. Sementara pada pemilihan legislatif tahun 2019, Yandi telah dinobatkan sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bima termuda se-Indonesia. Saat itu, mengutip pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Muhammad Sahrul, dinasti politik telah terbentuk di Kabupaten Bima.
Dalam artikelnya yang dimuat di bimakini.com dengan judul Politik IDP dan Investasi Politik Jangka Panjang, Sahrul mengatakan, dinasti politik bermaksud untuk “merawat hasrat kekuasaan”. Karena itu, kata dia, pemerintahan Kabupaten Bima ke depan belum dapat dilepaskan dari cengkeraman trah Kesultanan Bima.
Sahrul menjelaskan, IDP dan Ferry yang sama-sama pernah menjabat sebagai Bupati dan Ketua DPD II Partai Golkar, jejaknya pun akan diikuti Yandi yang kini menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bima.
“Maka kerja-kerja politik IDP hari ini dan di masa yang akan datang, baik sebagai elite partai maupun sebagai elite pemerintahan, merupakan investasi politik jangka panjang yang peruntukannya kemungkinan besar untuk melanggengkan trah politik keluarganya,” jelas Sahrul sebagaimana dikutip ntbnews.com pada Minggu (6/6/2021) pagi.
Paling tidak, lanjut dia, ada dua suskesi di pundak IDP. Pertama, suksesi kepemimpinanya untuk mengabdi pada masyarakat Bima sebagai Bupati. Kedua, IDP harus menyukseskan klan politiknya setelah paripurna sebagai Bupati Bima. “Maka segala upaya politiknya hari ini merupakan investasi politik jangka panjang,” sebut dia.
Pemerhati sosial budaya Bima, Faris Talib menjelaskan, sebagian besar masyarakat Bima masih mengeramatkan keturunan raja, menganggapnya sebagai orang yang harus ditaati dan dihormati, walaupun era raja-raja sudah selesai. Tingkat pendidikan masyarakat rata-rata sudah tinggi, tapi hegemoni feodalisme itu masih mengakar kuat.
Sebagian kelompok di Bima, jelas dia, sengaja memelihara dan mengawetkannya karena berhubungan dengan kelangsungan kekuasaan mereka. Oleh sebab itu, pada Pilkada mendatang IDP akan berusaha mendorong Yandi untuk menggantikannya sebagai Bupati Bima.
“Persiapan untuk menjadikan Yandi sebagai bupati sudah jauh hari dilakukan. Bahkan tim pemenangan sudah mulai dibentuk dan jalan,” katanya kepada ntbnews.com, Sabtu (5/6/2021).
Secara politik, kata Faris, hal ini tidak salah. Karena itu hak setiap orang. Ia pun menyarankan IDP tak hanya mempersiapkan infrastruktur politik bagi Yandi. Tetapi yang lebih penting adalah persiapan infrastruktur pikiran dan kualitas diri. “Agar kelak ketika menjadi bupati ia dapat memimpin dengan isi kepala, bukan dengan dengkul dan isi tas,” tegasnya.
Politik Kekerabatan
Faris mengaku tak sependapat dengan istilah dinasti politik dalam praktik kepemimpinan di Kabupaten Bima saat ini. Kata dia, penggunaan istilah dinasti pada masyarakat rasional dan modern tidak lagi relevan, walaupun istilah itu masih digunakan, namun terus dipersoalkan.
“Maka secara proporsional untuk menggambarkan model politik seperti yang dipraktekkan Indah Dhamayanti Putri dan anaknya di Kabupaten Bima adalah politik kekerabatan,” jelas Faris.
Alumni Pascasarjana UIN Jakarta itu menjelaskan, politik kekerabatan adalah kelompok kekuasaan dengan kewenangan dan sumber daya yang dimilikinya berusaha melanggengkannya dengan cara diteruskan kepada anak, keluarga, sahabat, atau orang dekat yang bertalian secara biologis, termasuk juga yang bertalian ideologis.
Ia menyebutkan, usaha melanggengkan kekuasaan inilah yang dilakukan IDP dengan mendorong dan mendukung anaknya yang masih sangat muda dalam kontestasi politik lokal. Yandi pun dijadikan Ketua DPRD Kabupaten Bima melalui Rapat Pleno DPD Golkar Kabupaten Bima yang juga dipimpin IDP.
Faris mengatakan, dengan kekuasaan, kewenangan dan sumber daya yang dimilikinya, IDP pun dengan mudah membuka jalan bagi anaknya untuk sampai pada puncak kekuasaan di Kabupaten Bima. “Dan dengan privilege (hak istimewa) itu, ia juga dapat terpilih sebagai anggota DPRD,” sebutnya.
Mantan Sekjen Angkatan Muda Bima Indonesia (AMBI) itu menyebutkan, jabatan yang diraih Yandi sejatinya tergolong istimewa. Sebagai anak dari ayah dan ibu seorang Bupati, lahir dari keturunan raja-raja dan dinobatkan sebagai putra mahkota, dengan harta dan kekayaan yang relatif melimpah, ia dapat dengan mudah mengendalikan massa dan mengatur permainan dalam kontestasi politik.
Dia mengatakan, praktik politik seperti ini makin hari makin subur, karena terbukti mengawetkan kekuasaan agar tetap berada dalam kendali satu rumah tangga. Sehingga tujuan politik, proyek, pembagian jabatan, penggunaan anggaran dan lain-lain tetap stabil—berputar dan terkendali oleh kerabat dekat.
Ini sebagai akibat dari mahalnya biaya demokrasi dan pemilu di Indonesia. Kata Faris, mereka yang dapat memperoleh kekuasaan hanyalah kelompok atau orang yang memiliki banyak uang atau paling tidak orang yang dengan kekuasaannya dapat mengendalikan jalannya proses politik dan mampu mendatangkan banyak modal finansial.
Baca juga: Dinasti Politik di Kabupaten Bima: Suami Meninggal Dunia, Terbitlah Sang Istri (2)
Sementara itu, pengamat hukum tata negara dari Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah, dalam catatannya tentang dinasti politik yang mengambil studi kasus di Kalimantan Timur, menjelaskan, praktik politik demikian terjadi karena sejumlah sebab: kelembagaan partai politik yang tidak demokratis; minimnya kapasitas partai politik dalam membangun kemandirian keuangan organisasi; faktor regulasi yang memungkinkan konsolidasi dinasti politik; kesadaran politik rakyat yang masih sangat rendah dan cenderung mengambang (floating mass), serta masih kuatnya budaya feodal dalam tatanan masyarakat.
“Budaya feodal ini berdampak kepada iklim yang tidak demokratis dalam dinamika sosial-politik masyarakat. Termasuk dalam tradisi politik, di mana klan kekerabatan tertentu berpotensi diasosiasikan sebagai ‘wakil tuhan’ yang sulit dikritik apalagi dibantah. Situasi ini turut membantu langgengnya dinasti politik,” urainya.
Dampak Buruk
Apakah “politik dinasti” atau “politik kekerabatan” baik atau buruk untuk kelangsungan demokrasi dan terwujudnya pemerintahan yang sehat? Realitasnya, kata Faris, ada yang berfungsi baik, tetapi tak dapat menutupi lebih banyak dampak buruk yang ditimbulkannya.
Beberapa dampak buruk yang akan terjadi adalah: pertama, hilangnya pengawasan dan kontrol (check and balance); kedua, dalam praktik politik kekerabatan, feodalisme tumbuh; ketiga, tidak ada transparansi atau keterbukaan informasi publik. Yang terjadi adalah transaksi gelap di bawah meja (transactions under the table), dan politik hanya menjadi pasar gelap kekuasaan (black market of power); keempat, transformasi politik mandeg, pipa perubahan disumbat, dan kurangnya inovasi; kelima, pembangunan daerah yang jalan di tempat.
Faris menegaskan, Yandi terpilih sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bima bukan karena di daerah tersebut sedikit orang pintar atau terjadi krisis pemimpin muda. Justru sebaliknya generasi muda yang mumpuni dan berprestasi di Dana Mbari sangat melimpah. Tetapi karena watak politik dan kultur masyarakat masih feodal, semua potensi itu diabaikan, dan menjadi jalan lurus bagi trah raja untuk melanggengkan kekuasaan mereka.
Terpilihnya Yandi sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bima dan ibunya sebagai Bupati Bima, lanjut Faris, merupakan fenomena unik sekaligus ironi. Unik karena terjadi dalam sistem politik kontemporer Indonesia. Ironisnya, ini menjadi awal kemunduran pembangunan, kewarasan dan demokrasi di Kabupaten Bima.
“Sebab dapat dipastikan, pada dua lembaga yang seharusnya diperintahkan konstitusi untuk saling mengawasi dan mengontrol itu, yang terjadi adalah perselingkuhan dan persekongkolan,” tegasnya.
Herdiansyah menambahkan, dinasti politik memberikan ruang dan menyediakan jalan bagi korupsi. Terlebih jika dinasti politik lahir dan berkembang biak secara prematur. Seorang politisi yang lahir dari klan tertentu tanpa ditempa dengan pengalaman dan proses kaderisasi yang memadai, maka sudah pasti ia lahir dari modal finansial yang besar, bukan dari tradisi politik yang mengakar di akar rumput. Oleh karena itu, Herdiansyah menyimpulkan, ia begitu rentan dengan korupsi dalam upaya menjaga dan merawat kekuasaannya.
Harus Dibatasi
Mengutip Beatriz Paterno, Herdiansyah menyebutkan, terdapat dua alasan mendasar mengapa dinasti politik harus dibatasi. Pertama, dinasti politik merusak sistem check and balance. Kedua, keberhasilan keluarga politik yang terus berlanjut meskipun tuduhan korupsi melemahkan supremasi hukum, dan melanggengkan sistem korupsi di pemerintahan.
Di lain sisi, dalam situasi di mana dinasti politik berkembang secara masif dan jauh lebih kuat, maka akan mengakibatkan pengusutan kasus-kasus korupsi jauh lebih sulit. Di samping itu, lanjut dia, dominasi dinasti politik juga memudahkan penguasa mengooptasi aktor-aktor gerakan masyarakat sipil.
Menukil Jemma Purdey, Herdiansyah menjelaskan, mobilisasi gerakan masyarakat sipil melawan dinasti menjadi lebih sulit karena dalam banyak kasus, mereka sudah dipengaruhi keluarga dinasti melalui “kesejahteraan sosial dan distribusi amal”.
Dinasti politik juga membuat akses terhadap sumber daya keuangan di daerah terbatas pada klan politiknya semata. Hal inilah yang menyebabkan kecenderungan penggunaan diskresi yang berlebihan dalam setiap kebijakannya, yang mengarah pada tindak pidana korupsi.
“Dengan demikian, karena karakteristiknya yang rentan dengan korupsi tersebut, maka sewajarnya KPK dan aparat penegak hukum lainnya memusatkan pengawasannya terhadap keseluruhan aktivitas dinasti politik, khususnya yang ada di daerah-daerah,” saran Herdiansyah. (*)
Penulis: Ufqil Mubin