Post ADS 1
Daerah  

Kendala Gapoktan Lestari Alam Bersahabat dan LSM Jenewa Mendapatkan Rekomendasi SHP dari BKPH

Wartawan Ntbnews.com saat mewancarai Ketua LSM Jenewa (kaos hitam). Didampingi oleh Gapoktan, Salahuddin (kemeja putih), dan tokoh masyarakat Kecamatan Lambu (peci hitam). (Ntb News/Akbar)

Kota Bima, Ntbnews.com – Kepala BKPH Maria Donggo Masa tak kunjung menandatangani surat rekomendasi Shape File (SHP) atau data pemetaan sebagai syarat utama pengajuan untuk mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada program Hutan Kemasyarakatan (HKm).

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jenewa menilai hal itu sebagai sikap arogan dalam pengelolaan hutan lindung di Kecamatan Lambu yang diusulkan ke KLHK.

Sikap Ahyar selaku Kepala BKPH Maria Donggo Masa yang diduga telah menyandera SHP berdampak sistemik terhadap usaha Jenewa yang selama kurun waktu 2 tahun belangan ini mengupayakan untuk mendapatkan izin pengelolaan hutan di KLHK.

Ketua LSM Jenewa, Julkifli menceritakan proses panjang yang pihaknya lalui untuk mendapatkan izin tersebut sejak tahun 2019. Namun hanya ada 4 desa yang mengeluarkan SK kelompok dari pemerintah desa. Sementara Pemdes Lambu dan Mangge hingga kini tak kunjung mengeluarkan SK kelompok meski masyarakat yang sudah terbentuk dalam kelompok tani berkeinginan bergabung dengan HKm.

Pada tahun 2019, pengajuan kelompok dilakukan di 6 desa: Desa Simpasai, Sanggar, Lambu, Monta Baru, dan Desa kale’o. Enam desa ini sudah dibentuk kelompok. Ada sebagian kelompok yang sudah mendapatkan SK. Sementara 2 desa lainnya, Desa Lambu dan Mangge, tak bersedia menandatangani SK tersebut.

“Mungkin ada intervensi dari oknum siapa, kami tidak tahu. Tapi kami melihat ini intervensi dari BKPH. Supaya tidak mengeluarkan SK kelompok. Kepala desa kemarin (Desa Mangge) mengatakan bahwa sebelum ada surat dari kementerian. Maka saya tidak menandatangani SK kelompok. Kementerian tidak bisa mengeluarkan surat perintah untuk menandatangani SK kelompok. Seharusnya pengajuan dari bawah, bukan dari atas. Itu kan konyol,” ujar Julkifli, Rabu (25/08/2021).

Kata dia, dasar pengajuan awalnya seluas 1.014 hektare lebih. Akan tetapi dilihat dari kondisi kelompok tani, yang terbentuk hanya 17 kelompok. Akhirnya dikurangi menjadi 720 hektare.

Pada tahun 2020, SK kelompok diterbitkan di 4 desa: Desa Sanggar, Monta Baru, Ka’leo, dan Simpasai. Kemudian pada awal Januari 2020, pihaknya datang ke KLHK untuk melaporkan bahwa mereka menjalankan program HKm di Kabupaten Bima.

“Sebelumnya kami laporkan melalui DPRD Kabupaten Bima, Bupati Bima, DPRD Provinsi, Gubernur NTB, dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTB sebelum kami Kementerian LHK. Kementerian menerima secara baik laporan kami,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, upaya pihaknya di KLHK menuai kendala, lantaran SK kelompok tani dan SHP dari Kepala BKPH tak diikutsertakan dalam dokumen yang mereka bawa.

“Cuman kami diminta memperbaiki kelompok tani. Yaitu Desa Mangge dan Desa Lambu agar mereka bisa turun verifikasi. Kekurangan kami yang kedua yaitu Shape File (SHP) yang kemarin belum dikeluarkan oleh BKPH,” katanya.

Julfkifli mengaku akan terus berupaya untuk melengkapi kekurangan tersebut sebelum tahun 2022. Dalam waktu dekat pihaknya akan mengajukan surat ke DPRD Kabupaten Bima untuk memanggil pihaknya dan BKPH serta Gapoktan dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP).

Untuk SHP, pihaknya telah membuat poligon sekitar 720 hektare. Dari 720 hektare, 183 hektare masuk wilayah kemitraan. Pihaknya telah meminta data kelompok, izin, dan luas wilayah kepada BKPH. Namun, tak dikasih.

“Siapa kelompok taninya? Supaya tidak ada tumpang tindih dengan kelompok HKm. Tapi dengan keterangan BKPH kemarin, lokasi yang 183 kami kurangi itu bisa diajukan di tempat lain. Dalam arti, diminta untuk mencari pengganti yang lain. Karena 183 hektare sudah masuk data kemitraan. Kami juga belum terima data dari mereka bahkan kami meminta kejelasan dari BKPH terkait data kelompok dan data luas wilayah,” jelasnya.

Selain SHP dan SK kelompok dari Desa Lambu dan Mangge, masalah lain yaitu klaim lahan seluas 183 hektare oleh kemitraan. Ia menilai upaya oknum pemangku kebijakan untuk mencaplok sebagian lahan tersebut berasal dari HKm. Pasalnya, sudah berkali-kali mereka berupaya menemui Kepala BKPH untuk dimintai klarifikasi.

“Titik koordinat supaya tidak tumpang tindih pengusulan antara HKm dan kemitraan, tetapi kami minta dari kemarin tidak dikasih sama pihak BKPH. Berkali-kali kami menemui saudara Ahyar tidak bertemu dan bahkan ibu Yuli selaku bina program BKPH mengatakan bahwa ini adalah sifat rasia, kami tidak bisa memberikan begitu saja karena ini rahasia,” jelasnya.

“Apa yang dirahasiakan? Kami menginginkan lahan seluas 720 hektare itu tidak dikurangi oleh mereka. Pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh pihak BKPH bahwa mereka sudah memiki izin di kawasan yang diajukan oleh HKm. Kami bisa juga melaporkan secara pidana terkait masalah ini,” tegasnya.

Di tempat yang sama, Sekretaris Jenewa, yang karib disapa Peky mengatakan, HKm menaungi program lainnya: Hutan Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD), HKm, Hutan Industri (HI), Hutan Kemitraan.

“Sebenarnya program HKm ini adalah program yang paling diprioritaskan oleh negara dari 5 program yang dicetuskan oleh pihak Kementerian LHK, dan HKm merupakan magnet yang membuka akses bagi program-program lain untuk membangun Perhutanan Sosial. Tidak menutup kemungkinan upaya akan mengakseskan ke pihak-pihak Lembaga Non Goverment seperti NGO nasional dan internasional. Sewalaupun kita pahami dalam aturannya bahwa program HKm ini akan didukung penuh oleh pemerintah pusat sampai daerah lewat anggaran APBN, APBD 1 dan APBD II,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Gapoktan Lestari Alam Bersahabat, Salahudin menambahkan, Kepala Resort BKPH harus bertangung jawab atas pembalakan-pembalakan yang dilakukan oleh BKPH Kecamatan Lambu.

“Mereka kalau membina kelompok, mari kerja sama dengan baik demi kesejahteraan masyarakat. Apa perbedaan masyarakat HKm dan kemitraan setempat? Seolah-olah ini sudah menimbulkan polemik. Setiap mereka turun, anggota saya selalu melaporkan kepada saya,” ujarnya.

Kepala BKPH Maria Donggo Masa, Ahyar menegaskan, pihaknya tak menghambat HKm. Pasalnya, belum ada izin yang dikeluarkan pemerintah. Jika izin telah diterima masyarakat, ia mengizinkan warga untuk memanfaatkan lahan.

“Tapi selama dia tidak ada izin, kewajiban kami untuk melakukan upaya penyelamatan karena bukan hanya masyarakat di situ yang akan terdampak. Ketika kami melakukan itu, baik dari masyarakat maupun dari kami, akan mengatakan itu pembiaran,” tegasnya.

Langkah tersebut, kata dia, merupakan aplikasi dari fungsi dari BKPH dalam mengawasi kawasan hutan sekitar seluas 72.000 hektare di BKPH Donggo Masa.

“Di Lambu juga kami lakukan hal serupa. Di kota hal serupa kami lakukan. Jadi, tidak ada diskriminasi. Selama tidak ada izin, tetap akan kami lakukan pemeriksaan,” ucapnya. (*)

Penulis: Akbar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *