Bima, Ntbnews.com – Kegiatan yang diinisiasi Pengurus Partisipasi Publik Untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) Maja Labo Dahu yang diselenggarakan di SDN 19 Raba Ngodu Utara, Kota Bima, pada 11 Maret lalu mengundang perhatian publik.
Musababnya, kegiatan tersebut menggunakan frasa “pendidikan seksual”. Ketua PUSPA Maja Labo Dahu, Ellya Alwaini mengungkapkan, kegiatan itu sejatinya dilaksanakan sebagai respons atas maraknya kekerasan seksual terhadap anak-anak di Bima.
Data itu didapatkan PUSPA dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Bima. Selain itu, kegiatan tersebut sebagai tindak lanjut atas kasus pelecehan yang berujung pada kematian anak yang terjadi di Kelurahan Tanjung dan Kelurahan Dara baru-baru ini.
“Menurut LPA, salah satu sebab naiknya kasus ini adalah penerapan sistem pembelajaran daring. Di mana anak pada jam belajar di sekolah justru ada di rumah tanpa pengawasan orang tua karena para orang tua sibuk bekerja,” ungkapnya, Selasa (16/3/2021).
Ellya mengaku prihatin dengan maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak di Kota Bima. Apalagi kasus serupa juga acap menimpa para pelajar SMP dan SMA.
“Upaya itu kami lakukan guna meminimalisir kasus kekerasan seksual terhadap anak,” terangnya.
Dari pertemuan itu, PUSPA berinsiatif untuk melakukan koordinasi dengan para guru di Kota Bima. Tujuannya, supaya muncul kewaspadaan dan kepedulian terhadap problem kekerasan seksual.
Tujuan lain, untuk memberikan informasi terkait kasus yang menimpa anak didik, sehingga dapat dicari solusi bersama oleh para guru. Termasuk dapat memberikan edukasi melalui grup-grup WhatsApp (WA) orang tua murid. Bagaimanapun, orang tualah yang harus mengambil peran dalam perlindungan anak di masa pandemi ini.
Karena itu, pada 2 Maret 2021, pengurus PUSPA mengundang para guru untuk mendiskusikan masalah pelecehan seksual terhadap anak-anak.
“Guru adalah figur yang mampu memberikan edukasi seks pada anak didik. Guru memiliki metode dan gaya pembelajaran pada anak,” katanya.
Ketua LPA Kota Bima Juhriati juga diundang untuk menyampaikan fenomena kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak di daerah tersebut.
“Pada saat itu guru-guru kaget dan tercengang saat mendengarkan paparan yang disampaikan oleh ketua LPA,” bebernya.
Pengurus PUSPA dan para guru yang hadir dalam kegiatan itu pun membuat kesepakatan agar mengundang lebih banyak pendidik untuk mengikuti kegiatan serupa. Pasalnya, pemahaman yang memadai tentang pendidikan seksual sangat penting di tengah maraknya pelecehan di Kota Bima.
“Akhirnya guru-guru menginisiasi agar kegiatan tersebut diadakan lagi di tempat lain. Dan terjadilah kegiatan di SDN 19 itu. Itu atas inisiatif dari guru-guru,” kata Ellya.
Istri Wali Kota Bima Muhammad Lutfi itu menyebutkan, kegiatan tersebut bermaksud mengungkap berbagai cara untuk melindungi anak-anak dari kekerasan seksual.
“Konsennya adalah parenting, baik kepada siswa maupun kepada orang tua siswa,” bebernya.
“Jadi, kegiatan ini sangat urgen untuk kita sikapi bersama agar tidak ada kasus-kasus kekerasan, apalagi sampai menyebabkan kematian pada anak,” ujarnya.
“Selama masa pandemi ini saja kita di Kota Bima sudah dua kali ada kejadian anak korban pemerkosaan yang langsung meninggal. Maka jangan ada lagi korban,” tegasnya.
Kata dia, kepedulian terhadap masalah pelecehan seksual harus ditunjukkan oleh semua pihak.
“Anak-anak di Bima adalah anak-anak kita bersama. Jika tidak kita setopkan sampai di sini, tidak menutup kemungkinan anak-anak kita juga akan menjadi korban. Karena ini bagian dari penyakit masyarakat,” katanya.
“Untuk itu, tidak saja guru yang akan kami mintai bantuan, tapi semua elemen, organisasi wanita dan masyarakat. Kita bergerak bersama,” tegasnya.
Ia mengaku tak terbiasa hanya sebatas membuat program dan bicara di belakang meja dalam memerangi serta menimalisasi kasus kekerasan seksual di Kota Bima.
“Saya ingin kita turun langsung ke masyarakat dengan mendatangi kantong-kantong daerah yang rawan dan kasusnya paling banyak,” ucapnya.
Karena itu, psikolog dari Polda NTB pun menyampaikan materi tentang pendidikan seksual dalam kegiatan tersebut. Adapun konten yang disampaikan diserahkan sepenuhnya kepada para pembicara.
Berangkat dari itu, Ellya berharap orang tua memaksimalkan perannya dalam pendidikan anak. Proses pendidikan tidak hanya diserahkan kepada para guru di sekolah.
“Yang lebih utama itu adalah peran orang tua. Adapun guru hanya sebagai pendukung,” jelasnya.
Ia berpesan, identitas dan karakter yang tercermin dari maja labo dahu harus terus ditanamkan kepada anak-anak, para pelajar, dan masyarakat pada umumnya agar terhindar dari perbuatan yang bertentangan dengan agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Mari kita internalisasikan nilai itu kepada keluarga kita masing-masing. Masyarakat harus lebih memahami makna dalam kata-kata itu. Maja sama siapa dan dahu kepada siapa,” tutupnya. (*)
Penulis: Arif Sofyandi
Editor: Ahmad Yasin