Bima, ntbnews.com – Peneliti Charta Politika Indonesia, Mawardin menjelaskan, istilah dinasti politik merujuk pada kelompok keluarga yang anggota keluarganya memegang kekuatan politik formal lebih dari satu generasi.
Dinasti politik tidak hanya terjadi di Kabupaten Bima. Tetapi juga terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia, nasional, bahkan di negara-negara lain.
Di Amerika Serikat (AS) terdapat dinasti George Bush, John Adams, dan John F. Kennedy. Di Asia Selatan, khususnya di India, ada dinasti Mahatma Gandhi dan dinasti Jawaharlal Nehru yang menguasai Kongres Nasional India.
Di beberapa negara Asia Tenggara juga terdapat dinasti politik, seperti Malaysia, dinasti Abdul Razak Hussein; Singapura, Lee Kuan Yew; Thailand, Yingluck Shinawatra; di Filipina ada dua dinasti: Ferdinand Marcos dan Benigno Aquino.
Kata Mawardin, tonggak sejarah dinasti politik di Indonesia mulai terbentuk pada masa Orde Baru. Saat itu Presiden Soeharto menunjuk anaknya, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut), menjadi Menteri Sosial, meskipun berlangsung hanya beberapa bulan sebelum Soeharto tumbang akibat gerakan Reformasi.
Sementara awal terbentuknya dinasti politik di daerah yakni saat bergulirnya otonomi daerah yang berimplikasi pada terbukanya keran dinasti politik, lantaran terjadi desentralisasi kekuasaan.
Beberapa studi menyebutkan, dinasti politik juga terjadi melalui jaringan yang luas: organisasi kemahasiswaan, almamater, kelompok etnis, kelompok tertentu, jejaring oligarki dan lain-lain. Hal ini dianggap alamiah. Ketika ada kekuasaan, maka secara otomatis akan dipertahankan dan diperluas.
Puncak sorotan terhadap dinasti politik di Indonesia ketika Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten, terjerat kasus korupsi. Karena sangat rawan penyimpangan, maka kontrol masyarakat sipil atau civil society, termasuk media massa, serta pendidikan politik terhadap pemilih sangat diperlukan di pusat dan daerah.
Dinasti Politik di Bima
Pembentukan elite politik di Bima dimulai dari elit bangsawan, agama, dan pengusaha. Pada masa transisi, representasi elite bangsawan diwakili Abdul Kahir II atau Putra Kahir.
Salah satu efek dinasti politik di Bima yakni pada masa Orde Baru, penunjukan Muhidin Azis oleh pemerintah pusat untuk menjadi kepala daerah di Bima ditentang keras oleh tokoh-tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal ini dianggap sebagai usaha melawan pemerintahan Orde Baru.
Pada 1972, terjadi perlawan lokal atas monopoli kekuasaan oleh pemerintahan Soeharto yang dikenal sebagai Peristiwa Donggo. Saat itu masyarakat Bima menuntut pemerintah pusat agar menunjuk Putra Kahir yang notabene putra daerah untuk menjadi kepala daerah ketimbang elit-elit militer yang didatangkan dari pusat.
Soeharto yang dikenal sebagai elite politik Partai Golkar melakukan ekspansi politik di tanah Bima dengan mengangkat keturunan bangsawan untuk menjadi pengurus Partai Golkar.
Karena itu, tak butuh waktu lama bagi Ferry Zulkarnain untuk menduduki jabatan publik. Ia menjabat sebagai anggota DPRD Bima pada 1997 dan Ketua DPRD Kota Bima tahun 2002. Pada Pilkada 2005, Ferry yang berpasangan dengan Usman AK terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bima.
Tak hanya di Kabupaten Bima, di Kota Bima pun terdapat dinasti politik yang dibangun keluarga Abidin. Kemudian dilanjutkan Qurais, yang selanjutnya menunjuk Arahman sebagai wakilnya.
Kelompok yang kontra menganggap dinasti politik terlalu mengooptasi dan mendominasi sumber daya politik dan ekonomi di daerah. Mereka pun menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Pilkada.
“Meskipun akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi yang diajukan karena dianggap membendung hak konstitusi warga negara,” jelas Mawardin dalam Bincang Tentang Politik Daerah yang diadakan ntbnews.com baru-baru ini.
Sikap ini tentu saja berbeda dengan kelompok yang terbuka terdapat dinasti politik. Mereka tidak menganggapnya sebagai masalah. Tetapi mereka menilai dari segi kinerja pada saat menjabat, serta sejauh mana signifikansi perannya sebagai kepala daerah dapat membawa kesejahteraan bagi orang banyak.
Penyebab dan Efek Dinasti Politik
Budaya politik di Bima terbentuk dan terpelihara melalui relasi patron and client. Misalnya budaya masyarakat Bima yang tidak bisa dibantah.
Selain itu, dari segi Sumber Daya Manusia (SDM), Indeks Demokrasi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan perekonomian masih terbatas. Akibatnya, terjadi ketimpangan hubungan antara masyarakat dan pemerintah. Sehingga terjadi simbiosis mutualisme: mendukung dan memberikan sesuatu atau politik transaksional.
Mawardin menjelaskan, partai politik memiliki nalar dan watak elektoral yang selalu ingin memenangkan pertarungan. “Sehingga mereka memilih kandidat yang akan diusung atas dasar popularitas dan elektabilitas,” jelasnya.
Selain itu, partai politik hanya memilih calon yang memiliki basis massa yang mengakar dan militan serta loyalis yang terkonsolidasi, dan jumlah “sumber daya ekonomi” yang disetorkan ke partai politik.
“Kita tidak bisa menyalahkan politik dinasti. Tapi di saat yang sama juga harus mendorong reformasi internal partai politik, termasuk kaderisasi dan lain-lain, agar lebih setara, karena Indonesia menganut sistem demokrasi terbuka,” sarannya.
Teranyar, survei Litbang Kompas 2020 menyebutkan, 69,1 persen pemilih mau memilih calon yang berasal dari dinasti politik dengan syarat ia memiliki kemampuan. Hal ini membuat penantang dinasti politik kewalahan. Selain tak memiliki kekuatan dinasti, juga kurang kompeten.
Dalam kacamata sebagian besar masyarakat, tokoh yang berasal dari keturunan tertentu yang pernah memimpin dan menguasai daerah dianggap layak meneruskan estafet kepemimpinan daerah.
Kata Mawardin, hal inilah yang dimaksud mentorship atau “pengaderan informal”. Akan tetapi, dalam proses pemilihan, pemilih tetap diberikan wewenang besar dalam melakukan evaluasi dan penilaian terhadap calon.
Apabila dinasti politik tidak membawa dampak yang signifikan terhadap pembangunan, maka penggantian pemimpin nasional ataupun daerah dapat dilakukan melalui “pengadilan rakyat” saat kontestasi pemilu ataupun Pilkada.
“Catatan penting saya, harus ada keseimbangan dari civil society, media, dan organisasi kemahasiswaan. Ke depan kita harus betul-betul mengkritik secara konseptual dan terukur,” imbuhnya. (*)
Penulis: Ikbal Hidayat
Editor: Ufqil Mubin