KELANGKAAN pupuk acap dirasakan para petani di Bima saban tahun. Memasuki masa tanam, terbitlah tanda-tanda minimnya pasokan pupuk di pasar. Hal ini berlanjut hingga para petani ingin memupuk tanamannya.
Puncaknya, pada 11 Januari lalu, warga Desa Rabakodo, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, mengadang truk pengangkut pupuk untuk jatah pengecer di Kecamatan Parado. Tiga truk pupuk itu diadang di Jalan Lintas Bima-Parado pada pukul 15.35 Wita.
Aksi warga ini sebagai buntut dari janji CV Rahmawati yang akan mendistribusikan pupuk di Rabakodo dan Parado. Namun pupuk tak kunjung datang ke desa tersebut. Distributor ini hanya mengirim pupuk ke Parado.
“Para petani dan masyarakat Desa Rabakodo menunggu di gudang pupuk UD Muhtar yang merupakan tempat pengecer pupuk H Ismail. Namun sampai pada sore hari tidak kunjung tiba,” terang Kasubbag Humas Polres Bima, AKP Hanafi, Selasa (12/1/2021).
Harga Selangit
Keluhan terhadap kelangkaan pupuk tidak hanya datang dari warga Rabakodo. Tetapi juga muncul di sejumlah desa yang menjadi sentra pertanian di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sukran (27), warga Desa Kaleo, Kecamatan Sape, mengaku setiap tahun suplai pupuk di desanya kerap tak sesuai dengan kebutuhan para petani. Akibatnya, mereka harus membeli pupuk dengan harga yang memberatkan petani.
Ia membeli pupuk dari pengecer dengan harga Rp 150 ribu per sak. Di lain waktu, jika harga pupuk sedang naik, Sukran merogok kocek lebih dalam. Pengecer menjualnya dengan harga Rp 200 ribu per sak. “Itu sangat memberatkan petani,” kata dia kepada NTBnews.com, Senin (18/1/2021).
Sukran mengurai, saban tahun ia menanam padi, jagung, dan bawang merah. Praktis, kebutuhan pupuknya relatif banyak. Dia mencontohkan, dalam setiap hektare tanaman jagung dibutuhkan 10 sak pupuk urea dan 4 sak pupuk NPK.
Hal yang sama disampaikan Fahrudin (35). Warga Desa Ntonggu, Kecamatan Palibelo. “Kami di sini bukan kekurangan pupuk, tetapi sangat langka pupuk,” tegasnya pada Selasa (19/1/2021).
Ia memiliki lahan 1 hektare. Fahrudin menanaminya dengan padi, jagung dan kacang. Saat ini ia sedang menanam padi dan jagung.
Setiap tanaman yang ditanamnya dipupuk dengan pupuk urea dan NPK. Dia membelinya dengan harga Rp 150 ribu per sak. Namun, setiap kali pupuk datang ke pengecer, Fahrudin saling berebut dengan para petani lain.
“Tidak ada pupuk yang kami dapatkan dari pemerintah. Kecuali dari pengecer. Itu pun tidak ada. Pupuknya langka,” kata Fahrudin.
Pasokan Cukup
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Disperbun) Kabupaten Bima Indra Jaya mengakui adanya pengadangan truk pengangkut pupuk oleh warga. Hal itu tidak hanya terjadi di Rabakodo. Tetapi juga di Desa Bolo, Kecamatan Madapangga.
Indra menyebut, pengadangan truk itu disebabkan para petani sangat membutuhkan pupuk. Sementara stoknya tidak tersedia di pasar. “Petani sangat mendesak kebutuhan untuk pupuk jagung mereka,” kata dia pada Rabu (13/1/2021).
Dia menegaskan, kebutuhan pupuk cukup untuk para petani di Bima. Tak ada kelangkaan di kabupaten tersebut. Masalahnya, penyaluran pupuk terlambat.
Karena itu, Indra meminta distributor pupuk agar cepat menyalurkannya ke pengecer. Sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Sehingga kebutuhan pupuk warga bisa terpenuhi.
Ia juga meminta warga bersabar. Tidak mengambil jatah pupuk warga dari wilayah lain karena jatah masing-masing kecamatan sudah ditetapkan. Warga tinggal menunggu penyalurannya.
Selain itu, distributor didesak meminta bantuan kepada aparat TNI dan Polri untuk mengawal serta mengamankan proses penyaluran pupuk di semua wilayah demi mengantisipasi kemungkinan pengadangan truk di jalan. “Jangan sampai kejadian di Desa Bolo kembali terulang,” ujarnya.
Indra menambahkan, tahun ini Kabupaten Bima mendapat jatah pupuk subsidi sebanyak 40.395 ton. Hanya saja harganya naik. Semula dijual Rp 1.800 per kilogram (kg), tapi sekarang dipatok dengan harga Rp 2.250 per kg. Naik Rp 450 per kg. “Kenaikan ini berdasarkan ketentuan pemerintah pusat,” pungkasnya.
Setumpuk Masalah
Kata “tidak ada kelangkaan pupuk” dari Indra sejatinya bertentangan dengan fakta di lapangan. Pengadangan truk pengangkut pupuk di Rabakodo dan Bolo tersebut menjelaskan fakta benderang tentang “hilangnya” pupuk di pasar.
Praktisi pertanian yang juga aktivis DPD Bardam Nusa Kabupaten Bima Muhammad Nur Dirham mengungkap sejumlah fakta di balik problem kelangkaan pupuk di kabupaten yang terletak di bagian timur NTB tersebut.
Kelangkaan pupuk di Bima adalah problem musiman. Hal itu dirasakan oleh sebagian besar petani di 18 kecamatan. Keterlambatan distribusi pupuk saja akan berimbas pada 80 persen warga Bima yang berprofesi sebagai petani. “Pupuk adalah kebutuhan yang paling mendasar untuk para petani. Semua petani membutuhkannya,” kata dia.
Pria yang karib disapa Noris itu menegaskan, kelangkaan pupuk di Bima bisa diminimalisasi bila Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) mengawal secara maksimal proses penyaluran pupuk dari kabupaten hingga pengecer.
KP3 diketuai oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Bima. Anggotanya meliputi Kapolres, Dandim, Kejaksaan, dan beberapa unsur lain di Kabupaten Bima. Kemudian di kecamatan diketuai oleh camat. Anggotanya Kapolsek, Danramil, dan lainnya. Sedangkan di tingkat desa diketuai oleh kepala desa.
Pengawasan berjenjang dari tingkat kabupaten hingga desa dari KP3 tersebut sangat penting. “Karena sebenarnya masalah ini ada di pengawasan KP3,” imbuh Noris.
Tahun ini, lanjut dia, pemerintah pusat melalui PT Pupuk Kaltim menambah jatah pupuk untuk Kabupaten Bima. Khususnya pupuk bersubsidi. Tak terkecuali pupuk urea yang paling banyak dibutuhkan para petani di Bima.
Pemerintah pusat pun telah menggelontorkan anggaran yang relatif besar untuk subsidi pupuk. Tidak hanya untuk pupuk urea. Tetapi juga NPK, SP-36, ZA, dan pupuk organik.
“Tetapi yang ada di lapangan hanya pupuk urea yang kelihatan disubsidi. Pupuk yang lain hampir tidak kelihatan ada yang disubsidi. Mungkin tidak begitu signifikan dibutuhkan seperti pupuk urea,” jelasnya.
Kelompok Tani Siluman
Noris juga menemukan fakta lain. Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) setiap petani hanya dijatah 50 kg atau 1 sak pupuk urea untuk setiap hektare lahan yang digarapnya.
Penentuan jatah tersebut sangat jauh dari kebutuhan petani. Pasalnya, setiap hektare lahan khusus untuk tanaman padi membutuhkan 2-3 sak pupuk urea.
Ada pula masalah pendataan. Noris menjelaskan, terdapat banyak “kelompok tani siluman” yang terkaver dalam RDKK. Indikatornya, ia mencontohkan, RDKK di Kecamatan Lambitu lebih banyak dibandingkan di Kecamatan Belo. Padahal Lambitu hanya memiliki warga sekitar 2.000 KK. Sementara Belo mempunyai warga sekira 10.000 KK.
“Dalam RDKK itu, Kecamatan Lambitu ada 3.000. Sedangkan RDKK untuk Kecamatan Belo tidak sampai 3.000. Di sinilah salah satu ruang sehingga pupuk itu tidak jarang dijual di pasar-pasar tradisional,” jelasnya.
Pasar-pasar tradisional seperti Pasar Tente dan Pasar Sila menjual pupuk bersubsidi. Jika didasarkan RDKK setiap desa, maka seyogianya pupuk bersubsidi tidak dijual di pasar-pasar tradisional.
Ia mencontohkan RDKK untuk para petani di Desa Ncera. RDKK di desa tersebut tidak mungkin terkaver oleh Pasar Tente. Tetapi faktanya, para petani dari Ncera bisa membeli pupuk di Pasar Tente.
“Dari mana pupuk ini sehingga bisa dijual di pasar tradisional? Kesimpulan saya secara pribadi, KP3 yang memiliki tugas dan wewenang untuk mengawasi penyaluran pupuk ini tidak maksimal,” tegas Noris.
Harga Tak Normal
Noris menjelaskan, berdasarkan keputusan pemerintah, Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk urea bersubsidi dengan berat 50 kg harus dijual Rp 112.500. Harga ini sudah di tingkat petani. Hal ini merujuk pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020.
Kenyataannya, masih ditemukan pengecer yang menjual pupuk urea Rp 150 ribu per sak. Di beberapa tempat bahkan ditemukan pengecer yang menjualnya Rp 200 ribu per sak. “Padahal sudah jelas harganya tidak boleh di atas HET,” tegas dia.
Di tingkat pengecer, Noris juga menemukan fakta bahwa para petani diwajibkan membeli pupuk dalam bentuk paket. Dalam sejumlah kasus, para petani disuguhkan paket pupuk berupa urea dan NPK. Kasus ini mencuat sejak 2020. Petani membeli 2 sak pupuk urea bersubsidi ditambah 20 kg pupuk non-subsidi dengan harga Rp 430 ribu.
Berdasarkan hasil rapat Komisi II DPRD Kabupaten Bima pada 8 Januari 2021, para pengecer dilarang menjual pupuk subsidi dan non-subsidi di atas HET. Wakil rakyat juga meminta para pedagang tidak lagi menjajakan pupuk dengan cara paket.
“Distributor kalau mau menjual pupuk non-subsidi harus menyediakan kios khusus,” ujar Staf Ahli Komisi II DPRD Kabupaten Bima, Hidayaturrahman.
Benang Merah
Ketua KP3 Kabupaten Bima, Taufik berpendapat, kelangkaan pupuk terjadi disebabkan permintaan yang terus meningkat dan melebihi ketentuan pemerintah. Contohnya, petani yang masuk dalam RDKK hanya mendapatkan jatah satu sak pupuk. Tetapi kenyataannya petani tersebut menginginkan dua sak pupuk.
Masalah lain, munculnya para petani yang membeli pupuk di luar RDKK. Terutama sejumlah petani yang menggarap lahan di area pegunungan. Mereka sejatinya tidak masuk dalam RDKK. Penentuan penyaluran pupuk bersubsidi berdasarkan RDKK ini karena kuota pupuk dari pemerintah terbatas.
Ada ketentuan bagi petani untuk mendapatkannya. Harus terdaftar di RDKK. Praktik penjualan pupuk subsidi di luar ketentuan bisa dipidana. “Jika ada praktik semacam ini laporkan saja secepatnya,” pungkas dia.
Pengakuan Taufik tersebut menguatkan dugaan Noris bahwa terdapat masalah dalam RDKK dan penyaluran pupuk ke petani. Ia pun meminta pemerintah daerah mengevaluasi RDKK. Pasalnya, inilah pangkal dari masalah kelangkaan pupuk di Kabupaten Bima. “Dalam hal ini, fungsi pengawasan KP3 harus maksimal,” imbuhnya.
Selain itu, KP3 juga diminta mengawasi penjualan pupuk bersubsidi agar sesuai HET yang telah ditetapkan pemerintah. Hidayaturrahman menambahkan, berdasarkan rapat Komisi II DPRD Kabupaten Bima, para pengecer wajib memasang spanduk yang berisi daftar harga pupuk bersubsidi dan non-subsidi berdasarkan HET. (*)
Penulis: Arif Sofyandi
Editor: Ahmad Yasin Maestro