Post ADS 1
Daerah  

Modal hingga Keuntungan Menanam Bawang Merah di Kabupaten Bima

Bima, Ntbnews.com – Selama pandemi Covid-19, bawang merah memang tergolong salah satu produk pertanian di Kabupaten Bima yang harganya cenderung stabil—bahkan beberapa kali panen harganya pernah meningkat drastis.

Karena itu, menjelang musim kemarau, para petani di Kabupaten Bima telah menyiapkan lahan, bibit bawang merah, hingga obat-obatan.

Ijul, warga Desa Ncera, Kecamatan Belo, Kabupaten Bima, mengungkapkan, pada musim tanam kali ini dia membeli bibit sebanyak satu ton.

Ia membeli bibit seharga Rp 25 ribu per kilogram (kg). Artinya, untuk mendapatkan bibit satu ton ia harus mengeluarkan biaya Rp 25 juta.

Dengan bibit sebanyak itu, Ijul mesti membeli obat-obatan sebanyak Rp 35 juta. Obat ini digunakan untuk menjaga bawang merah dari serangan hama sejak masa tanam hingga panen.

“Selain obat-obatan, kami juga menyediakan pupuk sebanyak 500 kg dengan harga satu sak Rp 120 ribu,” ungkapnya, Kamis (25/3/2021).

Selama masa tanam hingga panen, Ijul dibantu oleh satu sampai dua orang buruh tani. Ia menggaji setiap orang Rp 6 juta rupiah per orang sampai bawang dipanen.

“Apabila kami mempekerjakan dua orang, maka kami harus mengeluarkan uang sebesar Rp 12 juta,” jelasnya.

Biaya tersebut tergolong standar umum untuk upah buruh tani. Jika penghasilan besar, Ijul kadang membayar mereka Rp 8 juta per orang.

“Sementara untuk biaya makan, rokok dan lain-lainnya kami juga yang tanggung. Rokok biasanya sehari kami kasih per orang satu bungkus. Jadi, selama dua bulan kami menyediakan rokok 120 bungkus. Untuk dua orang itu bisa habis Rp 2.640.000,” bebernya.

Dengan bibit satu ton, lanjut Ijul, ia bisa memanen bawang merah sebanyak 10 ton. Hal ini bergantung kesuburan tanaman dan cuaca.

Sewaktu-waktu dengan bibit satu ton, ia hanya mendapatkan hasil tujuh ton. Dengan harga jual tahun ini Rp 20 ribu per kg, Ijul mendapatkan Rp 140 juta.

“Keuntungan yang kami dapatkan hitungan kasarnya sekitar Rp 60 juta. Hasil sebanyak itu bisa kami dapatkan apabila harga bawang sedang stabil,” jelasnya.

Sementara itu, Hasnah menjelaskan, menanam bawang membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Terlebih saat menanamnya di musim hujan.

Dia mengaku kewalahan saat bercocok tanam di musim hujan. Pasalnya, risiko gagal panen relatif besar dibandingkan saat menanam bawang merah di musim kemarau.

Jika di musim kemarau ia hanya dibantu satu sampai dua orang buruh tani, maka saat musim hujan, Hasnah harus merawat tanamannya bersama tiga orang buruh.

“Kalau dibandingkan dari segi pengeluaran, tanam bawang di musim kemarau itu lebih banyak biayanya dibandingkan di musim hujan. Tapi risikonya lebih besar di musim hujan,” katanya.

Di musim kemarau, dia harus mengeluarkan uang Rp 40 juta untuk membeli bibit dan Rp 50 juta untuk obat-obatan. Kebutuhan obat ini jauh lebih besar dibandingkan di musim hujan.

“Karena biasanya di musim kemarau itu rentan terkena hama. Biasanya kami melakukan penyemprotan itu kadang setiap hari bisa dua kali,” ungkapnya.

Sementara di musim hujan, penyemprotan hanya dilakukan saat hujan datang. Sebaliknya, jika tak ada hujan, Hasnah dan suaminya tidak melakukan penyemprotan.

“Sedangkan harga jual bawang merah di musim kemarau lebih murah karena musim kemarau banyak yang tanam bawang. Tentunya akan terjadi panen raya,” pungkas Hasnah. (*)

Penulis: Nur Hasanah

Editor: Ahmad Yasin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *