Bima, Ntbnews.com – Akhir-akhir ini galian C di Desa Risa, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima menimbulkan persoalan dan keresahan bagi masyarakat.
Galian C tersebut diduga kuat merupakan galian ilegal, tetapi tetap beroperasi dan melanggar peraturan perundang-undangan.
Direktur Bima Coruption Watch (BCW) yang juga tokoh pemuda Desa Risa, Usrah berpendapat, galian C yang dilaksanakan di desa setempat diduga kuat beroperasi secara ilegal.
“Perusahaan yang melakukan penggalian tersebut kami duga kuat melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara,” terang Usrah, Kamis (6/5/2021).
Usrah mengaku mendapatkan banyak informasi. Kepala Desa Risa pun diduga ikut ambil bagian dalam penggalian ini.
“Kami menduga dia lebih mementingkan kepentingan pengusaha ketimbang mementingkan kepentingan masyarakatnya,” ungkap dia.
Dia berharap Kepala Kepolisian Resor Kabupaten Bima segera bergerak dan bertindak serta mengamankan area galian yang diduga ilegal tersebut.
“Pihak kepolisian harus segera mengamankan dan menghentikan galian yang diduga kuat ilegal tersebut,” tegas Usrah.
Dia menambahkan, perizinan di bidang pertambangan mineral dan batu bara merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Pengaturan pertambangan mineral dan batu bara sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OO9 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Tapi dinilai masih belum dapat menjawab perkembangan, permasalahan, dan kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan pertambangan mineral dan batu bara,” beber Usrah.
Ia menegaskan, pemerintah bersama DPR RI telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diundangkan pada 3 Juni 2020.
Salah satu kententuan dalam Pasal 173C Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 adalah penghentian sementara kewenangan pemerintah daerah di bidang pertambangan mineral dan batu bara terkait penerbitan izin baru untuk jangka paling lama enam bulan terhitung sejak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 berlaku pada 10 Juni 2020.
Untuk itu, terkait pemberian izin usaha pertambangan telah diatur secara tegas dan jelas dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020.
“Sebagaimana penjelasan dalam surat Gubernur NTB melalui Surat Nomor 540/271/ESDM/2020 tanggal 11 Agustus 2020,” tutup Usrah.
Sementara itu, Kepala Desa Mukhrim menjelaskan, aktivitas pengerukan tersebut atas permintaan pemilik lahan yakni PT Bumi Palapa Perkasa. Pemerintah desa hanya memfasilitasi untuk memastikan terpenuhi hak warganya.
“Masyarakat sendiri yang meminta kepada pihak pelaksana agar pemilik alat diberi ruang untuk diambil batunya. Kita dari pemerintah desa, kita harus belajar dari tata aturan yang ada. Kalau terkait galian C, mereka langsung bayar ke pemerintah daerah,” ungkapnya saat dihubungi via telepon.
Selain bertujuan agar pegunungan di belakang rumah rata dengan tanah, pemilik lahan menginginkan bebatuan yang diambil dapat dikonversi dengan rupiah.
“Untuk membahas tentang galian C, kami belum masuk ke wilayah itu. Saya kan harus berdiskusi dengan sekretaris desa. Karena melihat banyaknya batu yang diambil, mereka mematok Rp 100 ribu per rit. Tapi setelah mereka berdiskusi, disepakati Rp 30 ribu per rit. Sudah dibayar semuanya,” jelas dia.
Selama 10 hari alat berat beroprasi, ia mengklaim tidak terjadi kerusakan lingkungan. Karena lokasi pengerukan berada di belakang rumah pemilik lahan. Dan dibatasi jalan raya dengan lahan pertanian. Kini ekskavator tersebut sudah pindah ke lokasi pengerukan kedua.
“Pelaksananya PT Bumi Palapa Perkasa,” katanya. (*)
Penulis: Ikbal Hidayat