TIGA ratus enam puluh satu tahun yang lalu, bertepatan dengan hari ini, 8 Juni 1660, perang berkecamuk antara Kerajaan Makassar dan Kerajaan Bima dengan Belanda di Benteng Somba Opu, yang bertempat di ibu kota Makassar kala itu. Perang ini menandai babak kerja sama antara dua negara pra-kemerdekaan Indonesia melawan kolonialisme Belanda.
Kala itu, Bima dipimpin oleh Sultan Abil Khair Sirajuddin. Sementara Makassar dinakhodai Sultan Hasanuddin. Keduanya memiliki ikatan kekerabatan karena pada 13 September 1646, Sultan Khair menikahi saudara Sultan Hasanuddin yang bernama Karaeng Bonto Je’ne. Karena itu, Bima dan Makassar diikat oleh persamaan politik, agama, dan darah.
Dua hari sebelumnya, armada Belanda yang datang dari Ambon tiba di Pelabuhan Somba Opu. Penyerangan yang dilakukan pasukan kolonial itu sebagai respons atas gentingnya hubungan dua kesultanan tersebut dengan pemerintahan Belanda.
Sebelum itu, Sultan Khair pernah menyampaikan kemarahannya kepada Belanda melalui Sultan Hasanuddin karena penyerangan yang dilakukan pasukan Belanda terhadap Bima mengakibatkan 400 orang laskar kesultanan di Pulau Sumbawa itu meninggal dunia.
“Kemarahan Sultan semakin memuncak karena Belanda tidak mau membayar ganti rugi atas kerugian Bima tersebut. Hal ini juga mengundang kemarahan Sultan Hasanuddin,” jelas M. Hilir Ismail di bukunya yang berjudul Peran Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara sebagaimana dikutip ntbnews.com, Senin (7/6/2021) siang.
Sultan Khair meminta ganti rugi kepada Belanda. Namun permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh pemerintah kolonial. Dalihnya, Belanda tak menyerang Bima, melainkan hanya menginvasi daerah yang berbatasan dengan wilayah kesultanan tersebut.
“Dalam hal ini Belanda hanya mencari-cari alasan yang dibuat-buat. Karena kalau seandainya daerah yang diserang itu bukan wilayah Kesultanan Bima, maka jelas wilayah itu adalah milik Makassar. Jadi, Belanda sama saja sudah melanggar kedaulatan negara lain,” ungkap Hilir.
Enam tahun setelah perang itu berkecamuk, Kesultanan Makassar dan Kesultanan Bima menyerang Buton, yang bekerja sama dengan Belanda. Sultan Khair memimpin penyerangan bersama Panglima Angkatan Laut Kesultanan Gowa, Karaeng Bontomarannu. Dalam peperangan di perairan Buton ini, Raja Bicara La Mbila atau Abdullah mengalami luka parah dan tertawan di sebuah pulau, hingga akhirnya ia dinyatakan gugur.
Baca juga: 44 Tahun Takhta, Intrik, dan Cinta Sultan Hamid
Hubungan Bima dan Belanda di masa kepemimpinan Sultan Khair memanas disebabkan pasal-pasal khusus untuk Bima yang termuat dalam Perjanjian Bongaya. Dalam beberapa pasal disebutkan, Makassar dilarang membantu Bima secara langsung maupun tidak langsung, serta Sultan Hasanuddin didesak menyerahkan Sultan Khair kepada Belanda dalam tempo 10 hari. Jika ia tidak diserahkan, maka keluarga atau anak Sultan Khair akan ditawan.
Tekanan Belanda terhadap Sultan Hasanuddin tergolong berhasil. Ia menandatangani perjanjian tersebut. Isi perjanjian perdamaian Bongaya yang ditandatangani pada 18 November 1667 itu sangat merugikan Kerajaan Gowa.
Dampaknya, kedudukan lapisan bangsawan Gowa mengalami kemerosotan, baik dari segi sosial, ekonomi maupun politik. Hal ini disebabkan daerah-daerah taklukan Kerajaan Gowa yang merupakan medan kegiatan politik terpenting untuk memperluas pengaruh dan kekuasaannya, dan untuk mendapatkan sumber-sumber ekonomi dan kedudukan politik, telah beralih ke tangan Belanda.
Daerah-daerah taklukan Kerajaan Gowa yang diduduki pasukan kolonial dinyatakan sebagai wilayah kekuasaan Belanda. Wilayah kekuasaan langsung itu disebut pemerintahan Makassar (Gouverment van Makassar).
Kukuh dalam Penolakan
Sementara Sultan Khair menolak untuk tunduk pada traktat yang dinilai menguntungkan pemerintahan kolonial itu. Penolakan tersebut dicatat dengan sangat baik dalam Catatan Raja Gowa dan Tallo. Sultan Khair tak sendiri. Penolakan terhadap Penjanjian Bongaya juga dilakukan Bontomarannu. Keduanya mengekspresikan penolakan itu dengan cara menangkap setiap kapal Belanda yang berlayar ke Maluku atau pulang ke negara asalnya untuk membawa rempah-rempah yang mereka beli di Indonesia bagian timur.
Dalam situasi demikian, pada April 1668 Sultan Khair berlayar ke Mandar, Sulawesi Selatan. Ia hendak menjalin kerja sama dengan Raja Balanipa. Sultan Bima dengan Bontomarannu terus menggalang persatuan guna melawan Belanda.
Perjuangan Sultan Khair tak berjalan mulus. Sikap kakaknya, Abdul Rahim Ruma Bicara, yang ditunjuk sebagai Pejabat Sultan saat Sultan Khair tidak berada di Bima, bertentangan dengannya. Saudaranya itu justru menerima setiap perjanjian yang diajukan Belanda.
“Abdul Rahim sangat lemah menghadapi Belanda. Setiap tawaran dan permohonan Belanda untuk mengadakan perjanjian selalu diterimanya,” ungkap Hilir.
Kekecewaan Sultan Khair dan Bontomarannu terhadap Rahim diwujudkan dalam satu tindakan yang sangat terpaksa. Keduanya menyerang Desa Bonto Kape, Sondo, Muku, dan Sonco, yang penduduknya mayoritas keturunan Bugis Bone yang mendiami pesisir barat ujung selatan Teluk Bima. Dalam penyerangan ini, seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut Bima gugur dalam medan pertempuran.
Hilir menjelaskan, setelah bertahun-tahun mengadang dan menyerang kapal-kapal Belanda yang berlayar di perairan Flores, Sultan Khair dan Bontomarannu bergabung dengan pasukan Pangeran Trunojoyo Madura untuk melawan Raja Mataram Amangkurat II yang menjalin kerja sama dengan Belanda.
Setelah itu, Sultan Khair bersama putranya, Nuruddin, dan sisa laskarnya pergi ke Jawa Barat, guna membantu Sultan Ageng Tirtayasa Banten dalam melawan Belanda. Di daerah itu pula Sultan Khair bertemu kembali dengan teman lamanya, Karaeng Popo, yang pada 1659-1660 menjadi Panglima Perang Kesultanan Gowa saat melawan Belanda.
Kerajaan Bima baru menyerah pada Belanda dengan suatu perjanjian yang ditandatangani di Batavia oleh Jeneli Monta, Abdul Wahid dan Jeneli Parado La Ibu atas nama Sultan Bima pada 8 Desember 1669.
Mengalir Darah Makassar
Sultan Khair adalah putra Sultan Abdul Kahir I dengan permaisurinya Daeng Sikontu, adik permaisuri Sultan Alauddin Makassar. Ia lahir di lingkungan istana Makassar pada April 1627. Sesuai dengan adat istiadat Makassar, sewaktu kecil ia memperoleh gelar Areng Dondo-Dondo dan Lambela (putra kecil). Setelah beranjak dewasa, dia diberi nama Abdul Khair Sirajuddin. Dalam naskah lama Bima, namanya kadang ditulis Abil Khair Sirajuddin.
Dia merupakan Sultan yang menjaga darah Makassar tetap mengalir dalam Kesultanan Bima. Pada 3 September 1646, ia menikah dengan putri Sultan Taloko Malikul Said (Sultan Makassar II), Karaeng Bonto Je’ne. Dari pernikahan ini, keduanya dikaruniai masing-masing tiga orang putra dan tiga orang putri: Nuruddin, Mambora Awa Taloko, Jeneli Sape Mambora Di Moyo, Paduka Tallo, Paduka Dompu, dan Bonto Paja.
Baca juga: Sultan Salahuddin: Pengusir Belanda dan Jepang dari Tanah Bima
Vivi Rofiah, dalam karya ilmiahnya berjudul Hubungan Kerajaan Gowa Dengan Kerajaan Bima, menyebutkan, relasi Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa juga dipererat dengan pernikahan antara Sultan Bima pertama, Sultan Abdul Kahir I, dengan adik ipar Sultan Alauddin yang bernama Daeng Sikontu.
Selanjutnya, Sultan Bima ketiga, Nuruddin Ali Syah, menikah dengan Daeng Tamemang, putri bangsawan Gowa, Karaeng Lengkese, serta perkawinan Sultan Bima keempat, Jamaluddin Syah dengan Fatima Karaeng Tanata, putri bangsawan Gowa, Karaeng Besei.
Rofiah menjelaskan, hubungan perkawinan ini tetap dilanjutkan sultan-sultan Bima yang memerintah pada periode sesudahnya, sehingga ada kemungkinan hal itu menjadi alasan mengapa para pejuang yang melawan kompeni, yang berasal dari kaum bangsawan Sulawesi, mencari perlindungan di Pulau Sumbawa.
Mengutip Noorduyn, Rofiah menjelaskan, perkawinan Sultan Bima dengan putri bangsawan Makassar adalah perkawinan politik karena melalui perkawinan ini Kerajaan Gowa mengikat Bima menjadi bagian dari Kerajaan Gowa.
Dengan demikian, kata Rofiah, perkawinan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat loyalitas serta kesetiaan elite penguasa Kerajaan Bima kepada putri raja-raja Gowa. “Asumsi Noordyun dapat dibenarkan bahwa perkawinan yang dimaksud adalah perkawina-perkawinan yang berlangsung sebelum Bima dan Makassar jatuh ke tangan VOC,” bebernya.
Peralihan Kekuasaan
Setelah Sultan Kahir I mangkat, Majelis Hadat menobatkan dan melantik Sultan Khair menjadi Sultan Bima yang kedua. Ia memegang tampuk kekuasaan di Kesultanan Bima selama 42 tahun (1640-1682).
Menurut M. Hilir Ismail, setelah mengabdikan dirinya untuk kemerdekaan dan keadilan, Sultan Khair meninggal dunia pada 22 Juli 1692. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Tolobali.
Kemudian ia digantikan putranya, Sultan Nuruddin, yang memiliki gelar Makassar, Mappara Bung Nuruddin Daeng Matali Karaeng Panaragang. Ia menggantikan ayahnya pada 1682.
Sultan ini tetap memelihara pertalian darah Bima dan Makassar melalui pernikahan sehingga para sultan yang meneruskan kekuasaannya di Kesultanan Bima mengalir “dua darah” yang kelak menjadi ujung tombak perebutan kemerdakaan dari penjajahan Belanda, Inggris, dan Jepang. (*)
Penulis: Ufqil Mubin