Post ADS 1

Sultan Salahuddin: Pengusir Belanda dan Jepang dari Tanah Bima

PADA siang yang terik di tanggal 14 Juli 1889, takhta Kesultanan Bima menyambut kelahiran seorang bayi laki-laki yang kelak diberi nama Muhammad Salahuddin. Ia lahir dari buah cinta Sultan Ibrahim dan Fatimah Binti Lalu Yusuf Ruma Sakuru.

Sultan Salahuddin dilahirkan ke dunia saat sang ayah masih berusia 27 tahun atau delapan tahun setelah Sultan Ibrahim dilantik sebagai pewaris takhta Kesultanan Bima menggantikan kakaknya, Sultan Abdul Aziz, pada 1881.

Lahir dan besar di istana membuat Sultan Salahuddin memiliki keberuntungan tersendiri karena ia bisa berkembang dengan baik. Saat sebagian besar masyarakat Bima belum mengenyam pendidikan yang memadai, dia sudah menerima fasilitas pembelajaran yang mumpuni di lingkungan istana.

M. Hilir Ismail dan Alan Malingi dalam Jejak Para Sultan Bima mengungkapkan, sejak usia kanak-kanak Sultan Salahuddin telah mendapatkan pendidikan agama dan ilmu pemerintahan dari ulama dan pejabat istana. Sejalan dengan perkembangan umurnya, ia menekuni ilmu tauhid serta politik.

Sementara itu, Ismail lewat bukunya Peran Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, mencatat, Sultan Salahuddin telah memperoleh pendidikan dan pelajaran agama dari para ulama terkenal, antara lain H. Hasan Batawi dan Syech Abdul Wahab, Imam Masjidil Haram Mekkah.

Kelak, berkat pendidikan yang diterima dan ditekuninya selama berada di lingkungan istana Kesultanan Bima, juga karena keluasan ilmu agamanya, Sultan Salahuddin mengarang buku Nurul Mubin, yang belakangan dicetak dua kali oleh penerbit Siti Syamsiah Solo.

Pendidikan dan pengalaman panjang yang didapatkannya di istana mengantarkannya menjadi pewaris takhta Kesultanan Bima dari ayahnya, Sultan Ibrahim, di saat Bima sedang berada dalam gejolak penjajahan Belanda pada tahun 1917.

Usaha Pengusiran Belanda

Ismail menjelaskan, pada awal Perang Dunia II, Jepang selalu memperoleh kemenangan gemilang. Sekutu pun tidak berdaya menahan arus kemenangan Jepang di Asia Tenggara. Pada 9 Maret 1942, Jenderal Ter Poorten, Panglima Tertinggi Angkatan Darat di Jawa, menyerah tanpa syarat. Dengan demikian, Indonesia, termasuk Kesultanan Bima secara de jure menjadi jajahan Jepang. Walau secara de facto Jepang baru datang ke Bima pada 17 Juli 1942.

Kekalahan Sekutu terhadap Jepang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh pemuda Bima seperti Mahmud Kashmir, Amin Daeng Emo, Muhammad Abdul Wahab, Abdul Aziz Ruma Parenta, serta beberapa tokoh lainnya untuk membentuk panitia aksi menyerang dan menangkap orang-orang Belanda.

“Kehadiran dua orang pilot Belanda pada tanggal 30 Maret 1942, yang mampir di Bima dalam perjalanannya dari Kendari menuju Australia, menambah panasnya situasi. Dua pilot itu menembak secara membabi buta terhadap perahu Madura dan Jawa yang menolak permintaan mereka untuk mengantarkannya ke Australia,” jelas Ismail di buku Peran Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara.

Akibat tindakan semena-mena dari kedua pilot itu, pada 5 April 1942, para pemuda dibantu oleh beberapa orang dari tentara Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) dan polisi menyerang obyek-obyek penting Belanda. Mereka menyerang tangsi polisi dan berhasil menangkap penghuninya.

Ismail mengungkapkan, penyerangan yang dipimpin oleh Aritonang, Muhammad Kashmir, dan kawan-kawan berhasil menguasai pemancar radio dan sentral telepon. Karena rahasia penyerangan sempat diketahui oleh sebagian orang Belanda, di antara mereka pun ada yang melarikan diri ke Lombok Timur.

Keberhasilan para pemuda dalam penyerangan tersebut, lanjut Ismail, merupakan peristiwa yang mengakhiri kekuasaan Belanda di Bima. Sejak 5 April 1942, kekuasaan pemerintah dipegang oleh Sultan Salahuddin.

Namun demikian, para penguasa dan pejabat Belanda yang berhasil meloloskan diri dari sergapan para pemuda segera menyusun kembali kekuatan untuk menyerang Kesultanan Bima. Mereka menghimpun kekuatan bersama pasukan Belanda di Selong, Lombok Timur, dan Sumbawa Besar.

Kata Ismail, rencana penyerangan mereka tercium oleh dua orang kurir Kesultanan Bima di Sumbawa Besar. Hakim Hantabi dan Soewondo yang bertugas sebagai kurir itu menelepon M. Nor Amin Jeneli Kempo untuk menyampaikan informasi mengenai rencana penyerangan Belanda ke Bima.

Setelah menerima informasi mengenai penyerangan Belanda, Sultan Salahuddin menghimpun kekuatan dan mengatur strategi penyerangan. Ia membentuk laskar yang beranggotakan para pemuda yang dibantu oleh beberapa tentara KNIL dan polisi Belanda yang berjiwa nasionalis di bawah pimpinan Aritonang.

Ismail menyebutkan, pada 30 April 1942, di kala malam semakin gelap, laskar Kesultanan Bima tiba di Jambata Kampaja yang terletak di Desa Sori Utu. Dari kejauhan, mereka melihat sorotan lampu mobil pasukan Belanda.

Di kala malam gelap gulita, terjadilah pertempuran sengit antara laskar Kesultanan Bima dengan pasukan Belanda. Laskar kesultanan melawan para penjajah itu dengan senjata yang sangat sederhana. Meski begitu, menjelang fajar pasukan Belanda semakin terdesak. Akhirnya mereka melarikan diri ke Sumbawa Besar.

Saudara Tua yang Beracun

Tiga tahun sebelum Indonesia merdeka, Jepang menginjakkan kakinya pertama kali di Kesultanan Bima. Kolonel Saito, pemimpin dari pasukan Jepang datang dengan wajah simpatik. Sultan Salahuddin menyambutnya dengan suka cita laksana kehadiran kakak yang menolong adik yang sedang dilanda duka nestapa.

Sebelum datang ke Indonesia, Radio Jepang sudah mengumandangkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya disertai janji-janji dari Nippon: saudara tua akan menjadi pemimpin, pelindung, dan cahaya bagi adik-adiknya di seluruh Asia yang sedang hidup dalam penjajahan bangsa-bangsa Barat.

Kenyataannya, kata Ismail lewat Peran Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, janji muluk dari saudara tua yang bermata sipit itu tidak lain dari racun berbisa yang dapat membunuh dan merusak kehidupan bangsa Indonesia. Jepang tak lebih dari penjajah yang ganas dan serakah.

Kata Ismail, Jepang sebagai saudara tua yang berkepala dua dengan polisi militernya (kempetai) menyiksa dan membunuh rakyat yang tidak berdosa. “Sultan dan seluruh rakyat mulai membenci Jepang, tetapi sulit untuk melakukan perlawanan karena situasi dan kondisi amat menguntungkan Jepang,” jelasnya.

Ismail & Alan dalam Jejak Para Sultan Bima mencatat, dalam situasi mencekam itu muncul permintaan tentara Jepang kepada Sultan Salahuddin agar menyerahkan gadis-gadis Bima untuk menjadi pelayan seks.

Sultan Salahuddin diam-diam menolak permintaan tersebut. Ia bersama tokoh-tokoh Bima kemudian memberlakukan nikah massal yang dikenal dengan kawin berontak (nika baronta). Para orang tua menikahkan anak-anak gadis mereka dengan laki-laki dari keluarga dekat maupun jauh. Pernikahan dilakukan dengan cara sederhana di rumah-rumah warga. Para penghulu pun sibuk naik turun dari satu rumah ke rumah lainnya untuk melaksanakan pernikahan.

“Pamor Jepang dalam Perang Dunia II semakin pudar dan hilang. Pada tahun 1945 kedudukan Jepang semakin sulit, di semua front tentara Sekutu berhasil melumpuhkan kekuatan dan keserakahan Jepang di Indonesia pada umumnya, di Kesultanan Bima pada khususnya,” jelas Ismail.

Pada 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu. Hal ini menimbulkan kekosongan kekuasaan di Indonesia. Tiga hari kemudian, momentum ini dimanfaatkan oleh Soekarno-Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Gema kemerdekaan yang didengungkan Soekarno-Hatta barulah terdengar di Kesultanan Bima pada 2 September 1945. Gubernur Sunda Kecil, I. Gusti Ketut Puja mengirimkan utusan untuk menyampaikan berita proklamasi kemerdekaan pada Sultan Salahuddin.

Seruling Duka Kesultanan

Permaisuri Sultan Muhammad Salahuddin. (Istimewa)

Enam tahun setelah Jepang diusir dari Kesultanan Bima, kesehatan Sultan Salahuddin kian menurun. Pada 11 Mei 1951, Ismail & Alan mencatat, Kapal Bonteku membentangkan layar dari pelabuhan Bima menuju Jakarta. Isak tangis mengiringi sendunya sunyi seruling Bonteku yang membawa Sultan Salahuddin dan keluarganya untuk berobat ke Jakarta.

Seminggu kemudian, Sultan Salahuddin tiba di Jakarta. Ia dibawa ke Rumah Sakit Cikini. Dia dirawat selama dua bulan. Menjelang Idulfitri, ia diizinkan keluar dari rumah sakit tersebut. Tetapi di luar dugaan, kesehatannya kembali memburuk. Dia dibawa lagi ke Rumah Sakit Cikini. Namun pada 11 Juli 1951, di usianya yang ke-62 tahun, nyawanya tak tertolong.

Kabar kematian Sultan Salahuddin sampai ke Istana Negara. Presiden Soekarno pun menyampaikan rasa duka cita kepada keluarga sultan yang pernah menikah dengan Siti Aisyah itu, putri Sultan Dompu Muhammad Sirajuddin.

Ia meninggalkan anak-anak perempuan dari buah cintanya dengan Siti Maryam Binti Muhammad Qurais, antara lain Siti Fatimah, Siti Aisyah, Siti Hadijah, Siti Kalisom, dan Siti Saleha.

Sementara pernikahannya dengan Siti Aisyah menghasilkan lima orang anak: Siti Maryam, Siti Halimah, Siti Jahara, dan Abdul Kahir yang kelak menggantikannya dari takhta kekuasaan Kesultanan Bima. (*)

Penulis: Ahmad Yasin Maestro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *