SEKIRA dua bulan hujan tak membasahi wilayah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Perlahan-lahan air di sungai-sungai kian mengering. Sebagian petani pun mengairi tanaman mereka dengan air yang didapatkan dari hasil pengeboran.
Pada Juni hingga Juli, masyarakat Bima masih bisa mendapatkan air dari sungai, bor, atau sumur-sumur yang digali di tengah-tengah pemukiman penduduk. Sementara pada Agustus hingga akhir September, air di beberapa titik telah mengering. Di sejumlah kecamatan, sumur yang kedalamannya sekira 50 meter pun tak lagi dapat menyuplai air untuk kebutuhan masyarakat sehari-sehari.
Baca juga: Mengurai Kealpaan di Balik Aktivitas Galian C di Kabupaten Bima
Sementara para petani harus “mengikhlaskan” waktu selama berbulan-bulan itu untuk berdiam diri di rumah. Tak bercocok tanam. Kesulitan air seolah telah menghambat rutinitas mayoritas warga Bima yang berprofesi sebagai petani untuk bertani.
Sedangkan warga yang bermukim di sekitar lereng gunung harus membeli air untuk memenuhi kebutuhkan mereka. Tak sedikit pula yang berjalan sejauh satu sampai tiga kilometer demi mendapatkan air untuk kebutuhan masak, makan, minum dan mandi.
Petani Berebut Air Sungai
Seorang petani di Desa Ntonggu, Kecamatan Palibelo, Fahrudin menjelaskan, saat ini para petani kesulitan mendapatkan air untuk mengairi tanaman mereka.
“Sekarang masih menggunakan air sungai, tetapi sebentar lagi biasanya akan mati air sungainya. Di sungai saja sekarang warga sudah berebut air di So Kara Manggena’e,” ungkap Fahrudin kepada Ntbnews.com baru-baru ini.
Kata dia, kala musim kemarau, warga mulai kekurangan air. Padahal sebagian besar warga Ntonggu yang berprofesi sebagai petani sangat membutuhkan air untuk mengairi tanaman mereka di sawah.
“Setiap tahun terjadi kekeringan. Puncaknya pada bulan September dan Oktober, bahkan hampir semua bor warga di rumah mengalami kekeringan,” beber Fahrudin.
Akibatnya, kata dia, pada bulan Agustus hanya sebagian petani yang bercocok tanam. Ada pula yang memilih tak bertani. Bagi petani yang memilih untuk tetap menaman tanaman di sawah, harus merelakan hasilnya yang kurang maksimal.
“Dulu banyak warga yang gagal panen. Tapi sekarang karena kekurangan air warga enggak bercocok tanam,” jelasnya.
Para petani sejatinya ingin tetap bertani, meski di musim kemarau. Karena itu, Fahrudin berharap pemerintah desa dan pemerintah daerah dapat memberikan solusi untuk para petani di Ntonggu.
“Kami minta pemerintah mencari solusi terbaik bagi kami sebagai petani,” imbuh dia.
Saat musim kemarau, ungkap Fahrudin, warga Ntonggu tak membeli air untuk kebutuhkan mereka sehari-sehari. Pasalnya, masih ada warga yang mendapatkan air dari hasil pengeboran. Mereka pun ramai-ramai mengambil dan memanfaatkan airnya. Syaratnya, warga harus membayar listrik secara berkelompok.
“Terkadang ada juga sebagian warga yang mandi di Sungai Diwu Kalodo yang jaraknya lumayan jauh dari pemukiman warga,” ungkapnya.
Solusi Pemerintah Desa
Kepala Desa Ntonggu, M. Firdan, membenarkan bahwa setiap tahun terjadi kekeringan di desa yang dipimpinnya. Hal ini tergolong alamiah.
Dampak kekeringan di Ntonggu dialami oleh sekira 5.000 orang warga. “Kekeringan yang paling parah itu di lereng-lereng gunung,” ungkapnya.
Firdan menjelaskan, musim kemarau memang mengakibatkan sebagian petani tak berocok tanam. Sebagian lainnya tetap bertani meski harus merogoh kocek untuk mendapatkan air.
Pemerintah desa tak tinggal diam. “Upaya yang dilakukan seperti meminta bantuan program kepada provinsi, tetapi ada alasan Covid-19, sehingga programnya ditunda,” terang Firdan.
Saat ini, pihaknya sedang mengusahakan agar program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) dapat berjalan. Program ini bertujuan menanggulangi dampak kekeringan.
Dia menerangkan, program Pamsimas saat ini belum berjalan. Masih tahap persiapan. Jika berjalan, target pertama program ini dapat memenuhi kebutuhan air untuk 100 rumah.
Jika tahap perdana sukses, ia berjanji akan memperluas jangkauan program tersebut. “Agar kebutuhan air warga dapat terpenuhi,” tutup Firdan.
Titik Kekeringan Bertambah
Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bima, Indra Nur Jaya mengatakan, setiap tahun titik kekeringan di daerah tersebut terus bertambah.
“Kekeringan dari tahun ke tahun di wilayah Kabupaten Bima terus meluas. Tahun kemarin itu kalau tidak salah ada sekitar 36 titik,” ungkap dia kepada Ntbnews.com pada Senin (7/6/2021) lalu.
Indra menjelaskan, warga di wilayah yang sebelumnya tak mengalami kekeringan, tahun ini meminta bantuan air bersih.
“Dan yang unik dan aneh itu warga di wilayah Kecamatan Parado sudah meminta air bersih. Itu sedihnya. Padahal Parado itu selama ini belum pernah kekeringan,” beber Indra.
Ia menjelaskan, berdasarkan data dan laporan yang diperoleh BPBD, ada beberapa desa di Kabupaten Bima yang kini meminta bantuan air bersih, antara lain Desa Rade, Karumbu, Waworada, Rompo, dan Runggu.
“Itu titik kekeringan yang sudah kita eksekusi. Kami terus memantau perkembangan atau laporan, baik dari media sosial, pemerintah desa setempat, dan juga dari masyarakat,” jelas Indra.
Dia mengatakan, pihaknya sudah mengambil beberapa langkah untuk mengantisipasi terjadinya kekeringan yang semakin luas, seperti pengeboran di 30 titik yang mengalami kekeringan.
“Tahun kemarin kami sudah melakukan pengoboran air dangkal sekitar 30 titik yang sebarannya di seluruh wilayah Kabupaten Bima yang terdampak kekeringan,” katanya.
Salahudin, pengeksekusi pengeboran air dangkal tersebut, membeberkan titik-titik yang sudah dilakukan pengeboran, di antaranya Desa Nisa, Naru, Waduwane, Donggobolo, dan Dadibou.
Baca juga: Mengurai Problem dan Solusi Penanggulangan Banjir di Bima
Selain itu, ada pula Desa Poja, Kowo, Rasabou, Parangina, Na’e, Rai Oi, Sangia, Nggembe, Tambe, Darussalam, Tumpu, Sanolo, Rada, Bontokape, dan Timu.
Sementara itu, Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Bima, Amirudin mengatakan, hasil pengeboran air untuk setiap kelompok warga telah dimanfaatkan oleh dua sampai lima keluarga dalam satu titik.
Pihaknya berencana melanjutkan program tersebut. Namun pandemi Covid-19 telah mengakibatkan rencana itu urung dilaksanakan karena keterbatasan anggaran.
“Kita keterbatasan anggaran. Semuanya di-refocusing. Anggaran yang sedianya kami hajatkan untuk kelanjutan program pengeboran air dalam, namun karena adanya pandemi Covid-19, sehingga tidak bisa dilaksanakan tahun ini,” jelas Amirudin.
Dia mengatakan, sejauh ini pemanfaatan air bor di 30 titik itu dapat berjalan dengan baik. Belum ada laporan kerusakan. Tak ada pula keluhan dari warga.
Warga di setiap titik bor tersebut memiliki tanggung jawab untuk menjaganya agar air terus mengalir di rumah-rumah mereka. “Sampai saat ini cara itu masih dirasa efektif,” ucap Amirudin.
Selain pengeboran air, BPBD Kabupaten Bima sudah mencoba melakukan pengadaan fasilitas penampungan air di beberapa titik yang membutuhkan air bersih.
Pengadaan penampungan air tandon itu akan terus diperluas di Kabupaten Bima. “Target ritnya lebih dari sebelumnya dalam sehari dropping,” tambah Indra.
Ia menambahkan, titik kekeringan dapat dipersempit, bahkan bisa dihentikan, bila warga tak melakukan eksploitasi lahan secara besar-besaran. Pasalnya, eksploitasi lahan telah mengakibatkan kekeringan berkepanjangan.
“Penyangga air seperti tanaman dan hutan itu sama-sama kita jaga. Bukan hanya pemerintah yang menjaganya. Semua unsur itu ikut menjaga,” imbuh Indra.
Penyebab dan Solusi
Pengamat iklim di Kabupaten Bima, Rosmiati mengatakan, anomali iklim telah mengakibatkan kekeringan di daerah tersebut.
Kata dia, hal ini tak banyak dibicarakan pemerintah dan masyarakat di kabupaten yang terletak di Pulau Sumbawa ini. Pemahaman tentang anomali iklim pun tergolong minim.
Rosmiati menyebutkan, sebagian besar pemangku kepentingan di sektor pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan, serta kesehatan lebih tertarik membahas dampak anomali iklim.
Sejatinya, anomali iklim adalah pergeseran musim dari rata-rata normalnya. Ada empat faktor yang menjadi penyebabnya: anomali suhu permukaan laut nino 3.4; arah angin; perbedaan tekanan uap air antara Darwin dan Tahiti, serta Indian Ocean Dipole Mode (IOD).
“Anomali iklim akan semakin besar apabila keempat faktor dominan bekerja secara simultan di wilayah yang sama pada musim hujan maupun kemarau,” jelas dia.
Musim di Indonesia didasarkan pada kondisi curah hujan yang tercatat. Ada tiga pola hujan di Indonesia: pola monsunal, pola ekuatorial, dan pola lokal. Musim hujan di Indonesia untuk wilayah dengan pola monsunal biasanya terjadi antara bulan Oktober-Maret dan musim kemarau terjadi pada April-September.
Pada saat anomali iklim, musim hujan ataupun kemarau bisa maju ataupun mundur dari biasanya. Wilayah dengan pola monsunal merupakan wilayah yang paling terpengaruh kejadian anomali iklim, termasuk Kota Bima dan Kabupaten Bima.
“Jadi, penyebab kekeringan di Kabupaten Bima sangat terpengaruh oleh anomali iklim, karena termasuk daerah dengan pola hujan monsunal. Pada bulan Juni ini Kabupaten Bima beriklim kering. Puncaknya adalah bulan Juli,” jelasnya.
Anomali iklim, lanjut dia, merupakan siklus tahunan. Apabila siklus ini tidak dipahami oleh masyarakat, maka akan terjadi bencana alam. Masyarakat Bima pun akan mengalami kerugian besar.
Ketika memasuki musim basah atau hujan, biasanya masyarakat menjalankan kebiasaan “ngoho doro” atau penebangan pohon secara liar.
“Sehingga saat memasuki musim kering atau musim kemarau, pohon yang berfungi sebagai penyimpanan air tidak ada, maka terjadilah kekeringan yang parah,” katanya.
Ia menekankan, kekeringan dapat ditanggulangi dengan pengetahuan memadai. Pengetahuan tentang anomali iklim sangat dibutuhkan masyarakat karena ini merupakan kunci utama dalam memahami perubahan iklim.
“Dengan demikian, masyarakat akan lebih siap dan lebih siaga dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang tidak menentu,” jelasnya.
Mengutip Acaps (2016), Rosmiati mengatakan, masyarakat Indonesia, khususnya di Kabupaten Bima, harus membuat skenario dan gambaran sebagai upaya memprediksi situasi iklim masa depan serta meninjau kemungkinan dampak dan konsekuensi perubahan iklim.
Tujuannya, agar masyarakat bisa merencanakan, mengantisipasi, memantau, mengawasi, dan menciptakan kesadaran peringatan kesiapan dini bencana alam seperti kekeringan.
“Tidak hanya masyarakat secara umum, terlebih lagi para pemangku kepentingan yang terlibat di berbagai instansi,” saran Rosmiati. (*)
Penulis: Arif Sofyandi, Nur Hasanah, & Ikbal Hidayat
Editor: Ufqil Mubin