LOMBOK UTARA, ntbnews.com – Persoalan krisis air yang mengancam Tiga Gili, yaitu Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air, terus berlarut tanpa adanya solusi yang jelas. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada penduduk lokal, tetapi juga para pengusaha, termasuk pekerja di sektor pariwisata yang terancam kehilangan pekerjaan.
Di Gili Trawangan dan Gili Meno, krisis air semakin mengkhawatirkan, mengancam keberlangsungan usaha hotel, restoran, hingga bar.
Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Lombok Utara, Vicky Hanoi, menyampaikan dengan tegas bahwa pihaknya meminta pemerintah segera mencari solusi untuk memastikan distribusi air bersih tetap berlangsung.
“Memang sekarang ini distribusi masih berjalan, hanya saja ada kekhawatiran dari pengusaha sewaktu-waktu akan terhenti karena izin PT Tiara Nirwana Citra (TCN) dicabut,” ujarnya pada Sabtu (12/10/2024).
Vicky menambahkan, jika krisis air ini tidak segera ditangani, ribuan pekerja terancam kehilangan pekerjaan.
“Bayangkan saja kalau dampaknya berbicara tentang karyawan, itu sekitar 4-5 ribu orang bisa kehilangan pekerjaan, walaupun statusnya hanya dirumahkan,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa dampak ini belum termasuk Gili Meno dan Gili Air, yang turut menghadapi krisis air.
Pemerintah Diminta Tanggap Menangani Krisis Air
Krisis air yang melanda kawasan Gili ini bisa menimbulkan dampak luas, termasuk meningkatnya angka kriminalitas akibat hilangnya pendapatan bagi pekerja.
Menurut Vicky, sekitar 70% pekerja di Gili adalah penduduk lokal dari Lombok Utara.
“Ketika karyawan sudah tidak punya pekerjaan, maka kriminal akan meningkat,” tuturnya.
Vicky juga berharap pemerintah daerah segera menemukan solusi agar distribusi air bersih dapat kembali normal, mengingat dampaknya bukan hanya pada pengusaha, tetapi juga pada pariwisata nasional.
“Gili ini jangan sampai mati suri. Penduduk lokal mungkin masih bisa bertahan dengan sumur air payau, tapi bagaimana dengan bisnis, apalagi untuk kebutuhan masak dan air bersih?,” katanya.
Tantangan Pengusaha Hotel di Tiga Gili
Para pengusaha di Gili terus mendesak agar pemerintah segera menyelesaikan persoalan distribusi air ini. Pada musim liburan (high season), kebutuhan air di Gili meningkat tajam, dan biaya yang dikeluarkan pengusaha untuk memenuhi kebutuhan air sangat besar.
“Untuk biaya air saja, pengusaha bisa mengeluarkan Rp80-100 juta per bulan, tergantung besar kecilnya hotel,” ujar Vicky.
Sementara itu, Manager Vyaana Hotel di Gili Air, Lily McDonalds, mengungkapkan bahwa meski Gili Air mendapat suplai dari PDAM, distribusinya masih belum maksimal.
“Distribusi air tidak stabil, kadang ada, kadang tidak. Di properti saya, saya harus melakukan pengecekan air secara berkala karena tamu sangat tergantung pada ketersediaan air bersih,” jelasnya.
Krisis air ini tidak hanya berdampak pada Gili Air, tetapi juga pada kawasan pariwisata Lombok secara keseluruhan. Lily berharap pemerintah bisa segera menyelesaikan masalah ini untuk mencegah dampak lebih luas.
PDAM Diminta Bertanggung Jawab
Ketua Gili Hotel Association (GHA), Lalu Kusnawan, menyatakan bahwa PDAM Lombok Utara harus bertanggung jawab atas kelancaran distribusi air. “Suka tidak suka, PDAM harus memastikan air tetap mengalir ke Tiga Gili,” tegasnya.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Lombok Utara (KLU) dan Pemerintah Provinsi NTB terus berupaya mencari solusi, termasuk melalui surat kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk memastikan distribusi air bersih tetap berlangsung.
Hingga saat ini, distribusi air di Gili Trawangan masih berlangsung, sementara Gili Meno bergantung pada suplai air dari daratan.
Krisis air di Tiga Gili merupakan masalah serius yang mempengaruhi berbagai sektor, terutama pariwisata. Ribuan pekerja terancam kehilangan pekerjaan, dan pengusaha harus menghadapi biaya operasional yang melonjak akibat kebutuhan air.
Pemerintah Daerah Lombok Utara dan PDAM diminta segera bertindak untuk menyelesaikan masalah di Tiga Gili ini sebelum dampaknya semakin meluas.(*)