SEGERA setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, kerajaan-kerajaan di Nusantara meleburkan diri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Republik Indonesia. Tak terkecuali Kesultanan Bima. Sultan Muhammad Salahuddin yang masih memegang tampuk takhta kesultanan itu menyatakan wilayah kekuasaannya menjadi bagian dari negara yang merdeka pada 17 Agustus 1945 tersebut.
Seiring dengan itu, terjadi pula perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan Indonesia, yang secara perlahan menggeser kekuasaan kesultanan yang sebelumnya telah berjalan selama 344 tahun (1601-1945) itu.
Pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia membagi wilayah-wilayah kekuasaannya menjadi provinsi, kabupaten/kota. Beriringan dengan itu, eksistensi kerajaan memang masih diakui sebagai bagian dari sejarah panjang perjuangan dalam mendirikan Indonesia. Namun kekuasaan raja atau sultan kian terkikis setelah urusan-urusan strategis pemerintahan diserahkan kepada bupati, wali kota, atau gubernur.
Sepuluh tahun pasca pemerintahan Indonesia dipimpin Soekarno, Abdul Kahir II diberikan mandat untuk memimpin daerah yang dulu sebagai wilayah kekuasaan Kesultanan Bima. Sebagai pewaris takhta kesultanan, Kahir tidak lagi “menikmati” kekuasaan sebagai sultan sebagaimana yang dipegang oleh ayahnya, Sultan Salahuddin. Pasca kemerdekaan, ia ditunjuk sebagai kepala Daerah Tingkat II Bima.
M. Ismail Hilir lewat bukunya Peran Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, mencatat, pada awal kemerdekaan, Indonesia belum memiliki Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Tugas itu dijalankan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada 17 September 1945, terbentuklah Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Bima. Dalam struktur parlemen daerah tersebut, Kahir menjadi pelindung. Sementara ketuanya dijabat oleh Ishaka Abdullah.
Sebelum itu, di masa kanak-kanak, ia mengikuti pendidikan informal terpusat di istana. Di bawah bimbingan para ulama dan pejabat istana. Pada 1936-1937, Kahir menjadi siswa dalam pendidikan formal di HIS Raba. Sebagai anak sultan yang memiliki cukup biaya untuk pendidikan, ia kemudian melanjutkan studi di MULO, Malang, Jawa Timur. Lalu dia dikirim ke Makassar untuk mempertinggi pendidikannya di Besteur School. Tetapi ia tidak menyelesaikannya karena Kahir ditahan oleh pemerintah Negara Indonesia Timur.
Dia mengawali kariernya di militer. Putra Sultan Salahuddin ini adalah komandan Pembela Tanah Air (PETA) wilayah Bima. Kemudian setelah proklamasi, ia diangkat menjadi komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) wilayah Bima. Kala itu, dia berpangkat letnan.
Kahir memiliki keahlian dalam bidang intelijen. Kemampuan ini didapatkannya saat menjadi Komandan PETA. Dia adalah satu dari empat orang yang pernah dipilih pemerintah Jepang untuk mengikuti pendidikan intelijen di Burma.
Di pemerintahan, kariernya tergolong cemerlang. Kahir menjadi kepala Derah Tingkat II Bima periode 1954-1959. Setelah memimpin Bima, ia terpilih sebagai anggota DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) selama 11 tahun (1960-1971).
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) kemudian menunjuknya sebagai anggota DPRD Kabupaten Bima pada 1971-1973. Kariernya di parlemen Bima memang tak lama. Ia menarik diri karena berstatus sebagai anggota Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Namun setelah itu, jabatannya di legislatif meningkat. Ia menjadi anggota DPR/MPR RI periode 1977-1982.
M. Hilir Ismail & Alan Malingi dalam Jejak Para Sultan Bima, menjelaskan, pada usia 38 tahun atau 22 Juli 1963, Kahir menikah dengan gadis berdarah Banten kelahiran Jakarta, Siti Retno Murti Zubaidah Binti Jamadi. Dari buah cinta keduanya, lahirlah Ferry Zulkarnain, Fera Amalia, Farrid Chairuddin, Fenny Madhina dan Ferdiansyah Fajar Islam.
Dari Ayah ke Anak
Ferry adalah satu-satunya anak Kahir yang tergolong sukses melanjutkan estafet kepemimpinan sang ayah sebagai bupati Kabupaten Bima di era Reformasi. Ia secara perlahan meniti karier dari pengusaha, anggota legislatif, hingga bupati dua periode.
Sementara anak perempuan Kahir, Fera, yang pernah mencalonkan diri sebagai wakil wali kota Bima pada 2018 lalu, kalah dari pasangan M. Luthfi-Feri Sofyan, yang akhirnya dikukuhkan sebagai wali kota dan wakil wali kota Bima periode 2018-2023.
Fera yang digandeng Arahman hanya mengantongi 35.059 suara. Sementara pemenangnya yang notabene pasangan nomor urut 2 Luthfi-Feri meraih 39.006 suara. Sedangkan pasangan calon (paslon) nomor urut 3 Subhan-Wahyudin harus puas dengan perolehan 14.235 suara.
Ia berbeda dengan Dae Ferry, sapaan akrab Ferry Zulkarnain, yang menjadi kandidat dan menang dalam dua kali keikutsertaannya sebagai calon bupati Bima. Pada Pilkada 2005, ia menggandeng Usman AK. Paslon ini meraih 44,58 persen. Sementara pesaingnya, Zainul Arifin-Ibrahim mendapatkan 24,14 persen, Muchtar-Irfan 11,78 persen, Khaer-Masykur 10,66 persen, dan Najamuddin-Syafruddin mengantongi 6,48 persen.
Pada Pilkada 2010, Ferry pecah kongsi dengan Usman. Ia kemudian bergandengan dengan Syafrudin H. M. Nur. Sementara Usman berpasangan dengan Zainul Arifin. Dalam kontestasi demokrasi ini, terdapat empat paslon yang menjadi peserta—dua di antaranya pasangan Suhaidin Abdullah-Sukirman Aziz dan Najib-Arie Wiryawan.
Ferry-Syafrudin pun memenangkan pertarungan tersebut. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bima menetapkan keduanya sebagai peraih suara terbanyak karena mengantongi 60,77 persen suara.
Kontroversi dan Kematian
Kemenangan Ferry-Syafrudin mendapat penolakan dari sebagian orang yang tidak puas dengan hasil Pilkada Bima. Pada 7 Juni 2010, massa yang diduga sebagai pendukung salah satu paslon itu membakar kantor Golkar Bima. Meski petugas mengerahkan sejumlah pemadam kebakaran, kantor partai dan satu unit mobil ludes terbakar.
Dua tahun kemudian, semasa kepemimpinan Ferry-Syafrudin, aksi pembakaran berlanjut. Kali ini sasarannya kantor bupati dan kantor KPU yang terletak di Kota Bima. Ribuan orang warga membakar dua kantor tersebut karena mereka menyesalkan sikap Ferry yang tidak mencabut surat keputusan tentang eksplorasi tambang emas di Kecamatan Lambu dan Kecamatan Sape, Kabupaten Bima.
Sejak awal, warga sudah melayangkan penolakan terhadap izin eksplorasi tambang emas di dua kecamatan tersebut. Mereka menolak keberadaan perusahaan tambang karena khawatir akan muncul kerusakan lingkungan. Terlebih wilayah yang direncanankan sebagai areal pertambangan itu merupakan sumber mata air warga.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Bima di masa itu, Andrie S Wijaya mengatakan, sebagian desa di dua kecamatan tersebut merupakan sentra produksi bawang merah. Kehadiran tambang emas dipercayai akan membuat penyusutan debit air untuk lahan pertanian, sehingga mengakibatkan produksi bawang merah terganggu.
Meski berkali-kali menerima protes dari warga, perusahaan yang memperoleh izin usaha pertambangan emas tersebut tetap melanjutkan aktivitasnya. Akibatnya, pada 24 Desember 2011, warga memblokir Pelabuhan Sape. Aksi itu dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian. Pembubaran ini berubah menjadi bentrokan, sehingga dua orang tewas dan puluhan lainnya terluka.
Peristiwa ini mendapat sorotan luas, termasuk dari Komnas HAM dan pemerintah pusat. Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI kala itu, Irman Gusman, meminta Pemerintah Kabupaten Bima dan Kementerian ESDM mencari celah untuk mencabut SK Bupati Bima Nomor 188 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara (SMN).
Sehari sebelum bentrokan berdarah itu, Ferry mengeluarkan surat keputusan penghentian sementara eksplorasi tambang emas yang dikantongi PT SMN. Enam bulan berlalu atau 28 Januari 2011, Ferry mencabut izin eksplorasi tambang yang kontroversial itu.
Di balik pro dan kontra kebijakannya, ada satu kebiasaan yang membuat Ferry begitu dikenal luas di masyarakat Bima—dan barangkali karena itu pula di periode kedua ia terpilih dengan suara 60,77 persen. Pria kelahiran 1 Oktober 1964 itu acap turun ke desa-desa, menemui warga, dan tak jarang menginap di rumah rakyat di akar rumput yang dipimpinnya.
Prinsip hidupnya yang egaliter tergambar dari kebiasaannya yang tidak membeda-bedakan warga. Dia tak jarang bertemu warga di desa tanpa pengamanan yang ketat.
Sehari sebelum meninggal dunia pada 26 Desember 2013, Ferry memantau banjir di Kecamatan Monta. Informasi yang beredar luas, ia kelelahan hingga akhirnya jatuh sakit. Kabar lain menyebut, Ferry berpulang ke hadirat Ilahi karena sakit jantung yang dideritanya.
Karier, Pernikahan dan Keturunan
M. Hilir Ismail & Alan Malingi dalam Jejak Para Sultan Bima, mencatat, masa kecil dan remaja Ferry tidak dijalaninya di Bima, melainkan di tempat kelahirannya di Jakarta. Sementara Sekolah Dasar (SD) dilaluinya di Kota Mataram. Kemudian SMP hingga SMA diselesaikannya di Jakarta.
Ia sempat mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta. Dia tidak menyelesaikan perkuliahannya karena Kahir memanggilnya untuk pulang ke Bima. Kala itu, sang ayah sedang sakit-sakitan.
Di Bima, dia menggeluti usaha konstruksi. Ferry melakoni usaha di sektor tersebut selama puluhan tahun. Di sela-sela itu, pada 1994 ia masuk gelanggang politik praktis lewat perahu Partai Golkar.
Kariernya di Golkar terus melesat. Dari wakil bendahara dan wakil ketua bidang kepemudaan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) II Golkar Kabupaten Bima hingga pada Musyawarah Daerah Khusus (Musdasus) ia terpilih sebagai ketua DPD II Golkar Kota Bima.
Sementara di legislatif, pada 1997 ia terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Bima dari Partai Golkar. Seiring terbitnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002, sejumlah anggota DPRD Kabupaten Bima yang terpilih melalui daerah pemilihan Rasanae harus menjadi anggota DPRD Kota Bima. Kemudian dia terpilih selama dua periode sebagai ketua di lembaga legislatif tersebut.
Pada usia 31 tahun, Ferry mengakhiri masa lajangnya. Dia mempersunting Indah Dhamayanti Putri (IDP), perempuan asal Dompu yang lahir pada 19 November 1981. Mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki: Muhammad Putra Ferryandi dan Muhammad Putra Pratama. Kelak, setelah Ferry meninggal dunia, IDP dan Ferryandi inilah yang melanjutkan “dinasti politiknya” di Kabupaten Bima. (Bersambung)
Penulis: Ahmad Yasin Maestro